Tahun 2019 diprediksi tidak akan menjadi lebih mudah dibandingkan tahun 2018. Ketidakpastian perekonomian dan geopolitik global masih berlanjut. Selain itu, kita juga berhadapan dengan berbagai disrupsi akibat teknologi digital yang merevolusi cara kita bekerja.
Presiden dalam Kompas100 CEO Forum yang diadakan harian Kompas bersama Perusahaan Listrik Negara (Persero), Selasa (27/11/2018), pun memberikan contoh. Para pemimpin Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Port Moresby, Papua Niugini, dua pekan lalu, gagal menghasilkan kesepakatan karena ketidaksepahaman Amerika Serikat dan China.
Pada tahun 2019 perang dagang AS dan China diprediksi makin tajam. Bank Sentral AS juga mungkin menaikkan suku bunga, di samping ada potensi muncul ketegangan geopolitik kawasan yang berpeluang memicu naiknya harga minyak bumi.
Kita juga harus menjawab kehadiran teknologi digital yang melahirkan revolusi industri tahap 4. Ketika sejumlah bisnis rintisan dan bisnis bermodal besar bersicepat mengadopsi teknologi digital dalam kegiatan usahanya, kita berhadapan dengan fakta lebih dari 50 persen tenaga kerja berpendidikan sekolah menengah pertama ke bawah. Sebagian besar pekerja bahkan hanya berpendidikan sekolah dasar.
Sebagai negara dengan penduduk berjumlah besar, idealnya kita dapat memanfaatkan sumber daya manusia. Penduduk dengan jumlah besar dan berusia muda harus dipandang sebagai keunggulan kita dibandingkan negara lain. Bukan hanya sebagai pasar, melainkan juga tenaga kerja yang dapat diproduktifkan.
Di Indonesia, beberapa bisnis berbasis digital juga sukses dan tergolong sebagai unicorn. Namun, masih ada jutaan pekerja tanpa keterampilan digital yang juga harus dilatih sebagai sumber daya yang dapat meningkatkan daya saing industri.
Perang dagang AS dan China yang lebih memengaruhi perdagangan China mengingat besarnya ekspor negara itu akan membuat barang-barang dari China, termasuk barang konsumsi, menjadi lebih mahal. Sejumlah perusahaan dari China sudah mencari peluang memindahkan industrinya ke ASEAN karena upah dan biaya produksi relatif rendah. Begitu pula sebaliknya, perusahaan asal AS mencari kemungkinan memindahkan produksinya atau mencari rantai pasok di luar China.
Ini adalah peluang bagi dunia usaha kita untuk mencari mitra strategis demi membangun industri di Indonesia. Kita memerlukan industri antara hulu dan hilir untuk mengolah bahan baku berbasis sumber daya alam yang melimpah dan memasok industri hilir kita. Kita juga memerlukan industri bertujuan ekspor untuk menutup defisit perdagangan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar