Ada dua proses sosiologis yang memengaruhi perilaku dan dinamika masyarakat. Pertama, integrasi sosial, yakni kecenderungan untuk saling menarik, bergantung, dan menyesuaikan diri. Kedua, diferensiasi sosial, yakni kecenderungan ke arah perkembangan sosial yang berlawanan, seperti pembedaan menurut ciri-ciri biologis, atas dasar agama, jenis kelamin, dan profesi (Svalastoga, 1989).

Diferensiasi sosial dan integrasi sosial—yang muncul bersamaan dengan terbentuknya stratifikasi sosial—tumbuh sebagai konsekuensi dari perubahan sosial dan perkembangan masyarakat. Seperti organisme biologis, masyarakat berkembang makin lama makin terspesialisasi dan kompleks. Pada titik di mana integrasi dapat dibangun dan dipertahankan, kemungkinan timbulnya potensi perpecahan akan dapat diredam. Akan tetapi, di lingkungan masyarakat yang secara sosial rapuh dan sensitif, bukan tidak mungkin konflik yang laten dengan cepat akan berubah menjadi nyata.

Hanya gara-gara dipicu kasus yang sebetulnya sepele, apalagi kasus yang sensitif, seperti ada orang yang mempersoalkan perda syariah, perilaku yang diduga menista agama, kasus pembakaran bendera yang ada kalimat tauhidnya, atau isu-isu peka lain, masyarakat yang sejak awal rapuh bisa saja tiba-tiba gaduh dan mengembangkan perilaku yang mengancam stabilitas. Seperti yang sekarang ini terjadi, di sejumlah daerah tensi politik cenderung naik. Meskipun sesama umat Islam, kini ada indikasi muncul keresahan dan gangguan terhadap kondisi ketenteraman yang mengancam stabilitas masyarakat.

Imbauan dari tokoh masyarakat, ulama, dan para pejabat pemerintah agar semua pihak menahan diri tidak serta-merta menjamin potensi kerusuhan tak berkembang lebih jauh. Lantas apa yang harus dilakukan untuk mencegah agar potensi konflik tidak makin mengeras dan memicu terjadinya konflik horizontal yang membahayakan masa depan bangsa Indonesia?

Diferensiasi sosial

Berbeda dengan konflik antarkelas yang kebanyakan lebih mudah ditangani dan didamaikan, ancaman konflik horizontal umumnya selalu berkepanjangan. Dalam masyarakat yang terdiferensiasi, yang dipersoalkan bukanlah apakah antara berbagai kelompok hadir itu seimbang atau tidak, melainkan yang lebih ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya bersifat pluralistik dan di dalamnya terdapat sejumlah perbedaan.

Sepanjang perkembangan diferensiasi sosial tetap fungsional dan sifatnya saling mengisi, ketidakpuasan dan perselisihan di dalam masyarakat kecil kemungkinan bakal tersulut. Akan tetapi, ketika perbedaan dan perbenturan kepentingan mulai muncul, ditambah lagi dengan makin menguatnya ikatan-ikatan primodial antara kelompok masing-masing, tak pelak konflik horizontal antara kelompok di dalam diferensiasi sosial akan mulai timbul dan bahkan bukan tidak mungkin akan meledak menjadi konflik terbuka yang keras.

Di masyarakat di mana telah bertahun-tahun mengidap kecemburuan sosial, rasa sakit hati dan iri, konflik atau paling tidak persaingan antarsesama, yang timbul niscaya adalah ancaman perpecahan dan perseteruan yang berkepanjangan. Perseteruan—seperti dikatakan Paul Spencer—pada dasarnya adalah dampak dari terjadinya suatu kematian yang membangkitkan perasaan sakit hati dan dendam berdarah dari suatu kelompok terhadap kelompok lain (Kuper & Kuper, 2000:358).

Perseteruan tidak akan pernah hilang dengan tuntas karena yang namanya dendam di mana pun tentunya sulit dihapuskan begitu saja. Perseteruan, lanjut Spencer, umumnya  hanya dapat diredam (sementara waktu) melalui aksi kekerasan dan pertumpahan darah biasanya dipercaya sebagai bentuk penyelesaian yang paling rasional. Sementara bentuk penyelesaian yang lain ibaratnya hanyalah semacam gencatan senjata. Dengan kata lain, jika dalam kurun waktu tertentu konflik antarkelompok belum meledak, itu semua hanyalah jeda sosial yang fungsinya sekadar menunda konflik terbuka yang sesungguhnya.

Menjelang tahun politik dan kepentingan kelompok akan kekuasaan yang membayanginya di balik kontestasi yang muncul menjelang pemilu dan pilpres, kita tahu suasana memang menjadi makin panas. Hoaks terus bermunculan dan ujaran kebencian menjadi instrumen untuk menjatuhkan reputasi lawan politik. Pada kondisi seperti ini, klaim-klaim kebenaran umumnya akan makin sering bermunculan, yang membuat kelompok satu tidak akan mau mengalah ketika menghadapi kelompok yang lain.

Fanatisme dan doktrin agama yang sempit niscaya akan mengental menjadi ideologi, yang dalam banyak hal justru mendorong tumbuhnya sikap eksklusif dan resistensi yang berlebihan. Bangsa yang dibangun dan diikat semangat kebinekaan ini tentu sulit mempertahankan kesatuan dan persatuannya, yang sudah payah dibangun sejak zaman kemerdekaan, jika warga masyarakat yang bineka terus direcoki sentimen-sentimen antarkelompok yang tidak perlu, lebih berpikir eksklusif untuk kelompoknya sendiri, dan tidak mau toleran dengan perbedaan.

Fondasi

Berbeda dengan perselisihan yang dipicu oleh faktor kesenjangan sosial-ekonomi, pertikaian antarkelas yang terjadi niscaya akan segara mengendur apabila sumber-sumber produksi yang ada telah terbagikan secara adil atau pada saat telah terbangun hubungan sosial yang bersifat simbiosis mutualisme. Namun, lain soal jika konflik yang timbul berakar dari adanya sikap intoleransi, fanatisme, apalagi jika ditambah dengan adanya dendam kesumat yang diwarisi dari para pendahulunya.

Perbedaan, segregasi dan diferensiasi sosial di satu sisi memang mudah tergelincir dan dimanipulasi hingga memantik terjadinya konflik yang berkepanjangan. Akan tetapi, di sisi yang bersamaan, adanya perbedaan dan diferensiasi sosial sebenarnya juga tidak berarti akan selalu berubah menjadi konflik yang nyata bilamana masyarakat mampu mengelola dan menjaganya.

Memasuki tahun politik 2019, prasyarat yang dibutuhkan untuk memastikan agar bangsa ini tetap kukuh dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak pelak adalah kesediaan menerima perbedaan dan kesediaan untuk berbagi ruang dengan pihak lain. Penghormatan dan pengakuan bahwa di luar kita memang ada kelompok yang berbeda-beda niscaya akan melahirkan rasa toleransi yang menjadi kunci untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bagaimana kita menyikapi berbagai kasus yang peka dan sejauh mana sensitivitas kita terhadap berbagai masalah yang timbul di masyarakat sesungguhnya adalah batu ujian untuk menakar seberapa jauh daya tahan bangsa ini dalam menghadapi permasalahan dan efek samping diferensiasi sosial. Memastikan agar bangsa ini tetap teguh berdiri di atas fondasi Bhinneka Tunggal Ika, yang dibutuhkan bukan sikap yang terlalu sensitif dan mudah retak menghadapi tantangan dalam kehidupan kebangsaan.