Komisi Pemberantasan Korupsi tidak keberatan terhadap materi Rancangan Undang-Undang tentang Penyadapan. Penyadapan pun telah menjadi kelebihan KPK.
Dalam perbincangan sebelumnya, KPK selalu keberatan dengan pengaturan terhadap kewenangannya untuk menyadap. Selama ini, pembahasan terhadap kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan itu, baik dalam RUU Penyadapan, RUU Perubahan atas UU KPK, atau RUU lainnya, menempatkan KPK tidak berbeda dengan penegak hukum lainnya. Sebelum menyadap, KPK harus mendapatkan izin dari pengadilan.
Pengaturan seperti itu dinilai berpotensi melemahkan KPK. Selama ini, banyak perkara korupsi justru diungkap KPK sebagai hasil dari penyadapan. Jika harus mendapatkan izin pengadilan, penyadapan dikhawatirkan tidak efektif lagi untuk memburu pelaku korupsi. Ketika meminta izin dari pengadilan, rencana penyadapan itu dikhawatirkan bocor dan sasaran yang dituju pun mengetahuinya.
Pasal 12 Ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 mengenai KPK menyebutkan, dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang menyadap dan merekam pembicaraan. Tidak perlu izin siapa pun untuk melaksanakan kewenangan itu, seperti halnya kewenangan polisi atau aparat lainnya dalam melakukan penyadapan.
Adapun Pasal 11 Ayat (9) draf RUU Penyadapan, versi 22 November 2018, menjelaskan, permintaan penyadapan kepada pengadilan dilakukan dalam rangka penegakan hukum tindak pidana tertentu. Pada bagian penjelasan disebutkan, tindak pidana dimaksud adalah korupsi, terorisme, dan narkotika (Kompas, 7/12/2018).
Mengacu pada draf RUU Penyadapan, yang disusun Badan Legislasi DPR itu, bukan hanya KPK yang dikecualikan dalam melakukan penyadapan. Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme juga diberikan pengecualian, khususnya untuk mengungkapkan kasus peredaran gelap narkotika dan terorisme. Korupsi, peredaran narkotika, dan terorisme itu pun merupakan kejahatan luar biasa.
Berbeda dengan UU KPK, yang membebaskan lembaga itu dari pertanggungjawaban atas tindakan penyadapan, RUU Penyadapan menuntut audit untuk penyadapan yang dilakukan lembaga antirasuah tersebut. Audit eksternal itu untuk memastikan bahwa penyadapan benar-benar untuk pemberantasan korupsi. KPK pun tak keberatan.
Pertanggungjawaban atas penyadapan memang perlu diatur. Sebelumnya, kita mendengar anggota DPR khawatir kewenangan itu dipakai KPK untuk kepentingan politik atas permintaan penguasa. KPK ditakutkan menjadi superbody dan alat kekuasaan. Padahal, kata sejarawan John Emerich Edward Dalberg Acton atau Lord Acton (1834-1902), "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak menghasilkan korup yang mutlak)."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar