Membangun peradaban berbasis pengetahuan tampaknya saat ini jadi kebutuhan mendesak. Fakta kian menguatnya ekstremisme dengan variannya, seperti intoleransi dan narasi kebencian, telah memicu keprihatinan sekaligus memacu kepedulian untuk bergerak kembali pada penguatan keilmuan dan literasi.
Sungguh fakta yang menggiriskan. Berita-berita yang belum jelas kebenarannya alias hoaks yang diposting seketika secara kalap dikomentari tanpa refleksi kritis dan tabayun. Ironisnya, tak sedikit kalangan khalayak umum bisa "mendadak jihadis" dalam menyikapi berita-berita simpang siur tersebut. Hujatan dan caci maki menghambur terhadap mereka yang berbeda pandang.
Radikal kambuhan
Seorang peneliti bercerita kepada saya. Tuturnya, ada fakta beberapa eks narapidana teroris (napiter) yang sudah keluar penjara dengan rentang waktu yang berbeda dan sudah mendapatkan program deradikalisasi mendadak bagai macan yang terbangun dari tidurnya. Sontak dia menjadi "galak" kembali akibat mencuatnya "isu panas". Semangat jihadnya membara. Pada sebuah grup Whatsapp, secara sarkastik para eks kombatan ini menyemburkan kata-kata hujatan keji, tanpa kendali. Bahkan, mereka menulis siap melakukan amaliyat demi membela keyakinannya yang dipandangnya telah dinista dan dizalimi. Mereka juga saling mengajak anggota grup medsos lainnya yang sama-sama eks napiter untuk berjihad kendati harus mati demi mencari syahid.
Pola paham radikal terbukti makin menemukan momentumnya ketika teknologi informasi, seperti internet, jadi alat komunikasi populer di tengah masyarakat. Melalui internet, kelompok radikal bisa menebarkan pahamnya. Demikian juga serbuan hoaks telah jadi pemandangan yang begitu menyeramkan hingga tidak sedikit yang jadi korban. Masyarakat pun terpolarisasi. "Sel-sel tidur" radikal pun terbangun lalu menebar amarah.
Harus diakui, eks napiter tergolong kelompok yang masih rentan dengan persebaran informasi di dunia maya. Indoktrinasi dari mentornya saat mereka masuk jaringan radikal tak serta-merta hilang kendati mereka sudah menjalani hukuman di penjara. Mereka itu masih "kuat" isi kepalanya dari doktrin radikal sehingga akan mudah "membara" jika membaca tulisan-tulisan di internet yang menyeru pada radikalisme. Bacaan yang beraroma radikal, baik melalui internet maupun buku-buku radikal, bisa jadi "pengingat kembali" pikiran radikalnya. Lagi-lagi, ini bukti betapa sangat minimnya mereka membaca sehingga yang muncul lebih pada "emosi" tanpa didasari penalaran yang ilmiah, mendalam, dan kritis.
Demikianlah, fakta ini kian menyadarkan bahwa ideologi, menyitir Ranya Ahmed (2018), memiliki pengaruh yang kuat yang dapat menjelaskan tindakan individu dan kelompok. Terpatri diktum "ideologi menetapkan siapa musuh". Ideologi memiliki pembenaran panjang untuk tindakan politis. Pandangan dunia memiliki keputusan dan tindakan yang dipandu, baik dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan.
Jalur sipil
Menandingi fakta ekstremisme ini, kita tetap butuh deradikalisasi. Deradikalisasi yang sukses—mengutip hasil penelitian Ian Chalmers dalam Countering Violent Extremism in Indonesia (2017)—lebih mungkin penekanan ditempatkan pada tindakan berbasis masyarakat. Masyarakat lebih "bertaring" dibandingkan dengan aparat atau instansi pemerintah. Deradikalisasi yang dilakukan oleh kekuatan masyarakat lebih mudah mendekati eks jihadis dan kalangan terpapar radikal, lalu mengajak mereka berkawan, selanjutnya melakukan kegiatan yang bermanfaat.
Karena itu, deradikalisasi tak sekadar dilakukan "sekali pukul", lalu kembali senyap. Seperti halnya para eks napiter, sejatinya mereka hanya berhenti sejenak: ketika ada hal-hal yang memungkinkan mereka terjun, tak mustahil mudah dilakukan.
Sejauh ini, berbagai program deradikalisasi dilakukan lebih pada kebijakan top down. Kebijakan dari pemerintah atau lembaga terkait lebih tampak dilaksanakan secara imperatif. Sementara program yang bersifat bottom up belum terlalu banyak diwujudkan. Terutama juga program yang diinisiasi oleh para eks napiter sendiri.
Munculnya pendekatan literasi khusus eks napiter, seperti dilakukan sebuah LSM di Jakarta, dengan membentuk Rumah Daulat Buku (Rudalku), bisa menjadi pionir deradikalisasi dengan jalan inovatif yang diharapkan mampu menjadi salah satu andalan dalam ikut menanggulangi terorisme di Indonesia.
Pendekatan literasi ini dapat dibaca muncul sebagai kritik atas pendekatan yang selama ini digunakan untuk deradikalisasi yang tidak menyentuh "isi kepala" dan tak sadar malah mengabaikan potensi eks napiter sebagai manusia yang suatu saat bisa berubah. Sebaliknya, selama ini pendekatan deradikalisasi justru terlihat lebih menjadikan eks napiter sebagai "tubuh tanpa jiwa" yang hanya melakukan "ritual-ritual" kelaziman tanpa menumbuhkan kesadaran pada mereka untuk didorong jadi mobilisator.
Inilah potret gerakan jalur sipil. Kalangan civil society terbukti melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas, atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara dalam menjalankan program deradikalisasi. Dalam situasi saat ini dan masa depan, peran aktor non-negara semakin diakui dan nyata, yang bisa saja memiliki kekuatan yang dapat menyaingi kekuatan negara.
Ekstremisme telah menjadi ancaman serius bagi negeri kita. Penyakit ini bisa menjangkiti siapa pun yang lalu menumbuhkan sikap keberagamaan simbolik yang kering dari penghayatan spiritual. Nah, ikhtiar yang perlu dikedepankan, kita perlu kembali membudayakan "tradisi ilmiah".
Literasi cerdas
Tradisi inilah yang melahirkan peradaban luhur dalam sejarah pergulatan umat manusia membangun dunia kehidupan kendati harus bertarung dengan segala bentuk kepicikan dan dogmatisme kala itu. Sebuah peradaban yang membuahkan keadaban adiluhung (tsaqafah al-ulya), seperti pula pernah mewujud pada masa gemilang peradaban Islam. Pada masa itu, betapa tradisi berpikir kritis berbasis ilmu pengetahuan benar-benar mewarnai kehidupan masyarakat. Segala isu atau kabar harus ada riset (kullu muddaÍn mumtahan). Lahirlah banyak sosok dalam berbagai bidang, sebut saja al-Ghazali, Syafi'i, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, dan banyak lagi lainnya.
Para ulama ini lebih memilih "jalan sunyi" untuk melakukan riset dan menulis berjilid-jilid kitab. Al-Ghazali, misalnya, meletakkan jabatan akademiknya dan lebih memilih menyepi (uzlah) untuk membaca dan menulis. Teladan sikap yang tak mau tampil jemawa menjadi "hero" atas nama solusi atas masalah sosial-politik secara selebrasi dan kolosal. Tak heran pula, saat itu banyak terbangun perpustakaan besar, seperti Baitul Hikmah di Baghdad. Para khalifah berlomba membangun perpustakaan serta majelis ilmu dan lembaga riset. Fakta inilah layak saya sebut "khilafah literasi" yang mencerdaskan masyarakat.
Dari "kekhilafahan literasi" ini, berlaku tradisi dalam mengolah pengetahuan harus dilalui begitu ketat (taftisy). Kita ambil contoh, petualangan Imam Bukhori, periwayat hadis yang tepercaya (tsiqoh) dalam mengumpulkan hadis hingga menyeleksinya. Dia menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meriwayatkan hadis hingga wafatnya di usia 61 tahun di Samarkand.
Berabad lamanya telah mewarta "tuntutan langit" agar kita mau "iqra", membaca secara holistik. Tuntutan mulia ini perlu dibumikan melalui mobilisasi bersemangat militansi tinggi untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Dengan begitu, siapa pun tidak lagi mudah terpancing oleh berita dan pengetahuan ekstrem karena terbentengi tradisi literasi cerdas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar