KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tiga dari kanan) didampingi para Deputi Gubernur Bank Indonesia bersiap menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia untuk akhir tahun 2018 di Jakarta, Kamis (20/12/2018). Bank Indonesia tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI 7-day reverse repo rate) sebesar 6 persen. Hal tersebut antara lain untuk mempertahankan daya saing investasi.

Keputusan Bank Indonesia menaikkan lagi suku bunga kebijakan menjadi 6 persen cukup mengejutkan banyak pihak.

Pada saat rupiah mengalami apresiasi karena harapan meredanya ketegangan perang dagang AS dan China, inflasi rendah, di tambah dengan pada masa kampanye politik, Bank Indonesia (BI) memutuskan menaikkan suku bunga kebijakan mendahului bank sentral AS, The Fed, yang kemungkinan akan menaikkan suku bunga di Desember ini. Relatif tingginya defisit neraca berjalan, 3,37 persen dari produk domestik bruto (PDB), juga mendesak BI untuk menaikkan   suku bunga kebijakan. Yang diharapkan adalah impor menurun dan mengurangi defisit neraca perdagangan.

Menaikkan suku bunga kebijakan apalagi secara berturut-turut tidaklah mudah secara politik. Di Turki dan India, presiden dan PM-nya menentang kenaikan suku bunga oleh bank sentral. Bagi politisi, apalagi dalam suasana kampanye politik, kenaikan suku bunga pada umumnya dipandang tindakan tidak populer.

Namun, BI adalah kekecualian, sebagai lembaga yang independen melakukannya dengan pilihan stabilitas daripada memfasilitasi pertumbuhan.

Sekalipun demikian, penurunan impor bukanlah cara terbaik untuk mengatasi defisit neraca perdagangan. Apalagi sebagian besar impor adalah bahan antara untuk kepentingan produksi.

Namun, hal itu bukan tanggung jawab langsung otoritas moneter untuk mendorong investasi dan ekspor dalam rangka mengatasi defisit dalam neraca berjalan dan neraca pembayaran.

Semestinya BI juga mendapatkan mandat untuk secara langsung mendorong perkembangan sektor riil, terutama yang berkaitan dengan menjaga stabilitas neraca berjalan dan tentu saja inflasi. Untuk hal ini tentunya butuh perubahan UU BI, yang kemungkinan baru bisa dibahas setelah Pemilu 2019 (pilpres dan pileg).

Membuka investasi asing

Menghadapi defisit neraca berjalan dan neraca pembayaran, pemerintah kembali mengeluarkan Paket Kebijakan Ke-16 yang tujuannya adalah untuk memfasilitasi penanaman modal asing (PMA) dengan membolehkan asing memiliki 100 persen di 54 bidang usaha (kemudian dikoreksi menjadi 25). Insentif pajak berupa tax holiday juga diberikan untuk semakin menarik PMA.

Manajemen penerimaan ekspor juga diperbaiki dengan insentif supaya eksportir menukarkan dollarnya ke rupiah. Membuka peluang PMA yang lebih besar adalah kebijakan realistis dan perlu untuk menarik investasi, yang perannya besar dalam mengatasi defisit neraca pembayaran dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Sebenarnya paket kebijakan sebelumnya juga berupaya untuk menarik investasi, tetapi hasilnya belum menggembirakan. Upaya untuk mengembangkan kemitraan usaha kurang berhasil, karena itu asing diberikan keleluasaan untuk memiliki 100 persen.

Perlu pula diingat, dalam pelaksanaannya masih akan bergantung pada birokrasi: apakah memfasilitasinya ataukah masih akan menghambat seperti selama ini.

Dalam masa kampanye politik, membuka lebih besar pada PMA umumnya dianggap tidak populer. Sebenarnya kebijakan pemerintah membuka PMA lebih besar merupakan langkah realistis dan perlu untuk memfasilitasi perkembangan ekonomi.

Tuduhan ekonomi Indonesia dikuasai asing juga berlebihan. Ekonomi Indonesia sebenarnya masih relatif tertutup dibandingkan negara tetangga. Rasio ekspor dan impor terhadap PDB hanya 38 persen, negara tetangga melebihi 100 persen PDB.

Bahkan belakangan ini peran BUMN jadi lebih besar, terutama dalam pembangunan infrastruktur. Peran modal asing dibutuhkan terutama untuk bidang usaha yang membutuhkan pendanaan yang besar dan teknologi canggih, seperti migas dan farmasi, serta bidang usaha lain yang belum dapat ditanggung investor dalam negeri.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah sumbangannya dalam menciptakan kesempatan kerja produktif dan mendorong   pertumbuhan. Kesempatan kerja adalah juga fokus utama pemilih dalam pileg dan pilpres. Modalnya bisa dari dalam negeri ataupun luar negeri.

Kritik terhadap perluasan bidang usaha yang terbuka untuk asing  juga menunjuk pada sektor yang kurang sesuai, dan menyentuh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tentunya dapat dimengerti apabila untuk UMKM selayaknya prioritas diberikan pada pengusaha domestik, sebagaimana juga penjelasan pemerintah.

Mengenai sektor yang kurang sesuai, memang semestinya sektor yang sepenuhnya terbuka bagi asing tidak saja menarik, tetapi juga sebisa mungkin berkaitan dengan ekspor, selain membutuhkan dana besar dan teknologi canggih. Dengan demikian dapat menjawab sekaligus peningkatan investasi, ekspor, dan transformasi industri.

Harapan kita adalah dengan kebijakan yang rasional dan realistis, serta kenaikan suku bunga dan membuka lebih luas peran PMA ini, hal itu dapat membantu tidak saja menstabilkan nilai rupiah, tetapi juga meningkatkan investasi, apalagi jika berorientasi ekspor.

Implikasi politisnya dapat dikatakan terkendali, selama keterbukaan investasi tersebut memberikan manfaat jelas dalam mengatasi defisit neraca berjalan dan pembayaran, dan menciptakan kesempatan kerja produktif.