APRILLIO AKBAR

Sejumlah Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia melakukan aksi peringatan hari anti korupsi sedunia saat berlangsungnya Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB), di kawasan Bundara HI, Jakarta, Minggu (9/12/2018). Aksi tersebut bertujuan untuk menghimbau masyarakat agar tidak memilih calon legislatif dan pemimpin yang pernah atau sedang tersangkut kasus korupsi. 

Korupsi masih menjadi penyakit akut. Di era Reformasi, perilaku warisan rezim Orde Baru ini tidak ikut tumbang sebagaimana Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998. Ia hanya berubah wujud. Kalau dulu korupsi dimonopoli pemerintah pusat dengan sistem sentralisasi, sekarang terjadi desentralisasi korupsi.

Menurut data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, sejak tahun 2004 hingga Oktober 2018, tercatat 434 kepala daerah terkena kasus hukum, baik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun instansi penegak hukum lain, yaitu Kepolisian RI dan Kejaksaan RI.

Kalau diambil rata-rata, setiap tahun ada 31 kepala daerah yang terjerat kasus hukum. Jumlah daerah di Indonesia ada 548, terdiri dari 34 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota. Berarti setiap tahun sekitar 5,6 persen kepala daerahnya bermasalah hukum.

Korupsi dana desa

Fenomena desentralisasi korupsi itu kini mencapai titik yang lebih memprihatinkan: menyebar hingga ke desa. Kesempatan korupsi di tingkat pemerintahan desa itu mengemuka setelah adanya dana desa.

Sejak bergulir tahun 2015, dana desa yang sudah digelontorkan pemerintah mencapai Rp 186 triliun. Dana ini sudah disalurkan ke 74.954 desa di seluruh wilayah Indonesia. Nah, dana desa yang berlimpah tersebut rawan dikorupsi.

Menurut pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak tahun 2015 hingga semester I-2018, tercatat 181 kasus korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian sebesar Rp 40,6 miliar (keterangan pers ICW, 21 November 2018).

Kasus korupsi dana desa juga meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015 tercatat 17 kasus. Pada tahun kedua meningkat menjadi 41 kasus, dan tahun lalu melonjak menjadi 96 kasus. Sementara pada semester I tahun 2018 terdapat 27 kasus di desa yang semuanya menjadikan anggaran desa sebagai obyek korupsi.

KPK menengarai, modus korupsi dana desa sebenarnya memiliki pola yang sama dengan praktik korupsi yang selama ini terjadi, seperti pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai, mark up anggaran, dan penyelewengan dana desa untuk kepentingan pribadi.

Peningkatan pengawasan

Terkait maraknya korupsi dana desa, kami kerap diminta pemerintah kabupaten/kota, khususnya di daerah pemilihan kami di Sumatera Utara II, untuk memberikan penyuluhan hukum kepada jajaran organisasi perangkat daerah (OPD), termasuk kepada para kepala dinas. Salah satu penekanan yang kami sampaikan adalah soal pengawasan terhadap dana desa.

Lemahnya pengawasan merupakan salah satu penyebab suburnya korupsi dana desa. Terkait maraknya kasus korupsi dana desa ini, perlu untuk mengoptimalkan pengawasan oleh aparat pengawas intern pemerintah (APIP) dan pendampingan oleh tim pengawal dan pengaman pemerintah dan pembangunan daerah (TP4D) dari kejaksaan negeri.

Hal ini sesuai ketentuan Pasal 112 dan Pasal 113 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 71 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengawasan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, bahwa pengawasan dana desa dilakukan oleh APIP.

APIP adalah instansi pemerintah yang dibentuk dengan tugas melaksanakan pengawasan intern (audit intern) di lingkungan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah. Di tingkat kabupaten/kota, peran APIP ini dijalankan oleh inspektorat pemerintah kabupaten/kota.

Inspektorat daerah antara lain memiliki tugas untuk melaksanakan pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan desa, yang meliputi pengawasan terhadap pemerintah desa, pengawasan pelaksanaan tugas pembantuan di kabupaten/kota, dan pemeriksaan khusus terkait dengan adanya pengaduan.

Inspektorat daerah harus melakukan pengawalan dana desa dari awal sampai akhir. Pengawasan dimulai dari tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dana desa melalui pemeriksaan reguler dan tindak lanjut hasil pemeriksaan, serta pengawasan tidak langsung dengan melaksanakan pemeriksaan kasus. Pemeriksaan reguler itu meliputi pemeriksaan fisik atas pembangunan dana desa.

Libatkan masyarakat

Pengawasan pelaksanaan dana desa juga perlu melibatkan masyarakat lebih luas, tidak hanya dilakukan oleh APIP semata. Pengawasan dilakukan secara berjenjang oleh masyarakat dengan memberdayakan badan permusyawaratan desa (BPD), para camat, satuan kerja perangkat daerah (SKPD) pembina desa, serta para pendamping desa.

Jika semua proses pengawasan APIP ini dilakukan secara menyeluruh dan tindak lanjutnya berjalan baik, dan didukung pengawasan berjenjang oleh masyarakat, terjadinya penyelewengan dana desa bisa diminimalkan. Dan, bukan hanya korupsi dana desa, potensi korupsi oleh kepala daerah juga bisa dicegah.

Lalu, jika sudah terjadi penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang, APIP harus menindaklanjutinya secara hukum administrasi, atau melaporkannya kepada aparat penegak hukum untuk diproses hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Trimedya Panjaitan Wakil Ketua Komisi III DPR RI


Kompas, 31 Desember 2018