Saat tahun akan berakhir, hal-hal apa yang akan Anda akhiri? Terutama kalau berbicara soal kebiasaan buruk Anda? Beberapa hari lalu saya ditanyai dengan pertanyaan yang sama. Sebuah pertanyaan yang buat saya sangat aneh dan cukup mengagetkan. Saya tak bisa menjawab pertanyaan itu secepat biasanya.

Tak kapok

Akhir tahun selalu saya songsong dengan penuh semangat karena akan memulai tahun yang baru. Namun, tak pernah terlintas di kepala selama sekian puluh tahun untuk mengajukan pertanyaan seperti pertanyaan di atas. Tak pernah terlintas di benak untuk mengakhiri kebiasaan buruk.

Sama sekali tak terpikirkan sehingga menjawabnya pun perlu waktu. Kalau pertanyaan apa yang mau dilakukan di tahun baru, tak hanya cepat menjawab, tetapi saya tahu dengan pasti apa yang ingin saya lakukan dan bukan yang ingin saya hentikan.

Maka, benar kata pepatah yang mengatakan bahwa practice makes perfect. Dan saya tak pernah terlatih mengajukan pertanyaan untuk menghentikan yang buruk itu.

Nah, setelah mendengar pertanyaan itu, saya berusaha untuk sejujurnya melihat pada hal-hal apa saja yang ingin saya akhiri sehingga tahun yang baru bisa dijalani dengan kehidupan yang baru. Meski besar kemungkinan gagal di tengah jalan. Berdasarkan pengalaman hidup setengah abad lebih, kegagalan terjadi setiap saat.

Pertama, saya mau mencoba mengakhiri kebiasaan buruk untuk menyiksa diri dengan membandingkan kehidupan saya dengan orang lain. Sebab, hal ini sejujurnya sudah mampu membuat saya tak bisa tidur dan selalu menggerutu kepada Yang Maha Kuasa.

Awalnya saya berpikir, membandingkan itu akan menyemangati, akan memberi dampak positif. Ternyata malah jadi kesal sendiri. Sudah acap kali saya dinasihati beberapa orang bahwa saya harus bersyukur dengan apa yang saya miliki.

Ada nasihat mulia yang mengatakan, saya harus bersyukur dan menikmati saja apa yang saya miliki dan bukan yang tak saya miliki. Sebab, kalau selalu menginginkan yang tak saya miliki, hal itu akan mendatangkan rasa frustrasi. Itu benar adanya karena saya mengalaminya, tetapi tak pernah kapok.

Baru

Sejujurnya banyak yang tak saya sukai dengan apa yang saya miliki. Kalau demikian adanya, apakah rasa syukur itu harus dipaksakan terjadi untuk sesuatu yang tak saya sukai? Bagaimana saya bisa menikmati dengan legawa hal-hal yang tak saya sukai?

Kalau saya tak bisa bersyukur, apakah saya jadi seperti orang yang tak tahu diri, seperti yang dipredikatkan beberapa orang kepada saya dalam bentuk nasihat yang tampak mulia, tetapi tajam seperti belati itu? Atau sebaiknya saya bersyukur saja meski saya tak suka, walaupun itu terasa munafik. Apakah begitu?

Kedua, saya mau mengakhiri ketidakkonsistenan atas semua keputusan yang saya buat. Saya ini orangnya mudah tidak konsisten. Tidak konsisten itu sebuah hal buruk buat saya. Saya acap kali disinggung dengan nurani sendiri atas tabiat buruk ini, yang membuat saya terlihat seperti manusia yang tak bisa dipegang omongannya.

Misalnya, saya memutuskan menjaga jarak dengan si A. Namun, nanti ketika si A mengundang saya untuk sebuah acara, apalagi acaranya oke banget, saya akan datang dan melupakan keputusan yang sudah saya buat.

Apa akibatnya? Saya yang akhirnya jengkel sendiri ketika usai acara. Sampai acap kali saya membenci diri sendiri karena selalu membuat timbulnya perkara yang mengesalkan. Kalau bicara soal makanan, itu pun akan berakhir seperti itu.

Saya sudah berjanji tidak makan ini, tidak mau makan itu. Nanti akan selalu ada alasan untuk bisa melanggar yang sudah saya tetapkan untuk tidak dilakukan. Apa akibatnya? Ketika kepala saya mulai berasa cenut-cenut dan tangan mulai berasa semutan, akan selalu berakhir dengan mulut komat-kamit minta ampun pada Tuhan dan memohon dengan sangat jangan sampai terserang stroke.

Kebiasaan buruk ini berulang-ulang terjadi karena saya selalu mengusung alasan yang paling manusiawi "kalau saya ini manusia biasa" yang saya amini karena beberapa orang juga mengatakan hal itu karena sudah sangat jamak manusia seperti itu. Kalau nanti hal yang buruk terjadi, saya baru menyesal mengapa memercayai alasan yang manusiawi itu.

Terakhir, saya mau mengakhiri untuk memercayai siapa pun, bahkan diri saya sendiri. Manusia itu berubah selain memang tak bisa dipercaya. Memercayai itu memiliki kemungkinan lahirnya kekecewaan demikian juga dengan perubahan. Saya lelah menerima dampak keduanya. Keputusan ini didasari pengalaman saya sendiri sebagai manusia yang tak bisa dipercaya dan mudah berubah.

Nah, karena saya sudah dihadapkan dengan pertanyaan aneh di atas, di hari Minggu terakhir di tahun ini, saya bermaksud mengajukan pertanyaan yang sama untuk bapak, ibu, saudara, saudari sekalian.