Tulisan Munawar Kasan bertajuk "Menyehatkan Bumiputera" di harian "Kompas" (14/11/2018) menimbulkan  tanda tanya tentang peran regulator dalam menyelamatkan usaha rakyat yang dilahirkan sejak sebelum proklamasi kemerdekaan.

Seberapa besar peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 (Bumiputera) tumbuh menjadi lebih baik dan langkah apa yang dilakukan Pengelola Statuter (PS), organ sementara pengelola Bumiputera—yang diberitakan dua tahun lalu  mengalami masalah keuangan mendadak—bisa berjalan normal kembali dan beroperasi seperti sediakala?

Barangkali kita bisa belajar dari langkah OJK. Atau sebaliknya, jangan-jangan kita hanya  disuguhi ilusi tentang kinerja sebuah lembaga superbodi di Indonesia, dengan jalan menyederhanakan masalah dan membangun kesan OJK dengan segala kewenangannya telah mengukir prestasi menyelamatkan perusahaan rakyat. Namun, sebenarnya hanya menggeser masalah dari waktu ke waktu dan tidak mengambil tanggung jawab sepenuhnya.

Bumiputera dan krisis

Sebagai perusahaan berbentuk mutual (usaha bersama), Bumiputera akrab dengan krisis keuangan, jika krisis kita maknai sebagai kesenjangan antara aset dan kewajiban.

Sebagai perusahaan yang berdiri tanpa modal dasar, sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar Bumiputera Pasal 6 dan berbasis perkumpulan , dalam kacamata perseroan  Bumiputera sejatinya sudah mengalami "krisis" sejak didirikan.

Bumiputera sejak berdiri adalah perkumpulan yang disahkan  sebagai bentuk usaha untuk melakukan perbuatan hukum perdata sebagaimana hak dan kewajiban perseroan terbatas yang sah berdasarkan Pasal 10 Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 Nomor 2 Staatblad 1870 Nomor 64 sesuai Surat Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda, 6 April 1915.

Menurut  Staatblad 1870 Nomor 64  (rechtspersoonlijkheid van vereenigingen), suatu perkumpulan dapat disahkan untuk memperoleh suatu badan hukum antara lain tidak mendatangkan usaha-usaha yang mendatangkan keuntungan komersial, kekuasaan tertinggi ada pada rapat umum anggota, kekuasaan untuk mengubah anggaran dasar/membubarkan perkumpulan ada pada rapat umum anggota bukan pada organ lain.

Staatblad 1870 Nomor 64 ini pula yang menjadi dasar pendirian ormas sebelum proklamasi kemerdekaan, seperti Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1926, Muhammadiyah tahun 1912, dan Syarikat Islam tahun 1906   yang hingga kini diakui keberadaan dan kesejarahannya sebagai aset bangsa. Bahkan, salah satu pendiri Bumiputera, Dwijosewojo, adalah sekretaris pertama pengurus besar Boedi Oetomo dan anggota Syarikat Islam yang turut aktif dalam pergerakan nasional merintis kemerdekaan.

Di antaranya pada 1912 berangkat ke Belanda untuk  mengusulkan dibentuk  Dewan  Rakyat (Voldkraad) yang  terwujud pada 1918 dan duduk sebagai anggota hingga tahun 1931.

Sifat perkumpulan Bumiputera tampak pada bukti bahwa Pemerintah Hindia Belanda memberikan subsidi 300 gulden setiap bulan kepada Bumiputera selama kurun waktu 1913 hingga 1923.

Jika kita menggunakan risk based capital (RBC) untuk mengukur kesehatan keuangan perusahaan asuransi sebagaimana yang selama ini diterapkan, Bumiputera sejak awal  sudah tidak sehat (insolvent) lantaran perusahaan ini tidak memiliki modal. Modal awal operasional Bumiputera diambil dari premi yang dibayarkan anggota (pemegang polis) yang ketika itu dilakukan pada saat bersamaan perusahaan otomatis menanggung  kewajiban sebesar uang pertanggungan polis perdana.

Sepanjang 106 tahun beroperasi, Bumiputera paling sedikit mencatat enam kali krisis besar, yakni tahun 1930 (Depresi Besar), 1945 (pasca-Perang Dunia II), 1965 (peristiwa sanering), 1997 (krisis Asia), 2008 (krisis keuangan global), dan 2016 sebelum pemberlakuan statuter. Setiap kali setelah mengalami krisis, kondisi keuangan Bumiputera babak belur lantaran perusahaan mutual tidak mengenal mekanisme penambahan modal. Namun, kecuali krisis 2016, Bumiputera berhasil melewati semua kesulitan dengan upaya-upaya mandiri yang dilakukan manajemen dengan perbaikan kinerja secara  bertahap  dari waktu ke waktu.

Sejak RBC diterapkan, upaya perbaikan itu tidak memungkinkan lagi dilakukan secara bertahap mengingat regulasi mensyaratkan rasio kecukupan modal yang harus dipublikasi ke media massa setiap tahun. Fakta tentang lebih kecilnya aset dibandingkan dengan kewajiban kepada pemegang polis sebagai warisan masa krisis, menandai fase di mana Bumiputera harus rela menerima vonis sebagai perusahaan "sakit" dan sejak itu pula era sebagai pemimpin pasar di industri asuransi jiwa berakhir.

Peran pemerintah

Perusahaan mutual adalah perusahaan yang dimiliki oleh pemegang polis, bentuk usaha yang paling awal sejak asuransi  pertama kali dikenal manusia. Mutual dikenal hingga kini di berbagai belahan dunia di Jepang, AS, dan Eropa sebagai bentuk usaha asuransi yang eksis  dan terbukti lebih tahan menghadapi krisis dibanding bentuk perseroan (Sigma Swissre, 2016).

Dengan jumlah pemegang polis tidak kurang dari juta orang, Bumiputera membutuhkan regulasi yang setara dengan perlakuan terhadap perusahaan terbuka.

Sayangnya, pemerintah abai memenuhi itu. Sejak Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian yang mengamanatkan pembuatan UU Mutual, yang kemudian diperbarui menjadi UU No 40/2004 yang memerintahkan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) Mutual, pemerintah tidak kunjung memberi perhatian terhadap usaha bersama. Bahkan, perintah Mahkamah Konstitusi sebagai hasil  uji materi terhadap UU No 2/1992, yang diajukan dan dimenangi pemegang polis, hanya dianggap angin lalu.

Bumiputera tetap berjalan dengan segala problematikanya beradaptasi dengan RBC yang notabene adalah alat ukur perusahaan berbasis modal. Akibatnya, Bumiputera mengalami permasalahan serius terkait dengan ukuran solvabilitas dan pelaksanaan tata kelola perusahaan (GCG) lantaran tidak memiliki acuan dan dipaksakan masuk ke dalam bingkai dan sudut pandang perusahaan perseroan terbatas. Bumiputera berkali-kali menerima surat teguran dan sanksi dari regulator terkait ketidakmampuannya memenuhi rasio permodalan.

Absennya regulasi mutual juga menyulitkan Bumiputera melaksanakan praktik usaha bersama secara konsekuen, dengan melakukan pembebanan kepada pemegang polis jika terjadi kerugian. Pemegang polis sebagai pemilik perusahaan selama ini hanya menikmati pembagian keuntungan melalui reversionary bonus yang ditambahkan saat pembayaran klaim sebagai bentuk dividen.

Sementara beban kerugian, terutama pasca-krisis keuangan, harus menjadi beban dan diatasi sendiri oleh   manajemen.

Puncak masalah dari absennya regulasi mutual ini adalah intervensi berbagai pihak dengan berlindung di balik persoalan "tidak sehatnya" Bumiputera dalam rangka "penyelamatan". Terhitung sejak 2008 lalu, Bumiputera hampir setiap 1-2 tahun mengalami bongkar pasang manajemen, tanpa penjelasan memadai. Konon, ini adalah hasil kinerja Badan Perwakilan Anggota (BPA) sebagai lembaga tertinggi di Bumiputera. Kita lupa bahwa manajemen perusahaan keuangan tidak mungkin hadir tanpa melalui "restu" OJK melaluiuji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan hampir setiap tahun.

Pengelolaan statuter

OJK menetapkan pemberlakuan PS kepada Bumiputera pada  21 Oktober 2016 dengan dasar UU No 21/2011 tentang OJK dan UU No 40/2014 tentang Perasuransian. PS ditunjuk OJK menggantikan dewan komisaris dan direksi yang diangkat  kurang dari dua  bulan sebelumnya dan telah dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan oleh OJK untuk masa lima tahun.

Sebelum PS bertugas, OJK sudah mempertemukan manajemen dengan konsultan yang akan merestrukturisasi Bumiputera dan sudah berulang kali melakukan perubahan skema restrukturisasi, mulai dari rencana right issue hingga kerja sama investasi langsung dengan "investor". Sehari setelah direksi dan komisaris dinonaktifkan, PS memindahkan aset-aset properti strategis milik Bumiputera ke perusahaan investor, tanpa memindahkan kewajibannya.

PS kemudian melakukan proses run-off, seluruh operasional perusahaan dihentikan, kecuali melayani pemegang polis yang asuransinya masih berjalan. Bumiputera yang biasanya mencetak pendapatan premi Rp 5
triliun setiap tahun harus gigit jari karena produksi baru masuk ke "anak perusahaan" PT Bumiputera yang dibentuk sebagai bagian dari strategi restrukturisasi.

Langkah selanjutnya, PS melakukan  pemutusan hubungan kerja 1.100 karyawan dengan imbalan pesangon dan memindahkan ribuan agen pemasaran ke PT Bumiputera. Bersama dengan kepindahan karyawan yang menjadi ujung tombak pemasaran, PS memfasilitasi perusahaan baru ini dengan sistem dan produk yang selama ini dipasarkan AJB Bumiputera 1912.

Ketika OJK periode kedua memasuki masa kerja, kita tahu kemudian, seluruh kerja sama dengan pihak "investor" dihentikan. Aset-aset properti yang sudah dipindahkan diperintahkan untuk kembali ke pangkuan AJB Bumiputera 1912. PT Bumiputera bersalin nama menjadi  PT Bhinneka Life. Namun, karyawan sudah telanjur diberhentikan dan menjadi milik  perusahaan tersebut. Bumiputera telanjur tidak beroperasi selama setahun lebih. Likuiditas kembali tertekan hebat. Aset finansial terpaksa dicairkan sebelum waktunya.

Reputasi Bumiputera telanjur tercoreng. Pencairan klaim tertunda berbulan-bulan karena kesulitan dana. Karyawan telanjur disorientasi dan mengalami kelelahan mental. Prestasi PS yang kemudian tercatat adalah  melahirkan perusahaan bernama PT Bhinneka—yang entah milik siapa karena ternyata Bumiputera tidak memiliki saham di situ—tanpa harus bersusah payah merekrut dan membangun SDM, menciptakan produk dan sistem. PS sukses menggerus aset finansial Bumiputera dari Rp 8 triliun menjadi tersisa Rp 3 triliun hanya dalam dua tahun dan membuat pembayaran klaim tertunda berbulan-bulan yang mengundang kemarahan pemegang polis dan kelelahan mental karyawan.

Yang hendak dilakukan OJK melalui PS sejak awal adalah upaya demutualisasi  terhadap Bumiputera  dengan cara mengabaikan anggaran dasar Bumiputera. Padahal, anggaran dasar Bumiputera sudah menyediakan  pintu keluar dari bentuk mutual, yakni pembubaran Bumiputera hanya dapat terjadi atas permintaan sekurang-kurangnya setengah ditambah satu dari seluruh jumlah anggota yang mewakili sekurang-kurangnya dua pertiga dari seluruh uang pertanggungan Bumiputera (Pasal 40).

OJK kemudian mencabut  PS. BPA atas restu OJK seperti tahun-tahun sebelumnya kembali mengangkat manajemen baru dengan proses yang dipertanyakan akuntabilitasnya. Lalu, seperti yang ditulis  Munawar Kasan, Bumiputera  dikatakan kini kembali beroperasi secara "normal", sedang langkah-langkah OJK  mengingkari   Bumiputera sebagai situs sejarah  alat perjuangan rakyat.