Larangan Penggunaan Kantong Plastik
Masyarakat perlu menyambut baik Perda Wali Kota Bogor Nomor 61 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik. Mulai 1 Desember 2018, pusat belanja dan pasar swalayan di Kota Bogor tidak lagi menyediakan kantong plastik bagi konsumen yang berbelanja. Langkah Kota Bogor ini mengikuti tiga kota lainnya: Balikpapan, Bandung, dan Banjarmasin.
Dalam uji coba pelarangan plastik beberapa waktu yang lalu, masyarakat direpotkan karena pasar swalayan hanya menyediakan bungkus karton bekas yang membuat konsumen tak nyaman membawa belanjaan. Kalau pasar swalayan hanya menyediakan karton bekas, konsumen tentu merasa dirugikan karena haknya mendapatkan wadah belanjaan yang bersih dan praktis (dulu plastik) kini tidak disediakan.
Sebagai konsumen, saya mengusulkan agar pelarangan penggunaan kantong plastik harus disertai kewajiban agar pasar swalayan menyediakan kantong kertas (paper bag) yang juga lazim digunakan di negara-negara maju. Kantong kertas yang ramah lingkungan sudah biasa disediakan di toko-toko Amerika sejak tahun 1980-an.
Ali Khomsan
Bogor, Jawa Barat
Distribusi BBM Tak Tepat Sasaran
Berita regional Kompas. com (9/11/2018), "Sopir Truk Mengamuk karena Emosi Melihat Petugas SPBU Melayani Puluhan Jeriken", berlatar Desa Lombe, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara.
Koran lokal Kalimantan Tengah edisi 6 November 2018 memberitakan "Sulit Dapat Solar, Sopir Truk Mengadu ke DPRD" dengan latar Kota Sampit, Kabupaten Kota Waringin Timur, Kalimantan Tengah.
Berita edisi 15 November 2018 berjudul "SPBU RTA Milono Ditutup, Gara-Gara Mobil Pelangsir Terbakar" berlatar Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Peristiwa pada berita-berita tersebut menggambarkan betapa banyak persoalan pendistribusian BBM di (sejumlah) daerah yang tidak tepat sasaran, hanya menguntungkan segelintir pihak (pelangsir).
Mohon pemerintah terkait mengevaluasi sistem penyaluran dan pengawasan BBM.
Fransisco
Kecamatan Pahandut,
Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
Hilangkan Sebutan "Yth" pada DPR
Terus terang semula saya malas menulis judul tulisan di atas. Di samping tentu akan tidak disenangi para anggota DPR bersangkutan, juga publik sudah malas membacanya, bahkan tak diacuhkan karena mereka sudah maklum.
Begitu membaca Tajuk Rencana Kompas (24/11/2018), "Buka Kinerja Anggota DPR", saya jadi tergelitik untuk mengomentarinya.
Saya sebenarnya kasihan kepada anggota DPR sekiranya sebutan "Yth" masih ditulis di depan namanya karena sebutan tersebut punya konsekuensi bahwa yang bersangkutan perlu berperilaku baik: memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah memilihnya, aktif dalam rapat-rapat yang diperlukan dalam pembahasan undang-undang bagi kemaslahatan rakyat, dan tentu saja menghindar dari perilaku korupsi yang berarti sangat merugikan rakyat banyak.
Sayang, sebutan "Yth" ternodai dengan kenyataan yang selama ini kita saksikan: betapa banyak anggota DPR tak kuat menyadang gelar "Yth". Kami menyadari bahwa banyak anggota DPR yang berperilaku
baik dan bekerja mengangkat derajat rakyat yang diwakilinya.
Menurut Kompas, sebutan "Yth" disematkan oleh rakyat dengan harapan dapat memenuhi tugasnya dengan baik. Saya sendiri tidak tahu kapan persisnya sebutan "Yth" melekat di depan nama mereka selaku anggota DPR.
Saya selaku rakyat yang ikut memilih mereka mengusulkan agar sebutan "Yth" dihilangkan saja dimulai dari anggota DPR pilihan Pemilu 2019 agar tak membebani mereka yang menyandang gelar tersebut.
Hapsoro Siswopranoto
Perumahan Bukit Nusa Indah, Serua,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar