Diakui atau tidak, suka atau tak suka, warga bangsa terpolarisasi akibat sikap dan pilihan politik. Karena praktik politik sering kali diwarnai kelancungan di sana-sini, termasuk menggunakan isu SARA sebagai pemantik, maka sejumlah orang atau kelompok, terutama di kalangan pengguna gawai, tanpa bekal dan kemampuan sikap kritis, terperangkap pada kubangan percakapan yang sangat tidak produktif.

Berisik, nyinyir, tak jarang bernada fitnah, kasar, dan penuh kebencian. Padahal, hidup dan kehidupan keseharian bukan hanya berurusan dengan politik, melainkan terkait pula dengan banyak aspek yang membutuhkan sikap respek kepada siapa pun meski berbeda dalam banyak hal. Pertanyaan sebagai interupsi atas serba-serbi politik ini adalah apakah seni/kesenian dapat
merekatkan kembali yang tercerai?

Interupsi ini penting karena, secara faktual, kesenian berada sedemikian dekat di sekitar kita sehari-hari. Kesenian perlu lebih diberdayakan fungsinya agar tidak sekadar menjadi klangenan atau terperangkap menjadi benda-benda komoditas yang sering kali menjadi pangkal keributan (antar-seniman dan para penyangganya) yang tidak produktif bagi kepentingan orang banyak. Kesenian perlu didorong oleh banyak pihak menjadi perekat keindonesiaan.

Contoh menarik terkait dengan pemberdayaan untuk kesadaran "menjadi Indonesia" adalah bidang olahraga, seperti tampak pada momentum Asian Games 2018 yang baru saja usai. Sorak sorai yang mengiringi pertandingan setiap cabang olahraga adalah gemuruh peneguhan keindonesiaan.

Para atlet di arena laga adalah "manusia Indonesia" yang tidak lagi dipersoalkan aspek SARA (suku, agama, ras, ataupun etniknya). Di media sosial beredar kisah, ketika Jojo (Jonatan Christie) di tengah kegentingan laga berdoa secara Kristiani, penonton berteriak, "Bismillah, kamu bisa, Jojo." Akhirnya Jojo memenangi laga dan semua histeris bangga sebagai sesama Indonesia.

Jika bicara perkara pemberdayaan kesenian yang produktif, maka yang terkait langsung adalah pendidikan tinggi seni (Institut Seni Indonesia, Institut Seni Budaya Indonesia, dan sejumlah fakultas seni di institut atau universitas; ISI Yogyakarta, Surakarta, Denpasar, Padang Panjang, ISBI Aceh, Bandung, Papua, Kalimantan Timur, IKJ).

Karena di sanalah konsep dan implementasi perkara memberdayakan seni berada dan seharusnya dimulai. Melalui tridarma perguruan tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—idealnya, perguruan tinggi seni (PTS) memiliki peranti untuk melihat, mengamati, mengonsep, merancang/mendesain, dan menerapkan setiap penciptaan dan pengkajian untuk kepentingan membangun demokrasi yang berujung merekatkan kekerabatan antarwarga bangsa.

Mitigasi risiko

Aktivitas tridarma perguruan tinggi merupakan aktivitas yang semestinya selalu terhubung dengan realitas masyarakat. Aktivitas pendidikan semestinya selalu berada dalam kesadaran untuk membuka pintu pengetahuan, menyibak cakrawala dunia sains, dan keseharian, beserta pernik-pernik masalahnya. Dalam proses belajar dibuka seluas-luasnya ruang percakapan, ruang dialog, forum untuk menyatakan pendapat dengan segenap argumentasi, dan dengan demikian semua pihak terbiasa dengan dialektika, disertai etika serta sikap respek.

Para mahasiswa dikondisikan untuk menghadapi persoalan berikut solusi kritis, yang berujung pada tindakan kreatif. Karena pada dasarnya yang ingin dicapai dari seluruh proses pembelajaran itu adalah melahirkan manusia kritis, cekatan bertindak, mampu keluar dari jalan buntu, dipenuhi oleh daya dorong untuk memberdayakan, penuh empati, dan tumbuh kesadaran sebagai filantropis.

Aktivitas penelitian adalah upaya mengamati, menyusun konsep, merancang/mendesain "sesuatu" yang bertumpu pada "masalah", sekaligus mengimplementasikan teori, yang hasilnya dapat diterapkan untuk kepentingan masyarakat. Dengan keyakinan semacam itu, maka meneliti merupakan aktivitas menemukan dan memecahkan masalah, dengan pendekatan partisipatoris ataupun emansipatoris.

Meneliti menjadi kebutuhan yang mendesak bagi sivitas akademika karena realitas masyarakat dijadikan basis orientasi. Masyarakat Indonesia yang tengah berada dalam kondisi terpolarisasi, pada lapis tertentu lemah literasi, tak berkemampuan kritis, memerlukan pendekatan baru melalui seni untuk menumbuhkan kesadaran kebersamaan sebagai warga bangsa. Seperti pada olahraga, seni/kesenian juga memiliki potensi untuk membangun saling pengertian dan merekatkan kekerabatan antarmanusia.

Pengabdian kepada masyarakat merupakan aktivitas "terlibat" di tengah masyarakat untuk kepentingan mendorong, menginspirasi, mengajak, dan membangkitkan keberdayaan, kemandirian, kreativitas, dan kebanggaan sebagai warga bangsa. Proses pengabdian pada dasarnya merupakan proses saling belajar, saling memberi, saling menerima—antara sivitas akademika dan masyarakat—untuk menciptakan berbagai kemungkinan.

Laporan Kompas ("Desa Simpan Potensi Besar", Senin, 17 September 2018) terkait dengan program Kuliah Kerja Nyata mahasiswa Universitas Gadjah Mada merupakan contoh menarik bagaimana masyarakat terlibat/dilibatkan.

Seni dan keindonesiaan

Melalui pemikiran dan perancangan yang saksama dan bertumpu pada realitas masyarakat, maka saya melihat potensi besar bahwa kesenian bertautan dengan keindonesiaan. Seperti pencapaian Jojo, ganda "minions" Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon, Anthony Sinisuka Ginting, Emilia Nova, Aries Susanti Rahayu, dan lainnya, melalui proses panjang, berujung pada "sentimen keindonesiaan" yang dicapai melalui tenaga, keringat, strategi, dan mentalitas "demi Indonesia".

Bidang seni sangat berpotensi untuk memetik pencapaian yang sama. Nama-nama seperti Heri Dono, Eddie Hara, Nindityo Adi Purnomo, Tisna Sanjaya, Entang Wiharso, Nasirun, Pupuk Daru Purnomo, Putu Sutawijaya, Eko Nugroho, Ay Tjoe Christine, Wedhar Riyadi, Mulyono, Arin Dwi Hartanto, dan banyak lagi lainnya sangat mungkin merepresentasikan Indonesia dalam panggung-panggung internasional sejauh dimediasikan dengan baik dan profesional.

Sivitas akademika PTS dapat didorong untuk aktif mencipta, mengkaji, dan bermasyarakat dalam bingkai keindonesiaan. Polarisasi politik perlu diinterupsi dengan berbagai aktivitas kesenian—festival, kompetisi, lomba cipta, menulis esai, menulis kritik, kompetisi film pendek, animasi kepahlawanan, animasi kemanusiaan, tarian Nusantara, aransemen musik rakyat, dan lain-lainnya—yang menggulirkan dialog kritis penuh pengalaman serta pengetahuan seni.

Isu SARA harus diredam dengan membangun dan menumbuhkan kesadaran atas realitas keragaman melalui aktivitas kesenian dengan segala bentuknya tadi. Intoleransi harus ditolak, sekaligus menumbuhkan dan membangkitkan kesadaran toleransi. Perbedaan adalah rahmat. Yang sama jangan dibedakan. Yang beda jangan disamakan (Bakdi Soemanto, 2014).

Sikap semacam ini penting sambil menumbuhkan kesadaran bahwa Indonesia adalah negara besar yang disatukan oleh lautan. Dari ujung Sabang hingga ujung Merauke, dari Miangas hingga Rote merupakan kenyataan tentang keberagaman itu.

Pekerjaan rumah berikutnya bagi akademisi seni (juga disiplin ilmu lainnya) adalah bagaimana menumbuhkan kebanggaan setiap warga di seluruh pelosok Tanah Air: bangga menjadi bagian dari Indonesia. Bangga memiliki perbedaan, tetapi satu Tanah Air.

Bangga memiliki motif tumpal geometris dengan warna-warna sederhana; bangga memiliki kain tenun dengan pewarna alam, bangga memiliki sagu dan buah merah, bangga memiliki ikan-ikan segar, bangga memiliki adat yang menyatukan, bangga memiliki masjid yang megah, bangga memiliki gereja yang indah, bangga memiliki pura yang wingit, bangga memiliki kelenteng yang gemerlap, dan sebagainya dalam payung teduh Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya berbeda, saya Indonesia.