Apabila kita mendengar kasus pemerkosaan, pelecehan, atau kekerasan seksual, cukup sering respons yang terdengar adalah "Masa, sih, apakah benar demikian?", "Setahu saya, dia (yang diidentifikasi sebagai pelaku) adalah orang baik dan rajin beribadah juga".
Contoh tanggapan lain adalah "Ah, mungkin itu bukan benar-benar pemerkosaan". Sebagian lain akan berkomentar, "Perempuannya memang enggak bener, mestinya dia yang merayu?"
Tanggapan di atas cukup sering terdengar khususnya jika korban adalah perempuan, apalagi jika ia sudah remaja atau berusia dewasa. Tidak jarang perempuan berusia anak juga dipersalahkan atau dianggap sebagai penanggung jawab kejadian (misal berpakaian tidak sopan, masuk ke rumah orang, bandel, dan berjalan tanpa pengawasan).
Kasus-kasus yang ditangani mahasiswa Profesi Psikologi Klinis di kepolisian resor (polres) juga mengungkap stigma dari masyarakat, termasuk wakil sekolah dan kelompok otoritas pada anak perempuan yang menjadi korban.
Ada korban-korban anak yang tidak dapat bersekolah lagi karena dianggap bukan anak perempuan baik-baik. Di lingkungannya, mereka dicibir, dibahas dengan bisik-bisik, dan dijauhi oleh masyarakat.
Respons masyarakat terhadap pengungkapan kasus kekerasan seksual kepada (anak) laki-laki mungkin berbeda. Karena keterbatasan ruang, persoalan pada anak laki-laki akan kita diskusikan dalam tulisan yang berbeda.
"He didn't mean to" Cara pikir di atas dapat kita sebut sebagai "mitos pemerkosaan". Istilah ini menunjuk pada keyakinan keliru yang digunakan untuk memindahkan kesalahan atau tanggung jawab terjadinya kekerasan seksual, bukan kepada pelaku, melainkan kepada, atau menjadi, tanggung jawab korban.
Tokoh utama yang berhasil mengungkap mitos pemerkosaan adalah Susan Brownmiller (1975) dan Martha Burt (1980). Berawal dari pemikiran mereka, dikembangkanlah kuesioner psikologi berskala untuk mengukur ada/tidaknya mitos pemerkosaan, yang disebut dengan skala Rape Myths Acceptance.
Burt menguraikan mitos pemerkosaan dalam kategori berikut. a) Perempuan itu sendiri yang meminta hal itu (she ask for it); b) Itu bukan benar-benar pemerkosaan (it wasn't really rape); c) Yang disebut sebagai pelaku sebenarnya tidak bermaksud memerkosa (he didn't mean to); d) Ia (korban, perempuan) menginginkan hal itu (she wanted it); e) Perempuan itu berbohong mengenai pemerkosaan (she lied); f) Pemerkosaan merupakan peristiwa yang sepele (rape is a trivial event); dan g) Pemerkosaan adalah peristiwa yang menyimpang (rape is a deviant event).
Mitos pemerkosaan secara umum masih cukup banyak diyakini oleh masyarakat. Suarez dan Gadalla (2010) meninjau 37 penelitian dan menemukan bahwa mitos pemerkosaan masih cukup banyak diyakini di Amerika dan Kanada.
Penelitian juga sudah cukup banyak dilakukan di sejumlah negara lain, tetapi saya belum sempat mempelajari secara detail bagaimana berbagai budaya menampilkan gambaran mitos tersebut.
Yang pasti, untuk konteks Indonesia, atau lebih khusus lagi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), kami di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia sempat membuat payung penelitian skripsi untuk topik tersebut (2017, skripsi Carina Putri Utami, Steven Cokro, dan Inka Irina de Fretes).
Secara daring terkumpul 1.004 kuesioner yang dapat diolah dari responden mahasiswa, laki-laki dan perempuan. Temuan menunjukkan bahwa kelompok mahasiswa juga masih meyakini mitos pemerkosaan. Laki-laki cenderung menunjukkan keyakinan lebih tinggi, tetapi perbedaannya tidak signifikan.
Dilihat secara lebih detail, data menunjukkan, yang paling diyakini adalah "Dia (laki-laki itu) tidak bermaksud melakukannya". Pandangan yang juga relatif tinggi diyakini adalah "Perempuan itu sendiri yang memintanya".
Dengan temuan itu kita jadi lebih mengerti, mengapa masyarakat pada umumnya (termasuk juga pihak otoritas atau pengambil keputusan) terkesan tidak tega atau enggan untuk memberikan sanksi atau bentuk penjeraan yang tegas kepada pelaku.
Tinjauan Suarez dan Gadalla (2010) menemukan bahwa diterima atau diyakininya mitos pemerkosaan juga berkorelasi dengan diyakininya pandangan ideologis lain yang melihat sesama sebagai tidak setara.
Maksudnya, yang meyakini mitos pemerkosaan juga cenderung menunjukkan pandangan yang merendahkan perempuan dan kurang merangkul kelompok lain yang berbeda (kelas sosial, suku/ras, orientasi seksual, usia).
Keyakinan dan perilaku
Dengan temuan di atas, program-program pendidikan masyarakat, langkah pencegahan, dan kebijakan seyogianya diperluas untuk dapat mencakup strategi-strategi menghilangkan pandangan dan praktik-praktik yang kurang merangkul kelompok berbeda.
Hal tersebut sekaligus diarahkan untuk mengurangi penyalahan pada korban. Perlu dipastikan bahwa korban dapat menjadi penyintas yang berdaya, meninggalkan situasi yang terpuruk dan terstigma.
Yang cukup mengkhawatirkan adalah mitos pemerkosaan juga cukup memengaruhi pandangan profesional kesehatan mental dan pihak-pihak yang seyogianya lebih menunjukkan kepedulian pada korban. Jika demikian, korban tidak terbantu, tetapi justru dapat menjadi lebih kacau.
Penelitian menunjukkan bahwa penerimaan atau keyakinan akan mitos pemerkosaan ini bukan hanya merupakan pandangan (di kepala), melainkan juga berkorelasi dengan perilaku konkret melakukan agresi seksual.
Penelitian lain juga menemukan bahwa pada populasi umum cukup banyak pelaku kekerasan seksual yang tidak teridentifikasi atau terlaporkan. Yang demikian akan cenderung mengulang perilakunya karena tidak mengalami penjeraan, sekaligus makin menguatkan kebiasaan melakukan agresi seksual, membenarkan diri, dan menyalahkan korban.
Tampaknya pekerjaan rumah kita masih sangat banyak. Semoga Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dapat segera disahkan. Yang juga sangat penting, semoga UU tersebut menghadirkan substansi yang mampu memberikan pemahaman komprehensif mengenai kompleksitas kekerasan seksual beserta pencegahan dan penanganannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar