Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa angka kemiskinan di Indonesia turun dari 10,12 persen menjadi 9,66 persen. Jumlah penduduk miskin Indonesia berkurang 910.000 orang; dari 26,58 juta orang menjadi 25,67 juta orang.
Tidak itu saja, indeks kedalaman dan indeks keparahan juga menurun. Indeks kedalaman kemiskinan, misalnya, turun dari 1,79 menjadi 1,63. Sementara indeks keparahan kemiskinan berkurang dari 0,46 menjadi 0,41. Angka-angka penurunan tersebut terjadi dalam satu tahun, dari September 2017 sampai dengan September 2018 (Kompas, 16/1/2019).
Dari angka-angka penurunan kemiskinan tersebut, banyak hal yang menarik untuk didiskusikan. Salah satunya adalah adanya kesamaan angka penurunan kemiskinan untuk masing-masing desa dan kota serta besarnya disparitas kemiskinan desa dengan kota selama satu tahun tersebut. Penurunan kemiskinan untuk masing-masing desa dan kota menunjukkan angka yang sama: 0,37 persen. Untuk desa, misalnya, turun dari 13,47 persen pada September 2017 menjadi 13,10 persen pada September 2018. Untuk kota, angka kemiskinan juga turun dari 7,26 persen menjadi 6,89 persen dalam periode tersebut.
Untuk besaran disparitas angka kemiskinan antardesa dan kota juga menunjukkan nilai yang sama sebesar 6,21 persen baik pada September 2017 maupun pada September 2018. Pada September 2017, angka kemiskinan desa 13,47 persen, sedangkan angka kemiskinan kota sebesar 7,26 persen. Pada periode September 2018, angka kemiskinan desa 13,10 persen dan angka kemiskinan kota 6,89 persen. Mengapa demikian?
Penurunan angka kemiskinan untuk masing-masing desa dan kota ataupun angka disparitas desa dan kota yang sama di atas tentu bukan sesuatu "kebetulan". Badan Pusat Statistik (BPS) menyederhanakan dengan mengatakan penurunan angka kemiskinan pada September 2018 disumbangkan dari membaiknya sejumlah indikator, seperti upah riil buruh tani, nilai tukar petani (NTP), dan inflasi rendah. Jika itu benar, mengapa angka penurunan kemiskinan di masing-masing desa dan kota ataupun disparitas angka kemiskinan desa dan kota dalam periode tersebut sama nilainya?
Implikasi kebijakan
Semestinya, jika ketiga variabel yang disebutkan BPS membaik dan berkontribusi pada penurunan kemiskinan, penurunan angka kemiskinan di masing-masing desa dan di kota ataupun disparitas kemiskinan desa dengan kota tak akan sama berturut-turut 0,37 persen dan 6,21 persen di satu tahun lalu. Bahkan, penurunan angka kemiskinan perdesaan harusnya lebih besar daripada penurunan angka kemiskinan perkotaan.
Akibatnya, besaran disparitas kemiskinan kota dengan desa makin mempersempit gap kedua angka tersebut. Pasalnya, dengan membaiknya indikator upah riil buruh tani, NTP dan inflasi rendah, daya beli atau pendapatan/pengeluaran riil penduduk miskin di perdesaan semakin meningkat lebih besar vis a vis di perkotaan.
Dengan analisis tersebut, paling tidak terdapat tiga implikasi kebijakan dan program yang harus ditelusuri lebih lanjut. Pertama, kebijakan dan program yang diarahkan meningkatkan upah riil buruh tani, NTP, dan inflasi rendah belum sepenuhnya mampu menurunkan kemiskinan di perdesaan lebih besar sampai tahun 2018.
Kedua, ketiga kebijakan dan program di atas belum terdistribusi secara merata untuk menurunkan angka kemiskinan di perdesaan dan disparitas kemiskinan kota dengan desa.
Ketiga, kebijakan dan program menaikkan upah riil petani, NTP, dan inflasi rendah bukan satu-satunya solusi dalam menurunkan angka kemiskinan desa dan mempersempit disparitas angka kemiskinan desa dengan kota.
Dari ketiga implikasi kebijakan dan program di atas, solusi menurunkan kemiskinan dan mempersempit disparitas kemiskinan desa dengan kota ke depan sebagai berikut.
Pertama, kebijakan dan program meningkatkan upah riil buruh tani, NTP, dan inflasi rendah perlu terus digulirkan. Pasalnya, ketiga kebijakan dan program ini secara ekonomi baik langsung ataupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi meningkatkan daya beli dan pengeluaran penduduk miskin desa.
Kedua, tingkat kesejahteraan yang semakin membaik di perdesaan akibat tiga kebijakan dan program di atas selama ini harus didampingi dengan upaya keras untuk mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan antarkelompok di perdesaan. Bukan tidak mungkin buah kebijakan dan program pengentasan penduduk dari kemiskinan di perdesaan yang dilakukan selama ini justru lebih menguntungkan penduduk yang kaya sehingga merekalah yang dominan menikmati keuntungan dari kue kemajuan ekonomi dan pembangunan.
Pengawalan ketat
Hal ini salah satunya dapat dilakukan dengan pengawalan ketat terhadap transformasi struktural ekonomi dari sektor pertanian dan nonpertanian di perdesaan yang terjadi selama ini agar lebih banyak diakses penduduk miskin di perdesaan, bukan hanya oleh penduduk non-miskin yang memiliki kapasitas modal saja.
Akhirnya, penelusuran kebijakan dan program di luar tiga kebijakan dan program di atas juga perlu dilakukan. Penelusuran itu tidak harus berarti merumuskan kebijakan dan program baru, tetapi dapat pula dilakukan dengan mengkaji ulang atau revisi atau integrasi, khususnya terhadap kebijakan dan program pengentasan warga dari kemiskinan yang menguras dana APBN/APBD dengan nilai besar, termasuk program dana desa, PKH, perlindungan sosial, perluasan bantuan sosial nontunai, dan cash for work, tetapi belum diketahui secara pasti dampak positif kuantitatif dalam menurunkan kemiskinan perdesaan dan disparitasnya dengan kemiskinan kota.
Singkatnya, pekerjaan rumah besar masih menunggu dalam meningkatkan kualitas penduduk miskin dan bukan hanya berpuas diri dengan membaiknya angka kemiskinan 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar