Bagi penulis, minggu keempat bulan November merupakan minggu keberagaman. Pada tanggal 21-25 November 2018, penulis terlibat dalam sebuah lokakarya tentang kerukunan antarumat beragama di Bogor. Dalam lokakarya ini, keberagaman bukan hanya menjadi bahan diskusi. Beberapa kebetulan terungkap. Pada saat yang sama, Presiden Joko Widodo menghadiri silaturahmi bersama para ulama di Masjid Baitussalam, Istana Kepresidenan Bogor. Kompas melaporkan hajatan ini dengan tema "Islam Hargai Perbedaan" (Kompas, 22 November 2018, hlm 15).
Esok harinya, Jumat 23 November 2018, seluruh kolom opini Kompas fokus pada tema senada: "Rumah Kita Bersama", "Sungutan Radikalisme …", dan "Kekhalifahan Virtual…". Semua ini penulis alami di Bogor. Dalam lokakarya itu, penulis menjelaskan cakupan ide multikulturalisme dengan interkulturalisme sebagai pelengkapnya. Alasan kemunculan konsep interkulturalisme adalah merebaknya sikap skeptis terhadap multikulturalisme sebagai garda terdepan penjaga kaum minoritas.
"Requiem" bagi multikulturalisme
Pada dekade pertama abad ke-21, beberapa pemimpin pemerintahan dan negara mengejutkan dunia. Mereka mengungkapkan kesangsian terhadap multikulturalisme. Bahkan, ada yang mendeklarasikan kematian multikulturalisme sebagai salah satu solusi untuk menjawab problematika sosial, kultural, dan religius di negara mereka. Perdana Menteri Inggris (saat itu) David Cameron mengentak dengan nada menyerang multikulturalisme. Baginya, ideologi ini bertanggung jawab atas hilangnya identitas kolektif masyarakat Inggris.
Multikulturalisme telah menyemai bibit perbedaan di antara komunitas-komunitas di Inggris. Ide ini lebih mendorong cara hidup yang cenderung memisahkan diri dari komunitas lain. Ia pun mengenggankan cara hidup yang biasanya berlaku umum.
Jawaban konkret Cameron adalah membuat kebijakan melawan kekuatan yang mengekalkan dinding pemisah antarkomunitas. Tujuan utamanya adalah langgengnya identitas kolektif warga Inggris (The Guardian, 26 Februari 2008).
Dengan nada yang lebih evaluatif, Kanselir Jerman Angela Merkel mendeklarasikan bahwa multikulturalisme telah "gagal total" di Jerman. Ia secara gamblang menegaskan bahwa tuntutan dan tanggung jawab sebenarnya ada di pundak para imigran. Mereka seharusnya mengerahkan segala usaha terbaiknya untuk berintegrasi dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat Jerman. Deklarasi ini langsung menjadi pemicu debat tentang imigrasi di negara tersebut (The Guardian,17 Oktober 2010).
Dalam sebuah wawancara televisi yang disaksikan oleh kira-kira 8,2 juta pemirsa di tahun 2011, Presiden Perancis (saat itu) Nicolas Sarkozy menggemakan kematian multikulturalisme. Baginya, Perancis terlalu memperhatikan identitas para imigran sampai lupa pada identitas diri mereka sendiri. Namun, penegasan Sarkozy ini malah mengundang kritikan. Kritikan merujuk pada fakta bahwa Inggris dan Jerman ternyata lebih fleksibel dalam menanggapi praktik kultural kaum minoritas daripada Perancis (The Irish Times, 12/2/2011).
Reaksi yang berbeda terjadi di Indonesia. Berhadapan dengan konflik yang berhubungan dengan perbedaan kultur, agama, dan ras, narasi preskriptif yang dikumandangkan adalah fakta multikultural. Pluralitas kultur, agama, dan ras dianggap bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia yang tak terbantahkan. Argumen ini secara langsung merujuk pada kenyataan demografis Indonesia.
Pada Juli 2015, di tengah pembagian bahan pokok gratis di Solo, Presiden Jokowi menanggapi kerusuhan yang terjadi di Tolikara, Papua. Selain menegaskan penegakan hukum dalam penyelesaian kerusuhan tersebut, Jokowi kembali menegaskan fakta kemajemukan negeri ini. Jokowi menegaskan kondisi multikultural Indonesia. Ia juga mengajukan beberapa proposisi yang dianggap sebagai jawaban yang tepat untuk masalah ini, yaitu toleransi, kebersamaan, dan persatuan (Kompas, 18 Juli 2015).
Perbedaan reaksi para pemimpin negara dan pemerintahan di atas tentunya merefleksikan problem domestik masing-masing. Negara-negara tersebut mengasumsikan perbedaan latar belakang yang kompleks. Latar belakang yang berbeda tersebut telah menghasilkan pengalaman yang berbeda akan multikulturalisme.
MultikulturalismeIndonesia
Multikulturalisme di Indonesia lebih banyak dilihat sebagai fakta primordial. Indonesia sebagai gugusan kemajemukan kultur, agama, ras, dan bahasa merupakan fakta terberi. Namun, multikulturalisme belum merupakan proposisi politik yang solid dan operasional. Ketika kita berhadapan dengan problem kemajemukan, kita kembali menegaskan fakta demografis. Sementara sebagai solusi politik, kita menyerukan penegakan hukum kepada yang bersalah, toleransi, serta kebersamaan yang berbasis nilai kemanusiaan.
Semua proposisi politik ini berbasis pada politik kesetaraan. Ini tidak salah, tetapi tidak cukup. Alasannya, proposisi ini belum secara eksklusif menekankan pemberdayaan setiap elemen yang berbeda. Dengan kata lain, pluralitas belum "dirayakan". Multikulturalisme perlu menginspirasi dan menjadi napas setiap kebijakan politik yang berhubungan dengan pluralitas bangsa.
Namun, kebijakan politik ini perlu diperkuat dalam produk hukum yang menjamin pertumbuhan setiap kelompok yang berbeda dalam hal kultur, agama, ras, dan bahasa. Mereka perlu dijamin untuk berkembang, baik di ranah publik maupun di ranah pribadi.
Setiap kultur, ras, dan bahasa perlu dijamin secara politis dan yuridis untuk mempertahankan eksistensinya dan mengembangkan kekayaannya sendiri. Setiap agama dijamin secara politis dan yuridis untuk mengekspresikan segala elemen religiositasnya yang unik. Secara politis, hak politik, keterwakilan politik, dan partisipasi politik setiap individu dengan latar belakang multikultural perlu ditegakkan.
Interkulturalisme
Namun, jaminan politik dan yuridis saja tidaklah cukup. Ini baru di lapisan normatif. Kehidupan praktis masyarakat masih sangat rawan, terutama dengan merebaknya radikalisme dan terorisme. Di sinilah praktik interkulturalisme melengkapi multikulturalisme. Levrau dan Patrick Loobuyck menegaskan bahwa interkulturalisme memang tidak dapat menggantikan multikulturalisme (Ethical Perspectives 20, No 4, 2013). Namun, interkulturalisme memberi kontribusi komplementer terhadap pemberdayaan sosial.
Interkulturalisme mengacu pada kebijakan pemerintah, tokoh agama, tokoh budaya, tokoh politik dan sosial, yang fokus pada investasi kohesi sosial di level akar rumput. Hal ini berwujud pada program kebersamaan di segala tingkatan kemasyarakatan, yang melibatkan semua anggota masyarakat.
Kehadiran strategis dan praktik partisipatif kelompok lintas agama dan budaya, baik yang formal maupun informal, dalam setiap masyarakat basis merupakan "daging" interkultural bagi "kerangka" multikultural. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang berbasis gotong royong juga merupakan kontribusi pragmatis terhadap jaminan kelekatan sosial masyarakat. Inilah interkulturalisme yang merupakan wajah kini multikulturalisme Indonesia.
Jadi, multikulturalisme menjawab lapisan yuridis dan proposisi politik di level elite. Namun, di level akar rumput, kelekatan sosial dipelihara oleh percikan semangat dan praktik interkultural. Program interkultural inilah yang jadi multikulturalisme yang "dialami".
Epilog
Multikulturalisme bukan hanya fakta kemajemukan semata, bukan juga sekadar salah satu klausul kontrak sosial pendirian negara ini. Multikulturalisme perlu mewujud dalam keberpihakan politik, keterwakilan politik, dan partisipasi politik dari setiap individu dengan latar belakang yang plural.
Di level akar rumput, multikulturalisme perlu dialami secara konkret. Di sinilah peran program interkultural. Multikulturalisme akhirnya dialami dalam interkulturalisme. Inilah wajah rekonsiliasi multikulturalisme interkultural Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar