Sebagai janji Republik, cita-cita luhur ini tak boleh hanya tercatat, tetapi harus selalu diupayakan oleh segenap anak bangsa dari waktu ke waktu. Untuk mewujudkan itu semua dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Setelah merdeka dari penjajah, uang kas negara dalam keadaan kosong.
Seusai membaca naskah proklamasi, Presiden Soekarno pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki karena ketiadaan mobil dinas kepresidenan. Salah satu usaha untuk memenuhi kas negara, pada tahun 1946 Pemerintah RI mengeluarkan surat utang negara yang disebut Pinjaman Nasional. Pinjaman pemerintah kepada rakyat itu merupakan utang pertama yang tercatat dalam sejarah Republik ini.
Dalam perjalanan setelah era kemerdekaan sampai saat ini, semua presiden RI mengambil kebijakan untuk berutang guna menambal defisit anggaran negara. Hal ini juga lazim dilakukan negara lain. Sampai saat ini tercatat 182 dari 196 negara di dunia berutang untuk menutup defisit kas negaranya.
Utang hanyalah bagian kecil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara keseluruhan. APBN sendiri merupakan wujud dari kesepakatan bersama antara pemerintah dan rakyat yang diwakili DPR, yang kemudian pelaksanaannya diawasi Badan Pemeriksa Keuangan. Secara berjenjang Rancangan APBN dibahas DPR dan kementerian/ lembaga sesuai bidangnya masing-masing. Hasil kesepakatan ini kemudian dibawa ke Badan Anggaran DPR untuk dibahas bersama wakil pemerintah.
Terakhir, dokumen APBN ditetapkan sebagai UU dalam Rapat Paripurna DPR yang harus memenuhi kuorum.
Rasio dan kemampuan bayar
Di dalam APBN terdapat tiga unsur besar, yaitu pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Apabila pendapatan negara tidak mencukupi untuk belanja negara, defisit ditutup melalui utang atau pembiayaan. Untuk itu, utang harus dapat dilihat sebagai bagian utuh APBN. Akan sangat keliru apabila dilakukan pembahasan utang negara tanpa melihat keseluruhan bagian dari postur APBN dan kondisi perekonomian negara.
Contohnya adalah nilai nominal utang. Jika disebutkan angka utang Indonesia pada 2018 sebesar Rp 4.418,3 triliun, hal itu akan terlihat sangat besar. Nilai ini akan menjadi biasa saja jika dibandingkan dengan penghasilan negara yang tecermin dalam produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 14.735,85 triliun. Sebagai perbandingan, utang pemerintah tersebut hanya 29,98 persen dari total produksi ekonomi Indonesia. Rasio utang terhadap PDB ini masih jauh dari yang diperbolehkan UU Keuangan Negara sebesar 60 persen.
Contoh lain, jika melihat penambahan utang tahun 2018 sebesar Rp 423,05 triliun, hal itu akan terlihat besar. Namun, apabila melihat perbandingan dengan yang lain, hal itu akan terlihat seimbang. Sejak 2014 sampai 2018 utang bertambah 169 persen. Namun, penambahan ini telah membuat belanja infrastruktur naik menjadi 226 persen, belanja kesehatan meningkat 196 persen, dan belanja untuk Dana Alokasi Khusus Fisik dan Dana Desa melonjak tajam menjadi 386 persen.
Dengan jumlahnya yang sangat besar, bukan berarti pemerintah tak akan mampu membayar utang dan membuat Indonesia bangkrut. Kalau dilihat dalam tahun anggaran 2018, defisit anggaran adalah 1,76 persen dari PDB (angka sementara) yang membuat pemerintah menambah utang. Namun, pada 2018, ekonomi Indonesia dapat tumbuh 5,15 persen. Artinya, terdapat kenaikan kapasitas ekonomi yang tumbuh melebihi bertambahnya utang. Dari data ini, dapat dikatakan kemampuan pemerintah membayar utang terjaga dengan baik.
Total utang ini juga tidak jatuh tempo serentak dalam satu tahun. Pelunasan utang dilakukan berdasarkan waktu jatuh temponya. Secara keseluruhan, rata-rata jatuh tempo utang Indonesia di atas delapan tahun. Sepanjang pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi yang diiringi dengan pertumbuhan penerimaan negara yang meningkat, setiap tahun pemerintah dapat membayar kembali utang yang jatuh tempo.
Sebagai contoh, pada 2018, utang negara yang jatuh tempo Rp 501,3 triliun dan sudah dibayarkan seluruhnya. Nilai utang yang harus dibayar ini tercatat dalam UU APBN 2018 dan disetujui DPR. Sejak era Reformasi, Indonesia belum pernah gagal dalam membayar utangnya.
Sampai dengan akhir Desember 2018, dari total utang negara, komposisinya adalah rupiah sebesar 59 persen dan sisanya valuta asing sebesar 41 persen. Hal ini merupakan dampak dari upaya pemerintah meminimalkan risiko utang dengan mengutamakan pengeluaran utang pemerintah dalam Surat Berharga Negara melalui denominasi rupiah dan bersuku bunga tetap. Melalui komposisi yang didominasi oleh rupiah dan suku bunga tetap, risiko terhadap pelemahan nilai tukar dan perubahan suku bunga akan sangat kecil, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan biaya pengelolaan utang, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Penggunaan dan manfaat utang
Utang juga harus dilihat dari penggunaannya dan manfaatnya bagi masyarakat. Dengan fokus pada pembangunan infrastruktur, serta peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, utang digunakan untuk hal yang produktif sehingga akan memperkuat ekonomi Indonesia serta dapat membayar kembali utang negara. Berdasarkan penelitian Bank Dunia, tingkat pengembalian untuk program pendidikan dasar rata-rata 22,75 persen. Artinya, dengan imbal hasil dari utang kita saat ini yang sebesar 8 persen untuk membuat anak-anak Indonesia dapat bersekolah, maka biaya utang 8 persen ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan manfaatnya.
Sebagai gambaran, sejak 2015 alokasi dana pendidikan digunakan antara lain untuk Program Indonesia Pintar sebanyak 80,7 juta siswa, Beasiswa Bidik Misi 1,36 juta siswa, beasiswa LPDP 17.800 mahasiswa, Bantuan Operasional Sekolah 188,2 juta siswa, dan juga digunakan untuk pembangunan/rehabilitasi 193.000 ruang kelas.
Pemerintah tidak memberlakukan utang secara ugal-ugalan. Dalam UU APBN 2018 telah ditetapkan Rp 399,2 triliun. Namun, karena terjadi peningkatan realisasi penerimaan negara yang melampaui target, pemerintah hanya merealisasikan utang sebesar Rp 366,7 triliun. Padahal, bisa saja pemerintah tetap memaksakan utang sesuai yang ditetapkan UU, tetapi tidak dilakukan.
Kehendak baik pemerintah dalam mengelola utang secara profesional juga dapat dilihat dari kecenderungan defisit yang terus menurun. Defisit anggaran tahun 2014 sebesar 2,25 persen terhadap PDB dan secara berangsur-angsur menurun menjadi 1,76 persen pada 2018. Kemampuan membayar bunga utang tanpa membuat utang baru juga terus meningkat. Hal ini tecermin dalam defisit keseimbangan primer yang menurun drastis dari Rp 124,4 triliun di 2017 menjadi Rp 1,8 triliun pada 2018.
Hal itu juga menunjukkan bahwa utang dapat berkurang secara perlahan jika pendapatan negara dapat ditingkatkan. Saat ini kontribusi penerimaan pajak pada total pendapatan negara tahun 2018 adalah 94 persen. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam membayar pajak sangat besar dalam menentukan besar kecilnya utang yang harus diambil pemerintah.
Pemerintah mengelola utang secara berhati-hati dan profesional sesuai UUD 1945. Dalam UUD 1945 Pasal 23 disebutkan bahwa APBN harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab serta digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
APBN adalah alat mencapai visi Republik dalam mencapai masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Sesuai dengan cita-cita pendiri Republik, kita semua bertanggung jawab dalam melaksanakan APBN demi kepentingan bersama. APBN tidak boleh dikhianati sepeser pun karena akan mencederai janji Republik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar