Melihat dan merasakan berbagai penyimpangan etika, moral, dan hukum, kita pun bertanya: benarkah bangsa kita berwatak jujur? Jangan-jangan kejujuran bangsa kita kini tinggal jadi mitos.

Kejujuran merupakan basis atau orientasi nilai tindakan yang hasil atau dampaknya memiliki makna secara personal dan kolektif. Namun, ketika kejujuran sudah jadi mitos, publik hanya bisa mengenalinya sebagai kepercayaan yang ada, tetapi sulit dibuktikan.

Kejujuran, kebaikan, dan kebenaran, di dalam masyarakat yang tidak tulus dan culas, telah diolah jadi ekstrak dan bibit parfum, lalu dicampur dengan cairan-cairan kearifan. Selanjutnya dikemas dalam botol-botol parfum hipokrisi yang disemprotkan pada setiap kebusukan. Para pemakai parfum hipokrisi merasa dirinya bersih berkat bau harum yang menguar dari dirinya. Untuk sementara waktu, bau harum itu mampu memperdaya masyarakat untuk menaruh kepercayaan sehingga mereka tetap bisa bertahan pada posisi sosial-politiknya.

Kebusukan di jagat sepak bola

Masyarakat yang kritis tentu tahu, di balik parfum harum hipokrisi itu ada kebusukan. Namun, mereka cenderung apatis, bahkan skeptis, untuk mengusiknya. Begitu pula ketika bau busuk itu menguar, merebak dalam jagat sepak bola nasional, seiring ditangkapnya pelaku pengaturan skor oleh Satgas Antimafia Bola.

Isu suap, pengaturan skor, mafia wasit, kejuaraan yang direkayasa, dan permainan kotor dalam sepak bola kita sudah jadi pengetahuan publik dan lama terjadi, yakni sejak era Perserikatan, Galatama, Liga Indonesia, Liga Super, sampai Liga 1, 2, dan 3. Bukan rahasia lagi, tim-tim yang ingin menang, bertahan di liga tertentu, meraih gelar juara, atau naik ke kasta yang lebih tinggi selalu mengundang kecurigaan terkait pengaturan.

Kompetisi sepak bola nasional tak lebih permainan sandiwara yang buruk dan menipu publik penonton. Konyolnya, demi mencapai katarsis dan meluapkan emosi serta fanatisme kedaerahan, para pendukung rela mengorbankan tenaga, harta, sampai nyawa. Inilah sandiwara olahraga paling mahal sekaligus paling mencemaskan bagi peradaban bangsa.

Dalam jagat sepak bola yang sakit, para pemain yang memiliki bakat dan kemampuan pun dididik untuk mengingkari sportivitas, melecehkan etika, moral, dan membodohi penonton. Mereka dipaksa menciptakan gol di gawang sendiri atau membuka peluang bagi pemain lawan untuk bikin gol di gawangnya. Bermain ketat dan keras sekadar pura-pura karena pada akhirnya timnya harus kalah. Faktor yang menentukan kemenangan bukan permainan yang unggul, melainkan kesepakatan-kesepakatan.

Indonesia tak mungkin melahirkan seorang Lionel Messi. Bukan karena faktor sumber daya manusianya, tetapi karena para otoritas sepak bolanya yang bermasalah. Bagaimana mungkin bisa menghasilkan buah yang sehat dan lezat jika pohonnya sakit. Lihat saja, banyak bakat pesepak bola yang muncul lewat klub-klub amatir, pekan olahraga daerah (porda), dan pekan olahraga nasional (PON), tetapi mereka mendadak layu dan membusuk ketika masuk dalam sepak bola semiprofesional. Karena itu, mustahil negeri ini punya tim nasional yang kuat dan kompetitif. Jangankan melawan Jepang dan Korea, menghadapi tim sekelas Vietnam dan Filipina pun kita kedodoran. Padahal, pada era 1970-an, timnas kita lumayan disegani di tingkat Asia.

Para pelaku dan otoritas sepak bola nasional selama ini masih keliru memahami bahwa sepak bola hanyalah soal skill dan pertandingan. Sementara pihak-pihak lain yang terkait menganggap jagat sepak bola sebagai obyek perburuan kepentingan. Padahal, sepak bola berurusan juga dengan mental dan karakter bangsa. Karakter bertautan dengan integritas, komitmen, dan dedikasi. Karakter kuat akan memunculkan potensi dan etos kerja. Potensi itu menjadi berlipat-lipat ketika didukung edukasi (belajar/latihan) hingga lahir profesionalisme.

Merebaknya pengaturan skor dan praktik-praktik kotor menunjukkan, otoritas sepak bola nasional pun tidak memprioritaskan penguatan karakter dan profesionalisme para pesepak bola. Celakanya, kekonyolan ini berlangsung sangat lama: lebih dari 40 tahun.

Patriotisme-nasionalisme

Jika masih hidup, Soeratin Sosrosoegondo, pendiri PSSI itu, pasti terpukul dan sedih ketika tahu ada banyak kecurangan dalam kompetisi sepak bola nasional. Soeratin mendirikan PSSI tahun 1930 di Yogyakarta. Ia tak sendiri. Ada banyak politisi yang jadi bidan kelahiran PSSI. Tujuan Soeratin dan kawan-kawan sangat jelas, yakni menanam dan
menumbuhkan nasionalisme dan patriotisme anak-anak bangsa untuk melawan kolonialisme.

Gagasan Soeratin bertaut dengan pikiran Bung Karno. Bagi pemimpin besar revolusi itu, sepak bola tak hanya berurusan dengan keringat, tubuh sehat, dan kegembiraan. Lebih jauh dari itu, sepak bola merupakan wahana kebudayaan untuk menempa karakter bangsa.

Penempaan karakter bangsa tak hanya melahirkan para politisi tangguh pada era 1950-an hingga 1970-an, juga para pesepak bola yang brilian, skilled, berkomitmen, dedikatif, dan trengginas. Sebut saja dari Ramang, Sucipto Suntoro, Ronny Pattinasarani, Tan Liong Houw, sampai Iswadi Idris.

Redupnya sepak bola Indonesia seiring dengan semakin melemahnya karakter bangsa. Ini terasa sejak awal 1980-an. Orde Baru yang mengutamakan pembangunan ekonomi memformat bangsa kita jadi "pemburu karier dan upah". Idealisme kolektif tak lagi menyala, digantikan pragmatisme kebendaan. Anak-anak yang lahir kemudian pun steril dari persoalan karakter. Hal itu juga terjadi dalam jagat sepak bola kita.

Jika kalian ingin membahagiakan rakyatmu, bangunlah budaya sepak bolamu. Bikin timnasmu kuat dan bermutu. Maka, rakyat akan semakin mencintaimu. Itu nasihat yang bagus bagi semua pemimpin bangsa dan negara.

Kembalikan sepak bola pada kepentingan bangsa sebagai wahana penguatan karakter. Adapun kemampuan, profesionalisme, dan industri sepak bola adalah akibat dari kesungguhan bekerja yang berbasis kekuatan karakter bangsa. Kerja dengan jujur, tulus, berkomitmen, dan penuh kemampuan serta passion tak membutuhkan parfum karena keharuman hasilnya bisa mengalahkan parfum yang paling harum.