"Saya merpati", "Saya sangsang, "Saya Tegal" adalah bentuk-bentuk kalimat lisan yang lazim diujarkan dalam percakapan keseharian.

Yang terlibat dalam perbincangan tak mempersoalkan logika ketiga kalimat itu. Konteks pembicaraan membersitkan pesan bahwa ada lesapan verba di sana. Sangat mungkin ketiga tuturan itu merupakan tanggapan spontan atas bentuk utuh (tanpa lesapan) kalimat pernyataan atau pertanyaan, dari lawan bicara, berikut ini: "Saya gemar memelihara cucakrowo,", "Kamu mau pesan arsik juga?", dan "Bapak cari tiket jurusan mana?"

Lesapan adalah satu dari sekian ciri ujaran lisan. Bagaimana dengan bahasa tulis? Lazimkah tabiat melesapkan kata atau satuan pembentuknya itu dalam jagat tulis-menulis? Dalam ranah bahasa jurnalistik, teristimewa di judul berita, pelenyapan anasir kalimat juga kaprah. Namun, haram hukumnya jika pelesapan itu mengubah makna, apalagi menjungkirbalikannya dari arti yang dikehendaki.

Pelesapan awalan pada sejumlah verba dilakukan redaktur yang menulis judul berita lempang untuk menyiasati ruang tulis yang terbatas sekaligus memenuhi ciri kebergegasan berita keras dan meladeni naluri ketergesaan pembaca. Pelesapan juga dilakukan penyunting terhadap verba yang dianggap bukan sebagai kata kunci. Alih-alih menulis Parpol X Pustuskan Dukung Capres Y, editor yang memburu efisensi menyingkirkan putuskan. Sampai di sini tak ada problem semantik dalam pelesapan.

Namun, penaka sepandai-pandai tupai melompat sesekali jatuh juga, sepiawai-piawai redaktur melesapkan unsur sintaksis sesekali terjerat kekeliruan jua.

Simak baik-baik judul berita Kompas di halaman 10 edisi 2 Februari 2019:Ketangguhan Bencana Mulai dari Keluarga. Makna kalimat itu jelas: yang tangguh adalah bencana. Maksud yang dituju: yang tangguh adalah manusia dalam menghadapi bencana.

Judul yang logis ya ini: Ketangguhan Hadapi Bencana Mulai dari Keluarga. Jika penambahan hadapi itu dirasa melampaui jatah ruang yang tersedia, mau tak mau, jalan lain yang harus ditempuh: mengubah ketangguhan dengan kiat hadapi. Tercapailah judul yang logis tanpa menyita ruang berlebih: Kiat Hadapi Bencana Mulai dari Keluarga.

Rupanya judul alternatif itu sejajar dengan isi berita. Disebutkan bahwa orang harus "mengidentifikasi bagian ruang dalam rumah paling rawan bencana. Minimal tiap rumah ada ruang aman." Bukankah tuturan yang dikutip langsung itu lebih merujuk pada makna "kiat" atau "strategi" ketimbang "ketangguhan".

Lesapan yang melahirkan makna sungsang juga muncul di judul berita harian ini. Begini tata katanya: Mahasiswa Diingatkan Toleransi. Hei, makhluk macam apa itu toleransi hingga sanggup mengingatkan mahasiswa? Partikeltentang haramlah dilesapkan di antaradiingatkan dan toleransi pada judul di atas.

Kasus pelesapan berikut ini bisalah dianggap istimewa karena sangat jarang terjadi. Yang dilesapkan bukan kata atau awalan, tapi tanda baca. Esensi kebahasaan itu unik. Jangan pernah meremehkan tanda-tanda baca, entah titik, entah koma, entah titik dua.

Alternatif Terakhir Dibuang ke Laut, begitulah yang ditulis Kompas di halaman pertama sebagai anak judul untuk berita bertajuk Belum Ada Penyelesaian Permanen Lumpur Panas. Dengan melesapkan tanda titik dua ( : ) di antaraterakhir dan dibuang, pembaca yang jeli pastilah tergelak tawa.

Buat yang tak puas menyimak cuma uraian ini dan ingin menengok langsung akrobat fatal pelesapan partikel dan tanda baca itu, temukan harian ini pada edisi 21 Agustus 2007 dan 10 Agustus 2006.