Sesungguhnya, prinsip dasar demokrasi yang menyatakan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" cukup membingungkan, jika tidak dapat dibilang menyesatkan, pada implementasinya.

Sebab, apa yang disebut "rakyat" sebagai gagasan utama dari prinsip, yang kemudian jadi slogan itu, dalam kenyataannya menjadi kerdil dari makna besar yang terkandung dalam ide orisinalnya, juga dari kenyataan sebenarnya.

Makna praktis dari kata "dari" ternyata terjelma hanya dalam bentuk "suara" (vote). Semacam materialisasi dari hak abstrak rakyat; individu yang dipilin jadi konstanta untuk kebutuhan kalkulasi/penghitungan hasil praktik utama demokrasi: pemilihan umum! Individu sebagai subyek pembentuk kolektiva "rakyat" menjadi kerdil (makna dan eksistensinya) ketika ditransformasi menjadi "satuan" (nomor/angka) yang abstrak— bahkan absurd—demi mesin hitung yang menentukan keabsahan dari demokrasi.

Begitu pun terma "oleh" yang ternyata diwujudkan hanya dalam representasi "politis" belaka. Representasi dari akumulasi satuan yang kemudian menjadi dasar legitimasi dari pihak/orang yang secara "politis" menjadi representatif (wakil)-nya, di parlemen atau lembaga pemerintah lainnya. Rakyat itu sendiri terkerdilkan, bahkan tak pernah hadir dalam setiap kerja pemerintah, kecuali perwakilannya yang dalam realitas hampir tak punya ikatan tanggung jawab moral-formal dengan yang rakyat ia wakili.

Sementara kata "untuk" pun menjadi kerdil makna dan hikmahnya ketika justru rakyat mayoritas jadi penerima/penikmat hasil pembangunan pemerintah yang paling sedikit, ketimbang orang-orang kaya (pengusaha), pejabat pemerintah, atau elite pada umumnya, yang jumlahnya bahkan tidak sampai 2 persen dari populasi.

Maka, slogan atau jargon demokrasi sesungguhnya memang "benar dan baik" hanya dalam teori: ideal di atas kertas, tetapi dusta di bawahnya. Terlebih jika kita memeriksa lebih cermat apa yang terjadi ketika pemerintah, sebagai produk utama demokrasi, menjalankan mesin birokrasinya. Pengerdilan terjadi kian kuat karena pemerintah memainkan psycho- governance-nya guna meraih posisi sebagai "the problem solver" untuk segala masalah: kebangsaan kemasyarakatan, kenegaraan, dan sebagainya.

Tak bisa dimungkiri, apa yang disebut pemerintah—entah sejak zaman apa—menangani, jika tidak (merasa) menguasai, hampir seluruh dimensi kehidupan sebuah bangsa (rakyat). Presiden Abdurrahman Wahid (alm) sebenarnya pernah memiliki kebijakan—dengan visi yang kuat dan benar—beberapa urusan seperti keagamaan dan sosialitas dilepaskan dari kekuasaan pemerintah. Namun, dengan argumen tidak visioner bahkan cenderung ambigu, plus ambisi kuasa politik yang tinggi, usul itu akhirnya dapat dimentahkan.

Jadilah seluruh inci kehidupan kita, ke seluruh mata angin, berada dalam pengawasan bahkan kendali kekuasaan yang dipegang erat oleh pemerintah. Maka, pada intinya, pemerintahan modern (demokratis) adalah sebuah kekuasaan yang totaliter juga, kecuali pada soal suksesi, sifat dan karakteristiknya tidak jauh berbeda dengan (sistem) monarki atau kerajaan. Saya kira hal ini terjadi hampir di seluruh dunia di mana demokrasi menjadi cara (yang sloganistik) untuk berpolitik atau menata negara. Donald Trump dan AS, tanpa perlu dibuktikan, bisa menjadi umpama yang paling tepat, jika tidak bisa dikatakan paling tragis.

Negara yang lumpuh

Dampak tragis dari libido nurtural para pemerintah untuk memimpin dengan cara mendominasi seluruh dimensi kehidupan publiknya itu, seperti tertulis dalam "Menjadi Indonesia Baru" (Kompas, 4 Desember 2018), adalah lumpuh bahkan tewasnya inisiatif publik. Karena dengan seluruh perangkat kekuasaan yang ia (merasa) miliki, pemerintah akan menekan kekuatan atau kekuasaan apa pun yang dia anggap dapat menyaingi, apalagi menggerogoti kekuasaan dominatifnya.

Dominasi yang jadi sine qua non syahwat pemerintah menjadi kuasa tunggal atau terbesar untuk seluruh urusan, bahkan hingga di tingkat pribadi. Ingatlah dinas rahasia yang paling disegani dunia, National Security Agency (NSA), yang dibidani kelahirannya oleh presiden ke-32 AS, FD Roosevelt, membuat pemerintah di negeri (yang konon) paling demokratis itu "bisa melihat dengan jelas punggung dari setiap warganya". Pemerintah AS mengetahui, menguasai, juga mengendalikan apa pun hal yang bahkan tak diketahui (tapi dimiliki) setiap penduduk negeri itu.

Dengan menggunakan fasilitas, sumber daya yang melimpah, dana sangat besar tiap tahun, jaringan serta birokrasi yang luas, merata, dan solid, serta hukum bahkan senjata, pemerintah melakukan represi itu pada semua bentuk kekuatan (politik, ekonomi-bisnis, akademik, budaya, agama, adat, dan seterusnya) yang ada di masyarakat. Walau sesungguhnya apa yang dianggap "milik" pemerintah itu sesungguhnya adalah milik rakyat, milik negara, yang dipinjamkan rakyat untuk diberdayakan secara optimal guna menciptakan "kesejahteraan"—pada intinya kebahagiaan—rakyat itu sendiri.

Alih-alih digunakan untuk membahagiakan pemilik kuasa/ daulat negara sesungguhnya, pemerintah justru lebih menyukseskan program menyejahterakan dirinya sendiri, dan kaum elite yang telah ia dominasi. Setiap kekuatan swasta/publik yang dirasa dapat menyaingi, apalagi melebihi, performance-nya, akan dipersulit dan ditekan, menggunakan hukum yang ia buat sendiri, menggunakan senjata sebagai daya paksa, menggunakan birokrasi untuk menelikung, menggunakan dana belanja negara untuk membujuk juga menghasut.

Sudah bukan rahasia lagi bagaimana hampir semua kalangan harus menghiba hingga menyuap besar-besaran untuk bisa mendapatkan dana pembangunan yang terkesan dimiliki para pejabat pemerintah. Situasi psikologis yang bau amis feodal itu sangat menguntungkan hubungan struktural pemerintah-rakyat karena pihak kedua jadi begitu bergantung pada pihak pertama.

Ketergantungan yang kian dalam itu membuat lembaga- lembaga yang ada mau tak mau hanya jadi pelayan pemerintah, alih-alih menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kodrat dan obligasinya. Setiap ada masalah dalam kehidupan masyarakat, kebangsaan hingga kenegaraan, publik selalu bertanya: "di mana negara (maksudnya pemerintah)?" Jika tak puas mereka menuntut, protes atau demonstrasi, hingga mereka lupa bila banyak masalah mereka itu sesungguhnya dapat mereka selesaikan sendiri tanpa pemerintah terlibat.

Tuntutan yang berasal dari mental ketergantungan dan lemahnya kapabilitas publik itu membuat negara menjadi lemah atau lumpuh. Lembaga akademik harus terus berbaik- baik bahkan menjilati pemerintah. Lembaga bisnis mesti selalu menyervis pemerintah agar hukum dan birokrasi tidak dioperasikan untuk mempersulit kerja mereka. Seniman atau pekerja budaya tidak henti-henti meminta fasilitas, dari dana hibah atau hanya sekadar menyewa kostum pertunjukan.

Padahal, semua lembaga atau komunitas sosial di atas sesungguhnya juga memiliki obligasi penuh untuk menyelenggarakan negara, membangun dan mendewasakannya. Pemerintah hanya salah satu dari penyelenggara negara itu, sekadar salah satu wakil "sah" (dari negara). Bukan segalanya.

Rakyat sebagai wajah negara

Karena itu, cukup menggiriskan saat terbit sebuah gagasan yang memosisikan pemerintah seolah-olah filantrofis yang mengalokasi dana begitu besar (sekian triliun misalnya) untuk "katanya" digunakan membantu produksi dari para seniman seantero negeri. Gagasan yang praktiknya adalah membagi-bagi uang negara pada satuan-satuan kecil kesenian di negeri itu, belum apa-apa sudah melahirkan cukup banyak masalah, seperti dari mana dana itu, kepada siapa saja ia dapat dibagikan, siapa yang punya hak mendapatkan, dan siapa yang punya otoritas untuk membagikan.

Situasi menggiriskan dari gagasan itu adalah logika dominatif di atas, di mana publik budaya kian bergantung pada pemerintah, sehingga mau tak mau karya atau produk artistik yang dihasilkan haruslah berbau atau bersifat atau mengandung intensi pemerintah. Ini pun bisa terjadi di lapangan hidup mana pun yang didominasi pemerintah: ilmu pengetahuan, agama, hukum, hingga polisi atau tentara.

Apa yang tragis dari situasi giris di atas adalah kreativitas yang otentik-orisinal pupus, produk-produk inovatif tidak tercipta, imajinasi tumpul, dan inisiatif jadi langka, dan negara akan tak terurus oleh pemiliknya sendiri: rakyat! Karena ia sudah direbut menjadi milik (bahkan dikamuflase sebagai) pemerintah. Tak mengherankan bila dalam segala ukuran peradaban modern, bangsa Indonesia terpuruk dalam urutan terbelakang di semua survei yang dilakukan lembaga-lembaga kredibel internasional.

Sebab, kita tidak pernah berhasil menciptakan karya-karya orisinal yang adekuat sebagaimana para leluhur menciptakan dan mewariskannya kepada kita. Kita tinggal menjadi "peniron" atau "tetiron" alias followers atau bahkan penjiplak dari karya inovatif bangsa lain. Di periode post-modern ini, kita telah kehilangan daya untuk menciptakan karya-karya besar yang dikagumi dan jadi pionir dunia, seperti teknologi, perdagangan, ketentaraan hingga budaya bahari, Borobudur sebagai karya arsitektur, wayang kulit, keris, ratusan bahkan ribuan tarian hebat, varian dan teknik kulinasi yang mengagumkan, dan seterusnya.

Pada akhirnya, saya bisa memahami jika pemerintah demokratis memiliki alasan atau argumen untuk merebut posisi dominatif atas segala urusan publik. Namun, itu bukan alasan yang idealistis, justru cenderung ideologis, yang notabene memang diciptakan semata untuk status quo pemerintahan. Segalibnya, pemerintah menggunakan kuasa yang dipinjamkan rakyat kepadanya, fasilitas yang diberi ikhlas rakyatnya, semua permodalan yang diamanahkan rakyatnya, digunakan seoptimal mungkin untuk menciptakan pertumbuhan kehidupan dengan maraknya kreasi, ekspresi, dan inisiatif publik. Publiklah yang di muka, yang jadi wajah atau teras negara ini, bukan pemerintah.

Dominasi sebagai kata kerja semestinya punah dari libido kekuasaan pemerintah. Dominan sebagai kata sifat sebaiknya menjadi ambisi besar pemerintah sebagai pendorong, endorser, fasilitator, pembangkit dari semua kerja dan upaya rakyat. Tidak perlu membuat klaim apa yang dihasilkan sebagai milik atau karya pemerintah, tapi karya dan milik bangsa. Dengan itu, kita bisa melangkah tegak ke depan, menatap mata ke mata pada semua bangsa, dan berbusung dada karena mampu menciptakan karya-karya yang dihargai dunia karena pengaruhnya yang global.

Apabila kita masih seperti ini, seperti kurcaci yang berteriak-teriak di gua kecilnya, menunggu putri cantik yang mengurus dan membuatnya gembira, saya percaya kita bukan saja berlari di tempat hingga keringat menderas bahkan darah pun tumpah. Boleh jadi dalam adab dan budaya kita mundur, bahkan lebih buruk lagi menjadi pathos dari kemuliaan adab dan budaya yang diwariskan leluhur kita. Pesimistiskah? Siniskah? Mudah-mudahan tidak ada yang salah membaca.