Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Aswanto berakhir masa jabatannya pada 21 Maret 2019. Keduanya kembali maju lagi sebagai calon hakim konstitusi—karena undang-undang memang membolehkan—bersama tujuh calon hakim konstitusi lain.
Seleksi calon hakim konstitusi itu kurang mendapat perhatian karena konsentrasi publik tertuju pada pemilu presiden. Padahal, posisi hakim konstitusi itu juga sentral karena muara dari sengketa pemilu berada di Mahkamah Konstitusi (MK). Hakim konstitusi berasal dari Mahkamah Agung, Presiden, dan DPR. Untuk seleksi kali ini adalah seleksi DPR.
Karena terkait dengan pemilu presiden inilah, pemilihan hakim konstitusi melalui DPR menjadi penting dan strategis. Tarik-menarik kepentingan politik dalam konteks pilpres mungkin terjadi. Lobi politik dari calon hakim konstitusi dengan kekuatan politik di DPR sangat terbuka. Untuk itulah, proses seleksi di DPR harus transparan.
Publik tidak ingin seleksi DPR yang melibatkan panel ahli, yakni mantan Wakil Ketua MK Harjono, Guru Besar Hukum Pidana UGM, Yogyakarta, Eddy OS Hiariej, dan mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan hanya formalitas belaka. Seleksi hanya didasarkan pada transaksi atau kompromi politik dari kekuatan politik, sementara faktor seperti integritas dan pemahaman soal konstitusi menjadi tertinggal.
Posisi hakim konstitusi tinggi. Hakim konstitusi adalah negarawan yang menguasai dan menjaga konstitusi. Tidak ada posisi pejabat publik yang ditempatkan begitu tinggi status sosialnya sebagai negarawan dan menguasai konstitusi. Bahkan, karena posisi yang begitu tinggi karena bisa membatalkan undang-undang, bisa membubarkan partai politik, mengadili sengketa kewenangan lembaga negara, seleksi hakim konstitusi tidak boleh didasarkan pada kompromi politik.
DPR harus menyadari bahwa seleksi yang dilakukannya pernah berantakan ketika Ketua MK Akil Mochtar ditangkap KPK. Pada saat itu, kepercayaan kepada MK redup dan susah memulihkan. Putusan MK itu final dan mengikat. MK harus menjadi penyelesai perkara konstitusional. Namun, kita melihat belakangan ini putusan MK bisa ditafsir ulang, seperti dalam kasus uji materi soal pencalonan anggota DPR dari partai politik. Bahkan, dalam putusan itu, putusan MK yang seharusnya final dan mengikat, kasusnya masih bisa diuji lagi di PTUN. Kewibawaan MK bisa kian meredup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar