Konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi  dan penduduk perkotaan di  Jawa  sangat menumpuk di wilayah perkotaan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Gerbangkertasusila (Surabaya Metropolitan Area),  Bandung Raya, dan Kedungsepur (Semarang Metropolitan Area). Tak mengherankan apabila pertumbuhan  fisik perkotaan di wilayah metropolitan tersebut berkembang dengan sangat cepat,  merefleksikan  perkembangan sosial dan ekonomi yang terjadi.

Perkembangan ini  sangat dipengaruhi faktor ekonomi global. Berkembangnya industri besar, khususnya industri otomotif, elektronik, alas kaki, ataupun industri manufaktur yang umumnya berlokasi di tepian kota-kota besar (peri-urban), seperti di  Jabodetabek dan Gerbangkertasusila, mencerminkan fenomena ini   digerakkan aliran investasi asing (FDI) yang ditanamkan dalam  industri ini.

Perkembangan kota-kota besar di Jawa cenderung membentuk wilayah megaperkotaan. Hal itu dicirikan dengan terbentuknya sabuk-sabuk perkotaan yang berkembang secara masif menghubungkan kota-kota besar itu, seperti Jakarta-Bandung, Jakarta-Semarang, Semarang-Surabaya,  Semarang-Solo, Yogya-Solo, dan Surabaya-Malang.

Di lain pihak, wilayah perdesaan di Jawa juga mengalami transformasi, yakni dari yang semula sangat berorientasi pada sektor pertanian ke sektor nonpertanian.   Dalam kenyataannya jumlah desa-rural seperti yang didefinisikan berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik berkurang secara signifikan dan beralih status jadi desa-urban. Menurut hasil Sensus Penduduk 2010, pada saat itu saja jumlah penduduk perkotaan di Jawa telah mencapai sekitar 60 persen dari total jumlah penduduk Pulau Jawa.

Perlu juga dicatat bahwa fenomena wilayah megaperkotaan di Jawa berkembang dengan pesat karena dipacu juga oleh pembangunan infrastruktur, khususnya jalan bebas hambatan (tol), yang menghubungkan kota-kota besar. Pembangunan infrastruktur ini telah mendorong perkembangan berbagai kegiatan bisnis di sekitar jalan bebas hambatan tersebut, mencoba memperoleh akses yang lebih  mudah guna  lebih memperlancar kegiatan  tersebut.

Akibat  yang paling nyata dari fenomena perkembangan wilayah megaperkotaan  adalah konversi lahan pertanian, terutama dari lahan pertanian beririgasi teknis ke penggunaan lahan untuk kepentingan nonpertanian, yakni permukiman berskala  besar, kawasan industri, padang golf, dan lain-lain.

Dalam perkembangan kota, konversi lahan pertanian ke lahan perkotaan sebenarnya adalah hal yang normal. Akan tetapi, yang terjadi di perkotaan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, adalah suatu konversi lahan yang sangat masif dan tidak terkendali, bahkan cenderung merupakan suatu  spekulasi lahan. Alih fungsi lahan memiliki potensi  berdampak pada penurunan daya resapan lahan terhadap air hujan karena menjadi daerah terbangun, yang  tentu bisa mengakibatkan banjir, terutama di kawasan hilir.

Pengelolaan wilayah megaperkotaan

UUD 1945 tidak mengenal pemerintahan megaperkotaan atau  metropolitan sehingga hal itu tidak mungkin dibentuk. Berbeda dengan  pengelolaan wilayah metropolitan  di Kanada atau di beberapa negara Asia, seperti di Bangkok (Thailand) dan Tokyo (Jepang), misalnya, di mana  isu pembangunan yang bersifat antarpemerintah lokal menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintahan metropolitan (metropolitan authority).

Yang dapat dilakukan di Indonesia dalam menghadapi isu perkembangan perkotaan di wilayah megaperkotaan atau metropolitan adalah dengan membangun kerja sama antarpemerintah kota dan kabupaten secara efektif. Kerja sama antarpemerintah kota dan kabupaten di Indonesia memang sangat memungkinkan dan telah dinyatakan secara spesifik di dalam UU Pemerintah Daerah.

Kerja sama wilayah metropolitan di Indonesia saat ini sangat beragam karakternya. Ada yang sudah berjalan lama, tetapi kurang efektif kendati memiliki landasan legal yang mendukung, seperti dalam kasus Jabodetabek. Di lain pihak, ada beberapa kerja sama wilayah metropolitan yang cukup efektif walaupun masih terbatas dan tidak luas. Sebutlah seperti kasus kerja sama Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul) yang terfokus pada kerja sama penanganan persampahan dan air limbah secara wilayah.

Sangat menarik bahwa kerja sama wilayah metropolitan yang disebutkan terakhir pada umumnya tidak bersifat formal legalistik. Akan tetapi, lebih merupakan kesepakatan di antara seluruh pemerintah kota dan kabupaten yang berada  pada masing-masing wilayah metropolitan tersebut.

Perkembangan sosial-ekonomi, penduduk, serta fisik perkotaan yang menunjukkan tren  formasi wilayah megaperkotaan, khususnya di Pulau Jawa, adalah sesuatu yang akan terus terjadi secara kontinu dan tidak mungkin dihentikan.  Yang dapat dilakukan adalah mengelola perkembangan tersebut dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Inilah tren dan tantangan pembangunan wilayah dan kota di Jawa ke depan.

Seharusnya  konversi lahan dapat dikendalikan  dengan efektif seandainya  pembangunan fisik perkotaan dilakukan dengan benar-benar  mengacu pada rencana tata ruang  (RTR) untuk kabupaten/kota secara konsisten. Namun, sayangnya,  tata tuang tampaknya kurang efektif pada saat ini  karena  kerap kali  dilanggar.

Lebih ironis lagi, akhir-akhir ini  banyak dikeluhkan bahwa (rencana) tata ruang justru lebih merupakan penghambat  pembangunan. Padahal , sebenarnya tata ruang merupakan alat kendali pembangunan fisik (development control) agar pembangunan fisik di suatu kota atau kabupaten tidak menimbulkan dampak-dampak negatif bagi perkembangan kota atau daerah tersebut.

Isu lain  terkait kebijakan  pembangunan perkotaan di Indonesia pada saat ini adalah pengelolaan wilayah metropolitan yang sangat terfragmentasi. Idealnya suatu wilayah perkotaan yang kompak seperti Jabodetabek harus dapat dikendalikan dan dikelola secara terpadu. Artinya, tidak dilakukan sebagian-sebagian oleh pemerintah kota dan kabupaten di dalamnya secara sendiri-sendiri seperti yang terjadi pada dewasa ini.