Imlek dan Akulturasi Budaya
Imlek 2019 dirayakan meriah di Indonesia, khususnya di kalangan etnis Tionghoa, Selasa, 5 Februari 2019. Dalam kalender atau penanggalan China, Imlek 2019 adalah perayaan yang ke-2570.
Terima kasih kepada presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid (Gusdur), yang melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19 Tahun 2001 telah memperbolehkan Imlek dirayakan kembali. Pada 2002, presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, melengkapi keputusan Gus Dur dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional, efektif berlaku tahun 2003.
Setelah 31 tahun vakum (1968-1999), masyarakat bisa kembali menikmati hiburan tari liong dan barongsai, selain kue keranjang dan bagi-bagi angpau, sebagai ciri khas perayaan Imlek.
Masyarakat antusias menyambut Imlek bukan pada aspek religi atau ritualnya, melainkan pada kegembiraan perayaan budaya dan seni tradisi Imlek yang hadir kembali di tengah-tengah kita.
Melalui Imlek, proses akulturasi budaya berlangsung; tanpa dibatasi sekat etnis, suku, keyakinan, dan agama. Munculnya resistensi sekelompok orang terhadap keberadaan Imlek adalah kemunduran bangsa yang senyatanya majemuk dan heterogen. Imlek dan pernak-perniknya adalah kekayaan budaya bangsa Indonesia.
Menempatkan Imlek sebagai budaya merupakan cara yang paling bijak untuk tetap menjaga keutuhan, kerukunan, keharmonisan, serta persatuan dan kesatuan bangsa. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah komitmen yang telah disepakati bersama sejak republik ini berdiri, dengan mengakomodasi berbagai perbedaan dan keragaman, baik suku, agama, ras/etnis, maupun golongan.
Imlek adalah salah satu kekayaan budaya bangsa dan saling menghargai adalah konsep toleransi yang telah diajarkan dan dicontohkan para leluhur kita, yang tentunya harus kita lestarikan, kini hingga nanti.
Budi Sartono
Graha Bukit Raya, Cilame,
Bandung Barat
Tahun Baru China dan Buah Lokal
Dalam tradisi Imlek yang baru saja berlalu, warga yang merayakan selalu menyajikan buah jeruk sebagai lambang tali kasih dan persembahan syukur dalam ibadah. Buah jeruk yang dipilih biasanya adalah jeruk mandarin yang diimpor, baik dari China maupun Pakistan.
Warga yang merayakan Imlek di gereja juga sering membawa buah jeruk, yang kemudian dibagikan kepada sesama jemaat seusai ibadah misa syukuran hari raya tersebut.
Ada hal menarik dalam perayaan tahun baru China kali ini, yang jatuh pada 5 Februari 2019, yakni sejumlah paroki (gereja Katolik) di Pontianak menyerukan kepada warga agar mengganti jeruk mandarin dengan jeruk lokal Pontianak (Sambas) yang memang sedang musim panen.
Seruan ini amat bijaksana dalam rangka membantu menyerap produk lokal. Dengan demikian, petani juga bisa merasakan kegembiraan umat yang merayakan.
Di tengah kondisi banyak daerah yang tertimpa musibah bencana alam di Tanah Air, sangat bijaksana apabila Imlek dirayakan secara sederhana dan lebih diwujudkan dalam bentuk doa untuk keselamatan bangsa, kegiatan sosial, dan pemberdayaan ekonomi lokal.
Selain jeruk pontianak, buah naga yang sedang panen raya di sekitar Banyuwangi dan daerah lainnya, yang harganya anjlok hingga Rp 2.000-Rp 5.000 per kilogram di tingkat kebun, mungkin bisa menjadi pengganti jeruk mandarin tanpa mengurangi maknanya. Buah naga, selain warnanya merah menawan, bergizi tinggi dan manis; sangat cocok disajikan dalam suasana Imlek. Begitu juga buah lokal lainnya.
Semoga Imlek tahun ini mendatangkan kebaikan dan kegembiraan bagi semua.
Tony Hartono Lim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar