Lusa, 30 Maret 2019, adalah debat keempat kandidat presiden dan wakil presiden. Temanya sangat fundamental dan cukup berat: ideologi, pemerintahan, keamanan, dan hubungan internasional. Isu ideologi sangat eksistensial karena besar pengaruhnya terhadap tatanan kekuasaan negara yang beradab dan bermartabat, pemerintahan efektif, serta memberdayakan masyarakat sehingga mampu mewujudkan checks and balances dalam pengelolaan politik yang demokratis.
Sementara itu, isu keamanan sangat kental dimensi internasionalnya juga sensitif dan kusut karena terminologi keamanan dalam konstitusi masih multi-interpretasi. Posisi TNI dan Polri belum maksimal karena ketentuan yang mengatur relasi dua institusi itu tidak sinkron.
Mengingat isu-isu menyangkut gagasan mendasar tentang eksistensi dan daya lenting ideologi bangsa serta praktik kenegaraan pada masa depan, debat merupakan ujian bagi para kandidat untuk menunjukkan otentisitas. Mereka dituntut membuktikan dan meyakinkan masyarakat, bukan hanya sebagai perkakas politik kekuasaan, melainkan negarawan yang mempunyai kompetensi mengelola nilai-nilai luhur bangsa dan mampu mewujudkan dalam kebijakan.
Oleh sebab itu, pemilu, khususnya Pilpres 2019, adalah moment of truth, ujian yang akan mendefinisikan masa depan bangsa dan negara. Pilpres 2019 krusial sebab akan menentukan perubahan paradigmatik dan fundamental nalar berpikir publik: apakah pemilu memperkuat kesepakatan pendiri negara, Pancasila sebagai ideologi bangsa, atau memproduksi tatanan kekuasaan yang mengandalkan dalil-dalil konservatif-transnasional.
Agenda politik bangsa dewasa ini adalah menghadapi praktik berdemokrasi yang semakin menunjukkan arus balik dari aura "pesta demokrasi". Kompetisi politik yang seharusnya menjadi festival yang memuliakan peradaban dan kedaulatan rakyat sekadar medan laga perebutan kekuasaan semata.
Suara rakyat yang oleh Cicero (106 SM-43 SM) disebut salus populi supreme lex, kesejahteraan rakyat adalah undang-undang tertinggi, sudah lama diabaikan elite politik. Padahal, masih menurut Cicero, suara rakyat ibaratnya suara Tuhan (vox populi, vox Dei). Suara rakyat memuat harapan, angan-angan, keinginan, aspirasi, hajat, itikad, cita-cita, serta kepercayaan kepada para elite yang dipilihnya.
Sebaliknya, pesta demokrasi cenderung cocok disebut orgy democrazy, pesta pora gila-gilaan dan liar mengumbar hasrat dan nafsu primitif. Kebanyakan politisi justru merenggut kedaulatan rakyat hanya untuk kepentingan subyektif. Perhelatan yang seharusnya merayakan nilai-nilai adiluhung, mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan kehidupan bersama serta menyingkirkan kebiadaban telah menjadi medan perburuan kekuasaan yang mengorbankan martabat dan nilai-nilai kemanusiaan. Ranah politik seakan palagan perebutan kekuasaan oleh makhluk-makhluk kesurupan nafsu kuasa.
Praktik berdemokrasi yang makin melenceng dari nilai-nilai keindonesiaan tampaknya sejalan dengan meningkatnya secara signifikan fenomena konservatisme sektarian dan primordialistik. Meski semula terbatas, potensi itu belakangan semakin mampu melipatgandakan porsi kekuatannya menjadi berarti; karena mendayagunakan secara cerdik sentimen dan emosi primordialistik serta dalil-dalil politik sektarian menjadi "ideologi" penyebar kebencian.
Ancaman kehidupan bersama semakin serius jika gejala ini dibiarkan. Berkat militansinya, mereka mampu menyusup ke segala arah serta saling bersimbiosis mutualistis dengan elite politik demi kepentingan kekuasaan. Akibatnya, demokrasi membunuh demokrasi. Pengalaman pahit terjadi di banyak negara, terutama pasca-Perang Dunia II. Kematian demokrasi tak perlu kudeta tentara, tetapi justru melalui rute atau prosedur demokrasi (How Democracies Die, 2018).
Kebrutalan dalam menyebarkan kebencian, antara lain, dapat ditemukan dalam artikel "Resonansi" Ahmad Syafii Maarif (Republika, 12 Maret 2019). Setelah mengungkapkan keprihatinan dan kegelisahan terhadap ekses media sosial menyebar kebencian, beliau menuturkan betapa dirinya dijadikan bulan-bulanan di medsos. Tuturnya: "…sisi negatif berupa ujaran kebencian dan tudingan kepada saya ada baiknya diketahui publik".
Beliau menyebutkan umpatan itu mulai dari sebutan orang tua gila, pembela penista, si tua, sudah bau tanah, kecebong, sampai agen PKI kedok ulama, dan sebagainya. Kata-kata tidak senonoh itu dari buku yang mencerahkan karya Dr Ahmad Najib Burhani, Menemani Minoritas, Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan kepada yang Lemah (Gramedia, 2018).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar