AP PHOTO/UK PARLIAMENT /JESSICA TAYLOR

Perdana Menteri Inggris Theresa May berbicara kepada anggota parlemen di parlemen, London, Selasa (12/3/2019). Misi Perdana Menteri Theresa May untuk mengamankan kesepakatan keluarnya Inggris dari Uni Eropa tampak menuju kekalahan. Mayoritas anggota parlemen menolak kesepakatan Brexit.

Pada 29 Maret 2019, seharusnya Inggris sudah resmi keluar dari Uni Eropa. Namun, sampai kini, masih belum jelas jalan mana yang akan ditempuh negara ini.

Perjalanan panjang setelah referendum 2016 yang menyatakan Inggris akan keluar dari Uni Eropa seharusnya berakhir besok. Berdasarkan Pasal 50 Traktat Lisabon, Inggris resmi keluar dari Uni Eropa pada 29 Maret 2019.

Namun, sampai hari ini, tarik-menarik kekuasaan antara lembaga legislatif dan eksekutif di Inggris membuat proses Brexit berjalan di tempat. Kebuntuan politik tersebut membuka kemungkinan terburuk di kedua sisi, yaitu kemungkinan Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan, atau malah sebaliknya, kemungkinan Brexit tidak terjadi.

Semua kekisruhan politik itu berawal dari ketidakmampuan PM Inggris Theresa May mengontrol anggota parlemen Partai Konservatif dan juga mitra koalisi Partai Unionis Demokratik (DUP). Selama dua tahun perundingan Brexit bersama UE, upaya May dihabiskan untuk menjembatani aspirasi yang terbelah di partainya, yaitu kubu yang pro-hard Brexit dan kubu yang menginginkan Inggris tetap dekat dengan UE.

Alhasil, saat kesepakatan Brexit yang ditandatangani November lalu diajukan ke parlemen untuk diratifikasi, suara yang menolak begitu masif, 432 berbanding 202 suara. May berhasil membujuk UE untuk "merevisi" kesepakatan Brexit, khususnya terkait backstop Irlandia Utara. Namun, dalam voting kedua pada pertengahan Maret lalu, kesepakatan itu kembali ditolak dengan suara 391 berbanding 242.

Frustrasi melihat proses Brexit yang berjalan di tempat, Brussels akhirnya memperpanjang tenggat Brexit dengan ultimatum. Jika kesepakatan Brexit diterima parlemen, tenggat akan diperpanjang sampai 22 Mei. Namun, jika kesepakatan Brexit untuk ketiga kalinya ditolak parlemen, tenggat diperpanjang hanya sampai 12 April, dan Inggris harus menentukan masa depannya.

Parlemen kemudian berinisiatif mengambil alih kontrol Brexit dari PM May, dengan melakukan indicative votes, yaitu opsi-opsi yang kemungkinan besar akan didukung mayoritas anggota parlemen. Beberapa opsi kemudian akan dipilih oleh ketua parlemen untuk divoting semua anggota.

Meskipun langkah ini ditentang keras PM May, proses ini dianggap bisa menerobos kebuntuan Brexit. Sejumlah opsi yang disampaikan antara lain Brexit tanpa kesepakatan, tetap berada di pasar tunggal Eropa, referendum kedua, sampai batalkan Brexit.