Seorang warga kulit putih asal Australia, Brenton Tarrant, merangsek masuk ke masjid Al Noor, menembaki jemaah di masjid itu. Peristiwa serupa terjadi juga di masjid Linwood. Terbilang 50 orang meninggal dan sebanyak 48 luka-luka. Dunia pun berduka dan mengecam tindakan biadab itu. Dari manifesto berjudul "Great Replacement" yang diunggah pelaku di medsos sebelum melakukan teror, tindakannya itu dilatarbelakangi sikap politik supremasi kulit putih (white supremacy) anti-imigran dan anti-Muslim.
Sentimen anti-imigran
Dalam manifesto itu pelaku menunjukkan kekagumannya kepada Anders Behring Breivik, pelaku teror di Oslo, Norwegia, Juli 2011, yang menewaskan 93 orang. Tindakan keji Breivik juga didorong oleh sikap anti-imigran. Breivik mengkhawatirkan tergerusnya identitas bangsa Norwegia oleh para pendatang.
Hal lain yang juga terungkap dalam manifesto adalah rujukannya terhadap sikap politik penulis Perancis, Renaud Camus, yang anti-imigran dan pendukung utama gerakan politik sayap kanan di Eropa.
Pengakuan Tarrant dalam manifestonya menunjukkan, tindakan terornya terinspirasi dari tulisan Camus (Suransky & Wildman, The Inspiration for Terorism in New Zealand Came from France, Foreign Policy, 16 Maret 2019). Mengikuti logika politik Camus, Tarrant mengkhawatirkan banyaknya imigran ke Eropa, disertai tingkat kelahiran yang tinggi, akan menggerus pelan-pelan identitas bangsa dan budaya Eropa.
Dengan kian banyaknya penduduk pendatang, populasi Eropa berubah, dan pada gilirannya budaya dan peradaban pun berganti. Sikap politik anti-imigran Camus ini diadopsi Tarrant, yang meneror pendatang Muslim di Selandia Baru sehingga mendorongnya melakukan penembakan massal terhadap Muslim di Christchurch.
Mengapa Muslim yang menjadi sasaran? Mengapa Muslim di Selandia Baru yang dibantai, yang justru terpaut jarak 19.000 kilometer dari Perancis, tempat di mana ideologi anti-imigran itu berkembang? Data International Migration Outlook, OECD, 2018, menunjukkan jumlah pendatang (foreign-born) di negara OECD pada 2017 berjumlah 127 juta, naik 3 persen dari 2016. Secara rata-rata pendatang di negara-negara OECD berjumlah 13 persen dari total penduduk.
Jika dilihat per negara, proporsi pendatang terhadap total penduduk paling tinggi tercatat di Luksemburg 46 persen, disusul Swiss 29 persen, Australia 28 persen dan Selandia Baru 23 persen. Selandia Baru salah satu negara yang terbuka bagi pendatang dan paling ramah terhadap imigran. Data Gallup 2016-2017 mengindikasikan, dalam skala 0-9, Selandia Baru menempati ranking kedua dalam indeks most-accepting for migrants, dengan skor 8,25 setelah Eslandia 8,26.
Di beberapa negara yang proporsi pendatangnya tinggi, sentimen anti-imigran biasanya dipicu dua hal. Pertama, aspek sosial ekonomi, terkait kekhawatiran berkurangnya kesempatan kerja bagi penduduk asli dan kedua, aspek sosial budaya: ketakutan akan tergerusnya identitas budaya bangsa. Jika sentimen anti-imigran ini dikaitkan dengan pembantaian Muslim Selandia Baru, motivasi teror Tarrant agak rancu untuk dua alasan. Pertama, Selandia Baru adalah negara sejahtera dengan penduduk kurang dari 5 juta dengan pengangguran rendah.
Dengan profil sosial ekonomi demikian, sulit membayangkan negara itu jadi tempat perebutan kesempatan kerja antara penduduk asli dan imigran. Dengan tingkat pendidikan rata-rata cukup tinggi, kompetisi di pasar buruh kelas bawah, jenis pekerjaan yang jadi incaran imigran, tak begitu sengit.
Kedua, sikap anti-pendatang di Eropa oleh media Barat sering ditujukan kepada kelompok Muslim. Sentimen dan kecurigaan Barat-Islam sempat mencuat di berbagai negara Eropa, terutama setelah serangan teror terhadap Menara Kembar di New York. Sikap saling curiga dan mispersepsi Barat-Islam kian menguat setelah negara-negara Barat bersekutu menyerang dan "mendemokrasikan" negara-negara Arab Timur Tengah, seperti Afghanistan, Irak, Libya, dan Suriah.
Dengan latar sejarah seperti ini, dapat dimengerti jika tindakan teror di Eropa, seperti terjadi di (untuk tak menyebut semua) London, Paris, Brussels, dan Madrid, sering dikaitkan dengan kelompok Muslim pendatang di kota-kota tersebut.
Supremasi kulit putih
Banyak analis menduga bahwa teror di sejumlah kota di Eropa itu merupakan aksi balas dendam kelompok Islam radikal terhadap negara yang ikut dalam koalisi Barat dalam proyek "mendemokrasikan" Arab Timur Tengah. Dari sinilah bermula munculnya sentimen anti-imigran Muslim di Eropa dalam beberapa tahun terakhir.
Itu kasus Eropa. Dalam kasus di Selandia Baru, apa betul sikap anti-imigran secara eksklusif merujuk kepada kelompok Muslim? Dari persentase terhadap jumlah penduduk, imigran Muslim di Selandia Baru sangat kecil (0,9 persen) dibandingkan dengan di Australia (2,6 persen), Jerman (5,7 persen), Inggris (6,3 persen), Belanda (7,1 persen) dan Perancis (8,8 persen).
Jika memang teror Tarrant didorong oleh sentimen antipendatang, terlalu naif untuk mengatakan bahwa imigran Muslim adalah target penolakan di Selandia Baru. Dengan jumlah Muslim sangat kecil, imigran Muslim di Selandia Baru bukanlah ancaman dalam konteks sosial ekonomi. Ada paradoks di sini: Muslim yang bukan ancaman malah jadi sasaran teror.
Sedikitnya Muslim di Selandia Baru juga terdata di laporan OECD tahun 2018. Mayoritas pendatang di Selandia Baru justru dari negara non-Muslim. Sepuluh besar negara asal pendatang berturut-turut China, India, Inggris, Australia, Filipina, Perancis, Jerman, Afrika Selatan, AS, dan Korea. Dari data ini dapat disimpulkan: jumlah imigran Muslim sangat kecil. Tapi, Muslim malah jadi sasaran teror Tarrant yang antipendatang.
Jika memang Muslim bukan ancaman, baik dalam konteks sosial ekonomi maupun sosial budaya, lantas apa yang menarik pelatuk terorisme di Selandia Baru? Jauh sebelum melakukan pembantaian, Tarrant melakukan perjalanan ke Perancis, yang diakuinya sebagai sumber inspirasi bagi sikap anti-imigrannya. Bisa jadi, pengalaman beberapa negara Eropa dalam menghadapi ancaman sosio-kultural imigran Muslim di Eropa yang dilihatnya menguatkan sikap anti-imigran dan menebalkan ideologi supremasi kulit putih yang dianutnya.
Sekarang yang tersisa adalah adanya lanskap baru terorisme global: terorisme ternyata bukan hanya eksklusif merujuk Islam radikal, tetapi juga gerakan supremasi kulit putih, yang tak kalah radikalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar