Halo, Pekalongan
Sebagai orang Pekalongan, saya miris membaca tulisan seorang ahli di Kompas (22/2/2019), "Pembunuh Itu Bernama Subsidensi". Laju subsidensi (amblesan tanah) di Pekalongan adalah 20 cm per tahun. Jika tidak ada upaya menghindarinya, Pekalongan bisa tenggelam 30-40 tahun lagi.
Sejak dasawarsa lalu, orang Pekalongan sudah mengenal kosakata baru yang belum ada saat saya remaja: rob. Rob atau pasang naik sudah melewati SMP Negeri I yang jaraknya sekitar 4-5 km dari gisik pantai. Ironisnya, Pemerintah Kota Pekalongan menggali sekitar 400 sumur bor untuk memenuhi kebutuhan air baku, sebagian besar untuk industri batik.
Menurut penulis artikel, tindakan ini merupakan bunuh diri. Ramalan seperti ini bukan yang pertama saya dengar. Pada 1990-an, ketika saya mendampingi seorang ahli dari ADB meninjau pantura Jawa yang ramai dikonversi menjadi tambak, dia geleng-geleng kepala: "Pantaimu akan mengalami abrasi besar-besaran".
Wahai, Bapak Wali Kota Pekalongan, mohon pikirkan langkah antisipasi, serta berjuang untuk melaksanakannya. Yang pertama ditangani adalah 400 sumur bunuh diri itu. Bagaimana hasil studi banding wali kota yang dulu ke Belanda? Panggil para diaspora, siapa tahu ada yang ahli. Jangan andalkan universitas lokal walau banyak mengumbar predikat cum laude. Pembangunan hutan mangrove cuma langkah kecil, paling jadi obyek wisata.
Jangan berpegang pada ujaran bahwa penyebab semua bencana adalah banyak yang melakukan maksiat. Juga jangan biarkan pengusaha batik bersemboyan: "Kali Pekalongan hitam (karena limbah), berarti nasib batik benderang".
Kalau rob sudah sampai di Lapangan Mataram, batik Pekalongan juga akan tenggelam.
Sumantoro Martowijoyo
Jl Daksa I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Masa Depan Jalan Fatmawati
Awalnya, kami, warga yang tinggal di dekat Jl Fatmawati, Jakarta Selatan, bersyukur dengan selesainya pembangunan MRT dan perbaikan jalan yang rusak akibat pembangunan itu. Mulai Maret ini, MRT— yang dibangun ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta—telah dapat kami nikmati dan rasakan manfaatnya. Namun, ada beberapa potensi yang bisa membuat Jl Fatmawati lebih semrawut, bahkan jika dibandingkan dengan sebelum ada MRT.
Berikut beberapa fakta. Perbaikan/pengaspalan jalan seakan-akan ingin lekas selesai tanpa melihat kewajaran bangunan. Di sepanjang Jl Fatmawati, khususnya di lajur kiri, terdapat penutup gorong- gorong yang tak sejajar dengan jalan. Bahkan, ada di beberapa tempat penutup yang terpasang sekitar 5 cm di bawah permukaan jalan. Praktis, pengendara sebisa mungkin menghindari lajur kiri; sementara lajur kanan semakin padat dan banyak putar balik. Sudah banyak terjadi pengendara sepeda motor oleng karena itu.
Saat ini lajur kiri di bawah setiap stasiun MRT, mulai dari perempatan Fatmawati hingga Stasiun Blok M, menjadi tempat favorit parkir mobil; tak hanya malam hari ketika banyak warung tenda membuka warungnya, tetapi ini terjadi sejak pagi hari.
Tak terlihat aparat yang sigap menertibkan. Malah, saat ini sudah mulai banyak tukang parkir dadakan yang muncul. Ini membuat tempat itu setiap pagi dan sore jadi sumber kemacetan. Jalan ke arah perempatan Fatmawati menyempit di dekat pom bensin Shell, ditambah masuknya mobil dari arah Jl Gereja dan putar balik di depan penyalur Isuzu (keduanya selalu dijaga Pak Ogah) membuat kemacetan panjang setiap waktu. Ini diperparah lampu lalu lintas yang merahnya sangat lama. Jika tak diatasi segera oleh kepolisian, Pemprov DKI, dan PU, jangan heran, Jl Fatmawati jadi sumber kesemrawutan baru.
Doni Rizal
Jl Tumaritis, Cilandak Barat,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar