Menteri Propaganda di era Adolf Hitler (Nazi) itu mengungkapkan, "If you repeat a lie often enough, people will believe it, and you will even come to believe it yourself." Kebohongan jikalau disampaikan berulang-ulang, orang akan memercayai, dan Anda juga akan memercayainya (Kompas, 27/3/2019).
Pernyataan Goebbels lebih dari 70 tahun lalu itu kini terasa relevan dengan semakin berkembangnya hoaks dalam kehidupan masyarakat. Hoaks, yang pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2017) diartikan sebagai 'berita bohong', tak hanya menyebar di Indonesia, tetapi juga di banyak negara. Kabar bohong tak hanya memperdaya masyarakat, tetapi juga mengguncangkan pemerintahan dan memecah belah rakyat di sejumlah negara. Warga dunia pun geram terhadap hoaks.
Hoaks oleh sebagian orang dianggap sebagai bagian budaya post-truth. "Kebenaran" cuma diukur dari keberulangan (viral) sebuah informasi. Pengelola media sosial, seperti Facebook dan Twitter, serta pengelola media percakapan publik, Whatsapp, pun ramai-ramai melawan hoaks, antara lain dengan membuat iklan untuk mengedukasi masyarakat. Literasi digital, meski belum masif di Indonesia, terus dilakukan. Kesadaran diri masyarakat untuk selalu mengecek informasi yang diterima terus digelorakan.
Nyaris tidak ada orang di negeri ini, serta di belahan dunia lainnya, yang tidak marah pada hoaks. Bahkan, mereka yang sadar atau tidak ikut memproduksi dan menyebarkan kabar bohong turut meneriakkan perang melawan hoaks. Namun, sampai saat ini hoaks masih saja menyebar, menjadi virus, dan mengguncangkan masyarakat. Apalagi, di tahun politik ini.
Wacana mengatasi hoaks secara total dan menyeluruh mengemuka di masyarakat, seperti dilaporkan Kompas, Kamis (28/3/2019). Penghapusan konten hoaks di media sosial perlu diikuti pula dengan menggiatkan literasi digital dan penegakan hukum. Muncul wacana penyebar hoaks bisa dikenai sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pula.
Marcus Tullius Cicero (106 SM-43 SM), filsuf Romawi, mengingatkan, semakin banyak aturan, semakin sedikit keadilan. Pelaku penyebaran berita bohong di Indonesia dapat dijerat UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, serta Kitab UU Hukum Pidana (KUHP). Sanksi pidananya bisa mencapai 10 tahun.
Selama ini pelaku penyebaran hoaks dijerat dengan UU ITE dan aturan pidana lainnya. Jika hoaks masih menyebar, tidak berarti hukuman tak menjerakan, tetapi boleh jadi aparat masih kurang tegas. Penegakan hukum masih pilih kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar