Sebelumnya juga ada yang mengeluhkan, betapa negara kita sudah over regulated. Biasanya, setiap kali muncul masalah baru, yang paling cepat terlintas adalah membentuk lembaga baru, selain membuat undang-undang (UU) baru. Banyak kalangan beranggapan, jangan-jangan negara kita malah sudah bergeser dari negara hukum menjadi negara UU. Sudah telanjur meruak anggapan, dengan membuat UU atau membentuk lembaga baru, akan teratasilah penyakit, dan persoalan selesai.

Berikut beberapa contoh. Mungkin juga karena jengkel dengan kinerja ekspor dan investasi yang tak kunjung meningkat, Presiden Joko Widodo berceletuk akan membentuk kementerian baru guna menangani dua sektor tadi. Untuk mengatasi rimba regulasi yang tumpang tindih dan ruwet, akan dibentuk badan baru pula. Serius? Fungsi yang tidak perform atau kebijakan yang tidak jalan semestinya sudah dinilai Presiden.

Dalam kaitan aspek kelembagaan— katakan organisasi—tampaknya itulah yang sering jadi sasaran dekat untuk membuat terobosan. Aspek organisasi juga tak bisa dilepaskan dari ihwal birokrasinya. Bagaimana penalarannya?

Keberanian pendekatan

Organisasi dan birokrasi perlu didekati secara rasional dan obyektif. Keduanya hanyalah alat. Mungkin masih banyak yang ingat, ketika Jokowi mengungkap janji dalam debat 2014, ia ingin bekerja dengan tim yang ramping, efektif, dan profesional. Siapa pun yang mendengar waktu itu pasti tahu bahwa itu akan berujung ke khayal format organisasi kabinet yang ringkas dan perekrutan berbasis keahlian yang ketat.

Dalam perjalanannya, aspek kelembagaan dan birokrasi yang digadang akan jadi mesin pelaksana sembilan cita ternyata menyajikan kisah lain. Bukan menimbang organisasi yang ramping dan efektif, ia ternyata hanya menggunakan portofolio kementerian pemerintahan sebelumnya. Faktor situasi dan kondisi masa itu mungkin membuatnya demikian. Lingkungan sekitar mungkin juga kurang siap dengan jabaran konsepnya.

Merumuskan tujuan, janji, dan menegaskan sasaran setajam mungkin, bagaimanapun mesti diupayakan. Meringkasnya dalam program sehingga tidak terkesan berlapis dan nggedabyah juga penting. Bukan saja masalahnya menyangkut repotnya membuat prioritas, tetapi ke depan hal itu juga menghadirkan upaya dan rekayasa pengalokasian anggaran negara yang tidak sederhana, yang besarnya juga bukannya tak terbatas, baik sumber maupun perolehannya. Belum lagi kalau tak benar-benar siap sistem kendalinya.

Tampak sederhana dan mudah diucapkan, tetapi biasanya sering terlewati di menit terakhir. Terlewati karena semuanya berkonsentrasi pada bagaimana memenangi pemilihan. Belum lagi yang namanya dinamika politik. Ibarat merancang pergelaran, belum selesai dengan skenario pun sudah banyak yang minta peran. Pelajaran yang dapat dipetik, militansi dalam tahap pemenangan jelaslah penting. Namun, kesiapan dalam perumusan perangkat lunak untuk kerja setelah kemenangan juga mesti disiapkan cermat sedini mungkin.

Justifikasi besar-kecilnya organisasi pada akhirnya memang lekat dengan tujuan yang ingin dicapai, spektrum dan banyaknya program serta sasaran yang ingin diwujudkan. Di samping itu, fungsi- fungsi yang akan diemban, deskripsi yang jelas, dan persyaratan bagi perekrutan personalianya. Tampak sepele, tetapi perlu keberanian untuk mendekatinya. Dalam konteks pemerintahan, format kabinet nanti pun juga tidak lepas dari hal itu. Dengan janji-janji dan segala program yang ditawarkan, apakah kebutuhan kelembagaan akan sama seperti ukuran dan format kabinet yang sekarang, atau dengan penggeseran dan penggabungan beberapa fungsi, atau akan memperkecil, semestinya dikaji oleh tim pemenangan capres yang mana pun.

UU Kementerian Negara

Hambatan pasti ada, termasuk yang namanya dinamika politik tadi. Semua harus diselesaikan sedini mungkin. Ada UU yang mengatur ragam dan jumlah kementerian negara. UU tersebut sudah mematok jumlah, titelatur, dan nomenklatur kementerian negara. Secara hukum, sesuai sumpah jabatan, untuk antara lain melaksanakan UU dengan selurus-lurusnya. Siapa pun presidennya dan seberapa pun program yang ditawarkan, kalau akan membentuk kabinet, haruslah memperhatikan UU tadi.

Sudah pasti UU seperti itu tak logis. Dalam sebuah negara demokratis dan konstitusional yang presidennya dipilih langsung oleh rakyat; presiden terpilih bagai "dijerat dan dibatasi" oleh UU ketika ia akan melaksanakan kerja yang dijanjikan (dan secara politis telah disetujui rakyat yang sebagian besar memilihnya) serta mewadahinya secara organisatoris.

Itu sebabnya, jika menghendaki organisasi kabinet agar sesuai dengan rencana kerjanya, presiden terpilih juga harus cepat mengubah UU di sela waktu sebelum pelantikan bulan Oktober. Memang benar, ada ketentuan dalam UU tersebut tentang kapan dan perubahan mana yang harus dengan persetujuan DPR serta mana yang cukup dengan berkonsultasi saja. Namun, masalah mendasar sesungguhnya lebih dari itu: tepatkah mengikat presiden hingga soal bentuk, nama, dan jumlah kementerian yang diperlukan? Kalau ada argumen bahwa UUD-lah yang menghendaki agar pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur UU, pertanyaannya tetap: haruskah menyangkut jumlah kementerian yang diperlukan?

Pengaturan yang ketat seperti yang ada dalam UU selama ini tidak memiliki nilai konstitusional. Kepraktisan pun juga tidak. Kalaupun alasannya adalah semangat pembaruan—bahwa semua lembaga negara mesti diatur dengan UU— bukankah sebaiknya itu lebih menekankan pada prinsip-prinsip dan mekanisme pembentukan, pengubahan, atau pembubaran kabinet atau kementerian di dalamnya dan tak bersifat limitatif seperti yang berlaku sekarang?

Persiapan seperti itu pasti merepotkan presiden walau presiden juga punya hak mengajukan RUU. Akankah DPR menyetujui? Orang Jawa punya pepatah jer basuki mawa bea. Bukankah di belakang Presiden ada parpol-parpol yang mendukung? Pantasnya dukungan bukan hanya untuk pemenangan dan ikut serta dalam pemerintahan, tetapi juga keringat untuk mengamankan, memperjuangkan, dan meratakan jalan bagi kebijakan untuk mewujudkan janji-janji yang dulu mereka dukung pula.

Pembinaan birokrasi

Melekat pada aspek kelembagaan ini adalah pembinaan birokrasi yang selama ini dianggap selalu jadi kambing hitam. Setiap kekurangan dalam kinerja pemerintahan, di pusat maupun daerah, yang biasa jadi sasaran olok-olok adalah birokrasi. Predikat yang disandangkan negatif: nggedabyah, tambun dan lamban, tak profesional, dan lain-lain yang buruk. Olok-olok itu meluas dan seperti dibiarkan melekat. Pernahkah kita bertanya dan berusaha memperbaiki secara substantif? Meski kini sudah ada UU ASN, Komisi ASN, serta Kementerian PAN dan RB, benar-benar adakah yang namanya pembinaan birokrasi?

Birokrasi memang ada dalam wadah kelembagaan. Sebagai tatanan kewenangan yang terjabar dalam lapisan jabatan, birokrasi adalah konsep abstrak. Seperti halnya pemerintah, ia konkret ketika digerakkan manusia-manusia yang menjalankan fungsi pemerintah. Demikianlah birokrasi. Besar atau luasnya tatanan kewenangan mengikuti besar kecilnya fungsi yang diemban lembaga. Karena itu, makin tajam dan ramping organisasi, tercetak pula ukuran birokrasi. Makin tajam deskripsi fungsi dan tugas lembaga, makin jelas dan sederhana pula susunan birokrasi dengan jabatan-jabatan di dalamnya.

Sebaliknya, ukuran birokrasi juga cenderung mengikuti ketika format organisasi pemerintahan tak rasional. Oleh sebab itu, tak akan pernah ada reformasi birokrasi dalam makna yang sesungguhnya, tanpa terlebih dulu meninjau aspek lembaga yang justru menjadi wadahnya. Tinjauan tentang jumlah dan kualitas manusia yang terlibat di dalamnya pastilah penting. Begitu pula soal tata kerja. Pengaturan serta pengawasan perekrutan dan penempatan dalam jabatan, jelas baik pula. Sama halnya perhatian terhadap gaji, tunjangan, dan lain-lain yang selama ini dijadikan program reformasi, juga baik. Namun, semua itu hanya soal periferi yang mengikuti soal pokok.

Perhatian yang lebih besar dalam pembinaan birokrasi adalah keharusan. Bagaimanapun, birokrasilah sesungguhnya salah satu alat utama Presiden, di samping Polri dan TNI. Untuk keamanan dan ketertiban, digunakan Polri. Untuk pertahanan menggunakan TNI. Dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, katakanlah pelaksanaan kebijakan, program pemerintahan dan pembangunan, birokrasilah alat utama Presiden. Sebagai perangkat pemerintahan, birokrasi memang harus lepas dari politik praktis.

Namun, sebagai alat, birokrasi mesti dibina agar mampu bekerja efektif dan profesional. Presiden seyogianya tak ragu dalam soal itu. Memotivasi seluruh potensi bangsa pastilah penting. Namun, sebagai kepala pemerintahan, presiden adalah pemimpin tertinggi birokrasi. Sebagai pembantu presiden, para menteri dan ketua lembaga pemerintah adalah penanggung jawab pembinaan birokrasi di lingkungan masing-masing. Begitu pula para kepala daerah. Hal sama berlaku untuk para sekjen Dewan atau komisi. Melayani institusinya, tetapi sebagai birokrat, apa pun namanya, mereka berpegang kepada pemimpin tertinggi tadi.

Manusia pelaksana yang selama ini dikenal sebagai PNS dan penggerak birokrasi mesti dibina baik dalam keterampilan maupun keahlian, melalui program pendidikan dan pelatihan, serta etika. Sistem meritokrasi atau penjenjangan karier dan jabatan untuknya harus pula dibina dan dikendalikan dengan pasti. Dalam ihwal birokrasi ini, sudah saatnya ditiadakan kondisi tanpa pembinaan, sementara jenjang jabatan di dalamnya malah hanya menjadi obyek pelelangan.