Dalam artikel "Golput" (Kompas, 12/3/2019) Romo Franz Magnis-Suseno SJ menyatakan bahwa bagi WNI-pemilih, mencoblos itu secara hukum adalah hak, bukan kewajiban.
Namun, secara moral, mencoblos itu kewajiban semua pemegang hak pilih, kecuali kalau ada alasan yang sah untuk tidak melaksanakannya. Jadi, mencoblos itu imperatif hipotetis yang dilakukan dengan asas prima facie.
Apakah mendengarkan kata hati dan menurutinya merupakan imperatif kategoris untuk menentukan apakah kita akan mencoblos atau menggolput?
Hati nurani atau kata hati (conscience, das Gewissen) memang masih bisa salah. Namun, hati nurani itu—panggilan dari kalbuku yang justru tertuju kepadaku sendiri— adalah yang masih tersisa dari imago Dei setelah manusia jatuh ke dalam dosa.
Maka, kalau kita menggunakan hati nurani memutuskan akan mencoblos atau menggolput, dan ternyata keputusan kita salah di hadapan Tuhan, kita boleh percaya bahwa Deo volente, Dia yang Mahapemaaf, akan berkenan mengampuni kesalahan kita.
L Wilardjo Klaseman, Salatiga, Jawa Tengah
Padam 6-10 Jam
Tiga kejadian dan durasi listrik padam di kawasan tempat tinggal saya, Jalan A Yani, Kecamatan Seberang Ulu II, Palembang: 6 jam (19/2/2019, enam jam (7/3/2019), dan 10 jam (9/3/2019).
Untuk pemadaman yang direncanakan, seharusnya ada teknologi cadangan supaya pemadaman jangan sampai berjam-jam. Untuk faktor alam, karena hujan misalnya, seperti pada 9 Maret lalu itu, pemulihannya terlalu lama: 10 jam.
Rupanya pengoperasian listrik PLN di Palembang belum andal, tak sigap mengantisipasi keadaan. Ini tak sepatutnya terjadi di Palembang yang metropolitan, pernah jadi tuan rumah SEA Games 2011 dan Asian Games 2018.
I Buana Jl A Yani 30D, Palembang
Upaya Terakhir Guru Sertifikasi
Saya guru swasta dengan nomor sertifikat pendidik 131061706134 tahun 2010, NUPTK 1135749651200063, dan NRG 101636422005. Saat ini saya masih bekerja di sebuah SMK swasta di Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Sudah tiga tahun ini, saya tidak pernah menerima tunjangan sertifikasi dan terancam sampai pensiun 12 tahun lagi tidak pernah menerima tunjangan apa pun dari pemerintah.
Penyebab masalah ini, jurusan kami sudah dibekukan dan diganti pihak manajemen sekolah dengan jurusan baru yang dianggap lebih baru dan canggih. Segala upaya sudah kami tempuh seperti mencoba sertifikasi ganda, mengajar di sekolah lain untuk mencari jurusan yang sama, tetapi semua usaha itu kandas.
Kami mohon bantuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau pihak terkait memberikan solusi terbaik bagi kami dan rekan kami yang mungkin bermasalah.
Kami sebagai guru dengan puluhan sertifikat dari pemerintah dan usaha sendiri seolah-olah dikucilkan dan dianggap tidak ada. Berilah kami tunjangan yang layak. Salam untuk para pengajar di seantero negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar