Elite intelektual Eropa dan Barat pada umumnya suka beranggapan bahwa sistem nilai yang melandasi demokrasi-demokrasi modern merupakan sesuatu yang sudah kekal dan bakal dengan sendirinya menyebar ke seluruh dunia.

Kaum intelektual Perancis berbangga telah menciptakan konsep hak asasi manusia (1789). Adapun cendekiawan Inggris dan Amerika berbangga telah menciptakan konsep demokrasi modern. Mereka meyakini bahwa impian Pencerahan dari Locke, Rousseau, dan Kant sudah unggul untuk selamanya dan sejarah pada akhirnya akan dapat dikelola secara rasional.

Selama ini mereka hanya memandang ancaman terhadap demokrasi yang datang dari luar. Apakah dari dunia Arab-Islam atau dari China yang kapitalisme khasnya membuktikan bahwa kemajuan ekonomi tidak memerlukan demokrasi untuk melaju.

Namun, ancaman itu tidak menggoyahkan optimisme elite intelektual Barat. Mereka tetap yakin bahwa China pada akhirnya akan menjadi rasional dalam gerak majunya. Demikian pula dengan negara Arab-Islam yang diyakini akan kian merangkul universalisme modern melalui pembaruan tafsir agama oleh generasi baru.

Ujung-ujungnya "semua akan baik di dunia yang paling baik pula" seperti dikatakan Voltaire menyindir optimisme politik para filsuf sezaman di "Candide", 20 tahun sebelum revolusi Perancis (1789). Ya, kaum intelektual Barat tetap optimistis dan berbangga karena merasa dirinya memegang kunci evolusi demokratis dunia.

Tiba-tiba keyakinan elite itu goyah. Lima puluh orang Islam dibantai di Selandia Baru oleh seorang teroris Australia pendukung hegemoni kaum kulit putih. Jadi, bagaimana kalau ancaman terhadap demokrasi tidak datang dari luar, melainkan dari kedalaman dunia Barat itu sendiri. Dari segi gelap sejarahnya: tradisi perbudakan, Ku-Klux-Klan, dan terutama teori Nazi, yang wacananya kini merebak kembali ke mana-mana.

Negara-negara Barat memang menghadapi tantangan. Gerakan migrasi dari Timur Tengah, Afrika, dan Amerika mengubah keutuhan etnis masyarakatnya. Eropa Barat, Amerika, dan Australia menjadi multikultural dengan masyarakat yang kian tercampur secara etnorasial.

Namun, hal ini tidak berarti bahwa masyarakat itu selalu harmonis. Perlambatan laju ekonomi yang dialami akibat persaingan global cenderung menghambat peluang integrasi kaum pendatang.

Kaum "pribumi" lokal kelas bawah bersaing dengan kaum pendatang (Magribi, Indo-Pakistan, Afrika, Meksiko) di seputar lowongan kerja yang langka. Hal ini menimbulkan gesekan keras dan prasangka. Jadi, kapitalisme global bisa jadi menghasilkan universalisme, tetapi ia juga membuahkan kebalikannya.

Namun, gesekan etnorasial itu tidak akan keras jika tidak diasah oleh media sosial. Tak ayal, perangkat algoritma yang melatarbelakangi media sosial ini cenderung menciptakan reaksi "emosional", dan serta- merta mengurangi peran penyeimbang rasional yang selama ini dimainkan oleh media cetak tradisional.

Kini, misalnya, radikalisme dan terorisme semakin sering dibaca sebagai tanda perang peradaban dan bukan lagi sebagai fenomena patologi sosial yang marginal. Wacana kebencian menggelembung tanpa hambatan yang berarti di jaringan internet.

Alhasil, bak Frankenstein, di dunia Barat kini tengah bermunculan kembali rasisme terstruktur yang selama puluhan tahun dianggap sudah dikubur untuk selamanya dengan kalahnya Nazisme Jerman.

Di dalam situasi seperti ini, apakah institusi-institusi demokratisBarat sebenarnya cukup kuat untuk mencekal bahaya fasis? Belum tentu. Bagaimana jadinya dengan Amerika Serikat jika Donald Trump terpilih kembali? Tak ada yang tahu.

Lalu apakah kalangan LSM humanis cukup kuat untuk meredam dan melawan kefanatikan rasial kalangan ekstrem kanan Barat. Belum tentu pula.

Boleh kita merayakan The International Day for the Elimination of Racial Discrimination (Hari PBB Antidiskriminasi) yang jatuh tiga hari yang lalu. Akan tetapi, selama perusahaan internet raksasa tetap dibiarkan menggaungkan wacana kebencian rasial (atau agama) atas nama kebebasan mutlak mengeluarkan opini sebagaimana dijamin oleh konstitusi Amerika Serikat, kerukunan dan demokrasi tak pernah akan terjamin.

Maka, salah satu tugas intelektual dan politik kita adalah berjuang untuk merumuskan suatu sistem kontrol atas internet dan media sosial yang sekaligus demokratis dan bebas wacana kebencian.