255 Suku Asli di Papua
Menurut hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2010, terdapat 300 kelompok etnik dan 1.340 suku bangsa di Indonesia. Dari sumber yang sama disebutkan terdapat 1.128 suku, sedangkan Presiden Joko Widodo sering menyebutkan 714 suku di Indonesia. Angka mana yang benar? Perlu klarifikasi lebih lanjut dari BPS.
Apakah ke-255 suku asli di Papua merupakan bagian dari ketiga angka yang berbeda di atas? Jawabannya tidak jelas. Apabila diasumsi angka yang benar adalah 714 suku, jumlah suku di Papua mencapai 35,71 persen dari total suku di Indonesia dengan total populasi 3,32 juta jiwa.
Kompas (9/3/2019) dalam berita "Jangan Lupakan Perempuan Papua" menyebutkan beberapa nama suku: Korowai, Lani, Moi, Meg, Yali, dan Kimyal, dalam kaitan dengan Hari Perempuan Internasional 8 Maret.
Berita itu belum menggembirakan dan masih menjadi tantangan untuk meningkatkan kondisi kesehatan dan pendidikan kaum perempuan di Papua. Faktor adat membelenggu mereka sehingga tertinggal jauh dari saudari-saudari perempuannya di provinsi lain Indonesia.
Kondisi mereka mengingatkan kembali akan pesan Prof Dr Koentjaraningrat mengenai kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan di Indonesia.
Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi dan infrastruktur harus diintegrasikan dan menunjang pembangunan manusia Indonesia.
Kiranya pemerintah lebih memperhatikan pembangunan sumber daya manusia, khususnya kaum perempuan di Papua. Penelitian antropologis di Papua perlu ditingkatkan untuk menemukan solusi yang tepat tanpa merendahkan akar budaya setempat sehingga dapat diberdayakan menjadi riset aksi (action research) untuk melakukan transformasi budaya secara bertahap di kalangan mereka.
Harus diakui, pembangunan budaya baru yang lebih manusiawi membutuhkan waktu lama dan interaktif serta kesabaran. Sangat berbeda karakteristiknya dengan pembangunan fisik infrastruktur.
Wim K Liyono Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Pembinaan Rusun dan Apartemen
Saya membeli apartemen dan menempatinya sejak lima tahun yang lalu untuk mendekati tempat kerja. Sekarang saya menyesali keputusan saya itu karena ternyata pengembang "menguasai" apartemen tersebut, mulai dari penjualan, pengelolaan, pengurus RT ataupun RW, pemilihan anggota TPS, sampai keanggotaan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) dengan berbagai cara. Bila perlu, dengan mengintimidasi halus sampai kasar warga apartemen.
Saya sangat mendukung keluarnya Kepmen PUPR No 23/2018 dan Pergub No 132/2018 tentang pembinaan pemilik dan penghuni rusun. Namun, dalam praktiknya, melalui P3SRS, pengembang mencoba menghambat kepmen dan pergub tersebut.
Keanggotaan bendahara P3SRS dirangkap oleh bendahara pengelola; badan pengelola dipilih secara tidak transparan; pengurus RT dan RW ditunjuk, bukannya dipilih penghuni; penyusunan tata tertib, sistem pemungutan dan pengambilan suara, kuorum pertemuan sampai hari dan jam pertemuan tidak sejalan dengan kepmen dan pergub.
Menjelang rapat luar biasa anggota salah satu apartemen di Jakarta Utara, baru-baru ini, diedarkan rancangan tata tertib yang menggiring opini agar penghuni dan pemilik apartemen seolah-olah menolak penyesuaian pengurus P3SRS.
Saya mohon Pemprov DKI mengawasi pelaksanaan kedua peraturan itu dengan ketat, keras, dan tegas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar