Tren deprivatisasi agama yang menandingi gagasan sekularisasi menjadikan agama bergerak ke ranah publik-politik. Deprivatisasi agama selain berdampak positif, karena memang seperti kata  Bung Karno bahwa  agama adalah unsur mutlak dalam nation building, tetapi juga memunculkan beberapa problem ikutan yang mengkhawatirkan cita-cita masyarakat madani.

Apabila Kuntowijoyo dalam karyanya, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, memperkenalkan demistifikasi Islam dengan bangunan narasi yang khas, saat ini berkembang apa yang saya sebut sakralisasi politik atau mistifikasi politik.

Sakralisasi politik adalah upaya membingkai politik praktis dengan baluran ajaran agama yang berimplikasi bagi orang tertentu tak berani mendiskusikan, apalagi mendebatnya karena bernuansa "langit" walau sebenarnya bingkai argumennya naif.

Sakralisasi politik bertujuan menghentikan bekerjanya nalar kritis di medan kontestasi politik. Politik yang pada dasarnya baik akan menjadi absurd jika disakralisasi. Apalagi jika sakralisasinya mengandung muatan kebencian.

Sakralisasi politik yang berupaya mengomodifikasi agama dalam politik ini akan bermuara di antara dua dimensi. Pertama, dimensi negatif karena memuat ujaran kebencian. Kedua, berdimensi di ranah diskursus yang saya sebut "bener tapi ora pener": apa yang disampaikan adalah benar, tetapi tidak tepat lokasi dan waktu sehingga dimensi ini akhirnya juga menjadi negatif.

Karena kepentingan politik praktis, tak jarang hukum positif yang telah disepakati dalam palagan konstitusional (institusi DPR) termarjinalkan. Contohnya saat pemilihan pemimpin, diembuskan isu Muslim, kafir, calon taat agama, calon pilihan agamawan, dan sejenisnya. Padahal, kriteria itu tak/belum tercantum di hukum positif. Hal ini potensial manipulatif karena pada titik tertentu isu ini bisa menafikan kualifikasi profesionalitas dan integritas kontestan.

Ragam sakralisasi politik ini selanjutnya diamplifikasi ke masyarakat oleh beberapa elite, termasuk agamawan, entah karena kesadaran sendiri atau karena ketakpahaman terhadap fenomena post truth dengan gerakan firehose of falsehood maupun apa yang saya namakan gerakan tebar jala hoaks.

Dalam area ini, agamawan jadi konduktor yang baik untuk menghantarkan "asupan" buruk ke otak dan emosi masyarakat. Absurdnya, amplifikasi juga dilakukan di tempat ibadah yang di situ menjadi titik kumpul umat dari berbagai latar, termasuk simpatisan beragam partai politik. Mereka tidak sadar telah menyegregasi masyarakat.

Karena politik sudah dibuat "sakral" dan "melangit", maka ceramah yang mencela,  bahkan menghasut, akan menjadi suatu yang permisif dan ditoleran.

Menyeru nama Tuhan sambil mempersekusi atau bahkan melakukan tindakan destruktif akan dianggap biasa oleh sebagian orang karena sudah dibalut dengan nilai "langit". Ceramah yang garang pun akan dianggap wajar walau para jemaah setelah pulang akan tertanam rasa kebencian kepada lawan politik.

Jika sudah demikian, ceramah lucu dan riang yang ada di kampung jauh lebih bijak, bermanfaat, walau bisa jadi sebagian kecil jemaah sepulang dari pengajian hanya mengingat hal yang lucu dari penceramah. Namun, yang pasti, sepulang pengajian, jemaah membawa kegembiraan, bukan kebencian ke sesama.

Dampak ikutan
Banyak politisi yang kesadaran "ruang"-nya terbatas. Politisi yang sebenarnya banyak berkiprah di ruang masyarakat,  terutama menggamit ruang agama di masyarakat, tak menyadari peran itu. Mereka berasumsi, "permainan" di ruang politik yang mereka jalani selama ini, seperti debat dan "bertengkar" di forum resmi para politisi, akan selesai  "pertengkarannya" saat selesai forum resminya.

Sikap dan perilaku di "ruang" sesama politisi ini mereka coba jalankan saat terjun ke masyarakat. Para politisi mempraktikkan sakralisasi politik dalam kampanyenya. Sakralisasi politik hanya dianggap sebagai satu dari sekian amunisi kampanye yang efek emosionalnya diasumsikan akan berhenti jika hajat pemilu selesai.

Cara pandang politikus ini naif karena tak menyelami ruang lain dalam kehidupan manusia. Bagi sebagian orang, apalagi di akar rumput, isu yang bermuatan agama dianggap serius, ideologis, dan berefek panjang. Bukti hal tersebut melimpah sejak sekian tahun lalu. Isu-isu sampah yang merupakan residu politik ini memunculkan sejenis "collateral damage" yang seharusnya disadari.

Potensi konflik horizontal bisa terjadi. Pelajaran penting dari efek sakralisasi politik ini bisa diperhatikan di Timur Tengah. Campuran isu politik dan agama mampu membuat orang berani melakukan bom bunuh diri hingga berperang dengan sesama sehingga muncul radikalisasi atas nama agama. Peristiwa bom bunuh diri yang berulang kali terjadi di Indonesia hampir bisa dipastikan terkait pelaku yang menganggap taghut pada pemerintah.

Dampak ikutan yang lain adalah terjadinya desakralisasi agama. Karena sakralisasi politik, ajaran agama yang sebenarnya sakral jadi profan.

Nomenklatur agama tentang jihad, bertakbir, hijrah, ghuraba (anti-mainstream) akan dianggap sebagian umat Islam tak sakral lagi dan berkurang bobot spiritualitasnya, bahkan cenderung dibuat lelucon seperti yang beredar di medsos.

Seruan takbir yang diucapkan saat resolusi jihad  akan berbeda dengan seruan takbir yang diiringi kemarahan saat  kampanye. Hal ini karena mereka yang menyerukan adalah individu yang dianggap tidak memenuhi kualifikasi moral, apalagi spiritual.

Tak hanya terjadi desakralisasi agama, sakralisasi politik juga menginisiasi kemunculan ateisme seperti di Arab. Para Islamis adalah pihak yang paling sering menyuarakan sakralisasi politik dengan muatan kebencian di ruang publik.

Dikutip dari laman medium.com (31/7/2017), Brian Whitaker menjelaskan, salah satu sebab munculnya ateis di negara Arab adalah realitas Islamisme yang punya gagasan bahwa Tuhan menginginkan sebuah bangsa atas nama-Nya dan memerintahkan membunuh dan menghancurkan manusia lain.

Tentu relasi ateisme dengan sakralisasi politik ini belum diteliti di Indonesia, tetapi benih apatisme telah terjadi. Tulisan Zastrouw al Ngatawi tentang warga desa yang kerja di kota besar yang  tak mau shalat Jumat lagi karena sebelumnya saat Jumatan di beberapa masjid yang terjadi adalah khotbah kebencian, adalah contoh yang perlu diperhatikan.

Walhasil, mari kembalikan fungsi agama sebagai rahmat semesta alam. Dalam konteks pesta demokrasi 2019, ceramah agama hendaknya tak membuat sekat ideologis masyarakat jadi lebih tebal karena saling berbalas "aksi-reaksi" yang akan merembet hingga akar rumput. Agama harus jadi katalisator persatuan dan kedamaian bagi rakyat dalam menyongsong kontestasi politik dalam ajang menggembirakan, yakni pesta demokrasi.