Dinna Wisnu, dalam tulisannya "Bahaya Indo- Pasifik" (Kompas, 26/3/2019) mengingatkan kita mengenai semakin rumitnya perkembangan geopolitik di lingkungan strategis Indonesia.

Tatanan politik internasional, yang sempat didominasi Amerika Serikat (AS) sejak berakhirnya Perang Dingin, kini kembali mengarah ke politik kekuatan (power politics) dan rivalitas pengaruh antara Amerika Serikat dan China. Dengan tampilnya China sebagai rival utama Amerika, adalah wajar jika rivalitas kedua negara besar itu paling terasa di kawasan Asia-Pasifik.

Manifestasi rivalitas itu antara lain terlihat dalam visi kedua negara itu mengenai masa depan kawasan. Baik Amerika maupun China sama-sama mengakui bahwa masa depan dunia berada di wilayah dua samudra strategis: Samudra Pasifik dan Samudra India.

Keduanya menyadari bahwa dewasa ini sudah tidak logis lagi melihat kedua kawasan maritim itu sebagai dua unit geopolitik dan geoekonomi yang terpisah. Perbedaan di antara keduanya pada penyebutan semata. Amerika dengan tegas menyebut kedua kawasan itu sebagai Indo-Pasifik. Sementara China tampak enggan menggunakan istilah tersebut.

Namun, kebijakan kedua negara itu semakin jelas memperlihatkan reposisi strategis yang bertujuan menyatukan kedua samudra tersebut dalam strategi internasional mereka. Amerika menyodorkan gagasan mengenai tatanan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka (free and open Indo-Pacific/FOIP), yang dioperasionalisasi antara lain dalam bentuk "koalisi strategis empat sisi" (Quad) bersama Jepang, Australia, dan India.

Sulit dibantah, FOIP dan Quad jelas merupakan respons terhadap tatanan regional yang diinginkan Beijing, yakni penyatuan dua samudra melalui kerja sama Belt and Road Initiative (BRI) sebagai lingkup pengaruh strategis (strategic sphere of influence) China.

Dinna Wisnu benar ketika dia mengingatkan bahwa Indo-Pasifik menjadi "wilayah garapan" gagasan FOIP dan Quad yang dimotori Amerika. Dinna Wisnu juga benar ketika mengingatkan agar Indonesia waspada dalam menyikapi kebijakan Amerika itu, khususnya agar tidak terseret dalam upaya penangkalan terhadap China. Peringatan Dinna Wisnu itu semakin relevan dalam konteks menajamnya rivalitas AS-China belakangan ini, yang pada gilirannya dapat membawa risiko serius bagi kawasan, termasuk Indonesia.

Namun, Dinna Wisnu keliru ketika mengatakan, respons Indonesia terhadap perkembangan strategis itu sebagai sebuah kebijakan yang naif. Kekeliruan yang paling fatal adalah pendapat bahwa Indonesia berusaha membelokkan konsep Indo-Pasifik dan FOIP AS menjadi konsep kerja sama ASEAN. Indonesia tidak berada pada posisi untuk mengubah visi tatanan regional AS ataupun China.

Kepentingan strategis Indonesia adalah memastikan bahwa perbedaan visi strategis antara AS dan China tak memarginalkan ASEAN dan tidak merusak otonomi strategis (strategic autonomy) kawasan Asia Tenggara dengan menjadikan kawasan ini sebagai wilayah pertarungan pengaruh.

Justru Indonesia naif apabila tidak berusaha mencari jalan tengah dan menempatkan dirinya dan ASEAN (sebagai institusi) di posisi tengah di antara dua visi tatatan regional (regional order) yang berbeda antara AS dan China.

Jadi, opsi realistis bagi Indonesia bukanlah mengubah salah satu visi yang ada, melainkan bagaimana (a) membangun jalan tengah untuk memoderasi implikasi negatif yang timbul akibat perbedaan antara AS dan China dan atau (b) merekonsiliasikan dua visi yang berbeda di antara keduanya.

Tulisan Dinna Wisnu memberi kesan bahwa yang harus diwaspadai hanyalah konsepsi Indo-Pasifik yang digagas AS. Padahal, Indonesia harus waspada terhadap semua gagasan negara besar yang berpotensi membangun hegemoni dan dominasi, terutama apabila konsepsi tersebut ingin diwujudkan dalam suasana adanya rivalitas strategis di antara dua negara besar seperti AS dan China.

Negara-negara yang tak ingin beraliansi dengan salah satu negara besar akan selalu ditekan untuk menentukan pilihan. Adalah naif apabila Indonesia pasif dan membiarkan ASEAN menjadi sasaran "penggarapan" oleh kedua negara besar itu.

Pemahaman esensi 
Dengan kata lain, Dinna Wisnu keliru memahami esensi gagasan Indo-Pasifik yang ditawarkan oleh Indonesia. Apa yang sedang diupayakan Indonesia sekarang ini justru mengajak ASEAN untuk merumuskan tatanan regional seperti apa yang diinginkan ASEAN.

ASEAN telah menyepakati titik berangkat yang sama dalam proses ini, yakni Samudra India dan Samudra Pasifik sebagai unit geopolitik-geoekonomi tunggal. ASEAN juga menerima pandangan Indonesia bahwa ASEAN perlu mengusung visi tatanan regional alternatif yang terpusat pada ASEAN (ASEAN-centred).

Oleh karena itu, ASEAN mulai duduk bersama membahas konsepsi Indo-Pasifik alternatif sebagai jalan tengah yang dapat diterima dan menguntungkan semua pihak. Dalam konsepsi Indo-Pasifik jalan tengah ini tidak boleh ada pihak yang merasa teralienasi atau merasa menjadi pihak yang dirugikan dari proses rekonfigurasi arsitektur regional di kawasan.

Dalam proses yang sedang berjalan di ASEAN sekarang ini, Indonesia bertindak sebagai salah satu pemasok gagasan untuk menemukan format atau nomenklatur baru dari arsitektur regional yang dapat memberi titik temu bagi berbagai visi tatanan regional yang berbeda-beda seraya memastikan relevansi, sentralitas, dan persatuan ASEAN sebagai manajer tatanan regional (Rizal Sukma, Kompas, 11/6/2018). Pembahasan di kalangan ASEAN masih terus berjalan. Namun, seperti halnya dengan pembahasan mengenai konsepsi-konsepsi sebelumnya, seperti ZOPFAN, TAC, dan ASPC, ASEAN tentu memerlukan waktu untuk tiba pada sebuah kesepakatan bersama.