Dua sudut perasaan membingkai pemilu tahun ini. Pertama, perhelatan demokrasi ini berada pada titik harapan yang begitu membuncah. Sesuatu yang, seperti ajakan wartawan senior Kompas, Ninok Leksono, dalam tulisan "Persatuan dan Masa Depan Republik, Itulah Tujuan Kami" (Kompas, 26/3/2019), merujuk pada masa Indonesia yang semakin baik.

Kedua, bagaimanapun, jika kita bisa jujur, di titik lain, pada hari-hari ini, suasana kebatinan kita begitu diwarnai oleh kecemasan. Pemilu ini membujur di atas maraknya pembelahan sosial dan mengerasnya kubu-kubu politik.

Sekarang, sedang menyeruak kepiluan sosial-politik ke permukaan. Pertanyaan sederhana di sini: di mana rahim dari arus kepiluan tersebut bercokol?

Pertama, di level global, setelah beberapa dekade globalisasi, sistem politik demokratik di banyak negara kelihatan lebih cepat jadi usang. Di Barat, sistem ini kelihatan sempoyongan di bawah tekanan gelombang migrasi global. Nasionalisme, yang terbungkus dalam radikalisme dan fundamentalisme etnoreligius, dengan kebangkitan yang begitu cepat, secara luas dianggap sebagai tanda kemunduran demokrasi.

Kedua, kekuatan-kekuatan radikal-fundamentalis ini justru meminjam kerangka demokrasi sebagai kendaraan perjuangan. Asumsi yang muncul adalah proses demokrasi seperti pemilu akan bergerak dalam aroma intimidasi, kekerasan, dan kebrutalan. Situasi ini tumbuh di banyak tempat. Di level nasional, kerentanan (fragility)demokrasi di negeri kita justru tampak secara telanjang dalam kecenderungan seperti ini.

Kelelahan, keputusasaan, berkurangnya efektivitas demokrasi sedang memadati tema diskursus dan praktik politik di seluruh dunia. Bagi sebagian kalangan, inilah sebabnya mengapa solusi otoriter saat ini begitu populer. Situasi yang kemudian begitu cepat disambut baik oleh pendukung "pemurnian" etnoreligius dalam kontestasi demokrasi (baca: pemilu). Sayangnya, itikad semacam ini begitu banyak terwakilkan dalam perilaku destruktif.

Kekerasan dalam pemilu

Memang, dalam ranah teori, pemilu adalah cara demokratis menyelesaikan perselisihan sosial-politik dan membuat keputusan kolektif dan konstruktif. Namun, pemilu terlalu sering dipaksakan untuk memutarbalikkan proses pemilihan di bawah kendali konsolidasi etnopolitik. Situasi ini dianggap residu persaingan politik global sesudah Perang Dingin, ditambah masih bercokolnya sejumlah negara otoriter, dan pemilu hibrid di sejumlah negara.

Kekerasan dalam pemilu dilihat sebagai turunan dari situasi ini. Dalam beberapa tahun terakhir pencegahan kekerasan pemilu telah jadi isu dan kebutuhan yang kian besar. Hal ini sudah jadi bagian utama kegiatan bantuan demokratis yang dilakukan badan-badan internasional, sekaligus untuk mengikuti peningkatan kesadaran dalam komunitas internasional tentang tantangan keamanan spesifik yang dihadapi pemilu.

Namun, sampai saat ini, hanya ada sedikit evaluasi sistematis tentang keberhasilan berbagai strategi pencegahan kekerasan pemilu dalam mereformasi lembaga-lembaga pemilihan sehingga memungkinkan mereka menjaga perdamaian selama periode pemilihan. Strategi ini mengacu pada dua sisi. Pertama, mengurangi kekerasan pemilu oleh aktor nonnegara. Kedua, strategi-strategi transformasi sikap terkait pengurangan kekerasan oleh aktor negara dan sekutunya.

George Ward (2019), peneliti dari Massachusetts Institute of Technology, pada salah satu bab dalam World Happiness Report 2019, mengajukan tiga pertanyaan utama: (1) apakah orang-orang yang lebih bahagia akan cenderung terlibat politik? (2) apakah orang-orang yang lebih bahagia akan cenderung memilih partai-partai petahana, (3) apakah orang-orang yang tak bahagia cenderung memilih kaum populis? Pertanyaan ini dikemukakan untuk memahami hubungan antara kebahagiaan dan perilaku memilih dalam pemilu.

Studi Ward ini menyimpulkan, orang-orang yang lebih bahagia cenderung terlibat secara penuh dan suka rela dalam partisipasi politik. Mereka akan menjalankan itu dengan damai dan mendukung dengan gembira prakarsa-prakarsa sosial. Mereka secara signifikan akan menentukan arah pemilu damai, tanpa intimidasi dan kekerasan. Partisipasi kelompok ini akan menghindarkan pemilu tahun ini dari tragedi permusuhan, kebencian, dan kepiluan politik. Kita perlu mendorong partisipasi mereka sehingga pemilu tidak sampai bikin pilu.