Pemilu 2019 akan menjadi pemilu anggota legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) keempat. Dalam berbagai pemilu dan pilkada tersebut, tak jarang terjadi perbedaan survei pra-pemilu. Bahkan, dalam kasus Pilpres 2014, terjadi hal yang (seharusnya) tidak mungkin, yakni perbedaan hasil hitung cepat (quick count/QC).

Pada 2014, ada dua kelompok temuan hasil QC. Ada yang hasilnya mengunggulkan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Ada pula yang mengunggulkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Hasil hitung resmi KPU akhirnya menunjukkan bahwa yang menang adalah Jokowi-JK.

Perbedaan QC dan survei

Perbedaan hasil QC saya sebut tak mungkin karena QC merekam hasil coblosan di TPS yang jadi sampel. Hasil coblosan tak mungkin berubah karena pemilih tak mungkin kembali ke TPS dan  mengubah pilihannya karena ia mendadak berubah pikiran. Ini salah satu beda QC dan survei. QC merekam suara (vote) pemilih. Survei merekam pilihan (opini) calon pemilih. Suara tak bisa berubah. Opini bisa berubah. Opini pagi bisa berubah pada sore hari. Atau opini hari ini bisa berbeda dua pekan kemudian.

Itulah sebabnya hasil QC antarlembaga tak mungkin berbeda. Karena suara, sekali lagi, tak mungkin berubah. Jumlah TPS sampel bisa berbeda-beda antarlembaga. Ada yang  2.000 atau 4.000. Akan tetapi, itu hanya memengaruhi besaran margin of error saja. Makin besar sampel, makin kecil margin of error, alias makin presisi.

Perbedaan hasil QC antarlembaga hanya mungkin terjadi karena empat hal. Pertama, lembaga yang menyelenggarakan QC tidak mengerti prinsip sampling, cara menghitung, dan mengimplementasikan sampling pada populasi, dalam hal ini populasi TPS yang di Pilpres 2014 berjumlah 477.291 TPS. Karena tidak mengerti cara pengambilan sampel (sampling), maka sampel yang diambil (2000, 4000, dan lain-lain) tidak representatif terhadap populasi yang hampir 500.000 di seluruh Indonesia. Akibatnya, QC tidak mirip dengan hasil akhir pemilu.

Kedua, lembaga penyelenggara QC mengerti dan benar dalam sampling, tetapi terjadi distorsi dalam proses perekaman dan  pengumpulan data hasil pilpres di sebagian TPS yang menjadi sampel. Kemungkinan penyimpangan pertama adalah sukarelawan QC. Sukarelawan mungkin salah mencatat atau  mengubah hasil hitungan suara di TPS. Karena data yang diinput dan dikirim salah, otomatis hasilnya akan salah  (garbage in, garbage out). Kemungkinan kedua, terjadi error dalam teknologi informasi (IT) yang dipakai untuk mengumpulkan hasil suara di TPS. Ini terjadi karena umumnya lembaga penyelenggara QC menggunakan IT dalam pengumpulan data dari TPS sehingga cepat dan bersifat real time.

Ketiga, penyelenggara QC mengerti sampling, benar dalam perekaman dan mekanisme pengumpulan data suara di TPS, tetapi "mengutak-atik" hasil QC di pusat. Akibatnya, hasil QC berbeda dengan hasil hitung akhir KPU karena hasil QC yang seharusnya benar diubah menjadi tidak benar. Keempat, lembaga penyelenggara QC tak mengerti sampling, tak mengerti cara merekam dan mengumpulkan data yang benar, serta memang tak mengirim sukarelawan QC ke TPS. Angka yang dikeluarkan lembaga ini jelas fiksi karena hasil mengarang bebas. Atau mungkin mencontek hasil lembaga lain yang melaksanakan QC dan disiarkan langsung oleh televisi.

Karena prinsip dasar QC dan survei adalah sama, perbedaan hasil survei pada dasarnya disebabkan oleh sebab-sebab yang sama. Pertama, perbedaan hasil survei disebabkan oleh perbedaan pemahaman tentang metode sampling. Ada yang paham, ada yang tidak. Atau kalau paham prinsip sampling yang benar, implementasi pada tataran teknisnya berbeda. Hal ini dapat mengakibatkan perbedaan hasil.

Kedua, metode sampling dan implementasi teknisnya sama, tetapi lembaga yang satu mengalami distorsi dalam perekaman data survei, sementara lembaga yang lain tidak. Lagi-lagi masalahnya bisa pewawancara yang nakal atau lalai dalam proses wawancara dengan responden. Atau error dalam proses memasukkan (entri) data. Baik karena proses entri data manual atau proses entri data elektronik, tergantung kondisi dan tradisi di setiap lembaga.

Ketiga, lembaga survei memahami metode sampling dan implementasi teknisnya dengan baik, proses perekaman dan entridata berjalan dengan baik, namun terjadi pengubahan hasil survei di tingkat pusat. Angka elektabilitas pasangan calon presiden diubah-ubah, misalnya. Ada yang dinaikkan dan ada yang diturunkan. Keempat, bisa jadi ada lembaga yang tidak mengerti metode sampling, tidak pernah wawancara lapangan, namun mengeluarkan hasil survei. Ini lah lembaga survei hoaks alias lembaga survei yang mengeluarkan kebohongan.

Penyebab perbedaan

Namun, soal QC dan survei ini ada perbedaan, yakni soal waktu. QC dilaksanakan pada hari dan jam yang sama. Karena itu hasil antarlembaga pasti sama. Itu jika metode samplingnya benar dan mekanisme pengumpulan data juga benar. Kalaupun beda, pasti perbedaannya cuma tipis yang mungkin disebabkan oleh perbedaan jumlah sampling.

Namun untuk survei, waktu turun lapangan bisa berbeda. Akibatnya, hasil survei bisa berbeda. Elektabilitas pasangan calon (paslon), misalnya. Ingat, subyek survei adalah opini (pilihan) pemilih yang bisa berubah antarwaktu. Jangankan antarlembaga, di lembaga yang sama, hasil survei bisa berbeda pada waktu yang berbeda. Hasil survei Indo Barometer di 2007, misalnya, menunjukkan keunggulan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas Megawati. Namun, SBY kalah dari Megawati pada survei Juni 2008 pasca-kenaikan harga BBM Mei 2008. Akan tetapi, SBY berhasil recovery pada awal 2009, dan  unggul kembali atas Megawati.

Karena itu, perbedaan elektabilitas paslon Pilpres 2019 di survei Litbang Kompas, 22 Februari-5 Maret 2019, dan Indo Barometer (IB), 6-12 Februari 2019, pertama-tama mungkin disebabkan waktu turun lapangan yang relatif berbeda. Survei Litbang Kompas menemukan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf 49,2 persen dan Prabowo-Sandi 37,4 persen. Belum memutuskan 13 persen. Hasil survei IB, Jokowi-Ma'ruf 50,2  persen dan Prabowo-Sandi 28,9 persen. Tak menandai simulasi surat suara 20,9 persen.

Apakah selisih waktu yang berbeda sekitar 2-3 pekan bisa membuat perbedaan jauh? Bisa saja karena sekali lagi opini bersifat dinamis.

Sebenarnya, perbandingan antara survei Litbang Kompas dan IB akan lebih menarik jika bisa membandingkan beberapa variabel lain yang dianggap memengaruhi elektabilitas paslon. Rilis survei IB, misalnya, berangkat dari teori bahwa elektabilitas calon ditentukan oleh tiga variabel penting. Pertama, tingkat kepuasan pada kinerja Jokowi sebagai calon petahana. Kedua, penilaian pemilih terhadap kepribadian dan kemampuan calon. Dan ketiga, pengaruh isu yang berkaitan dan berkembang di sekitar calon.

IB menemukan bahwa tingkat kepuasan pada Jokowi mencapai 65 persen. Yang tak puas 30 persen. Tak menjawab 5 persen. Pengalaman kami melakukan ratusan survei pemilu dan pilkada menunjukkan bahwa jika tingkat kepuasan pada petahana di atas 60 persen, apalagi jika di atas 70 persen, peluang untuk terpilih kembali cukup besar. Ini yang disebut reward and punishment dalam demokrasi. Kecenderungan itu terlihat dalam survei IB di mana  73,7 persen yang puas pada Jokowi memilih paslon 01. Sementara responden yang tidak puas pada Jokowi, 69,3 persennya memilih paslon 02.

IB juga menemukan bahwa Jokowi cenderung unggul terhadap Prabowo dalam penilaian aspek-aspek kepribadian dan kemampuan calon. Dalam aspek kepribadian, misalnya. Jokowi mengungguli Prabowo dalam enam aspek, yakni dekat dengan rakyat, berpengalaman, pintar, islami, mampu memimpin, dan jujur. Sementara Prabowo unggul dalam dua aspek, yakni tegas dan berwibawa. Demikian halnya dalam penilaian kemampuan. Jokowi unggul dalam semua aspek kemampuan, yakni mampu mengatasi masalah ekonomi, masalah sosial, masalah keamanan, dan masalah hukum. Dalam kasus calon wakil presiden yang terjadi sebaliknya. Sandi justru banyak unggul dibandingkan dengan Ma'ruf Amin. Sandi unggul dalam aspek kepribadian berikut:  pintar, berwibawa, dekat dengan rakyat, mampu memimpin, berpengalaman dan tegas. Sementara Ma'ruf unggul dalam aspek islami dan jujur. Mengenai kemampuan,  Sandi unggul dalam semua aspek atas Mar'uf.

Penilaian aspek kepribadian dan kemampuan capres atau kepala daerah, biasanya menjadi indikator yang baik bagi unggul atau tidaknya capres. Walau hal ini kurang berlaku untuk para cawapres karena elektabilitas calon wakil biasanya mengikuti calon presiden atau kepala daerah. Calon presiden tinggi, wakilnya ikut tinggi, dan sebaliknya. Hal ini, misalnya, terjadi pada Boediono di tahun 2009 yang awalnya tak dikenal dan rendah, tetapi menjadi tinggi setelah berpasangan dengan SBY. Temuan survei Litbang Kompas Februari-Maret 2019 ini juga menunjukkan pola yang sama (Kompas, 22/3/2019).

Yang menarik adalah soal isu yang berkaitan dan beredar di sekitar calon. Sebelum Pemilu 2014 dan terutama Pilkada DKI 2017, faktor isu khususnya SARA, kurang memainkan peranan besar pada pemilu Indonesia, kecuali di beberapa provinsi, seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Maluku. Namun, Pilkada DKI 2017 tampaknya membuka Kotak Pandora berupa naiknya isu SARA dalam politik. Bukti dari variabel isu adalah Pilkada Jakarta di mana calon petahana Basuki Tjahaja Purnama kalah meski kepuasan terhadap kinerjanya 70 persen lebih. Basuki kalah karena mayoritas pemilih (60 persen) tersinggung dengan pernyataannya terkait Al Maidah 51. Yang tak tersinggung 20 persen saja.

Ada banyak isu terkait dan beredar di seputar calon petahana, misalnya isu Jokowi pendukung PKI atau soal jumlah tenaga kerja asing (TKA), khususnya China, di Indonesia. Di survei IB, terlihat isu-isu ini membelah pilihan responden. Mereka yang percaya bahwa Jokowi pendukung  PKI cenderung memilih paslon 02. Sebaliknya yang tak percaya, cenderung memilih paslon 01. Mereka yang menganggap jumlah TKA, khususnya China, banyak dan membahayakan kedaulatan Indonesia cenderung memilih Prabowo-Sandi. Demikian pula sebaliknya.

Dari laporan survei Litbang Kompas yang saya baca, hanya variabel tingkat kepuasan terhadap kinerja calon petahana yang bisa dibandingkan dengan survei IB. Dalam survei Litbang Kompas 2019 tersebut, kepuasan terhadap kinerja Jokowi 59 persen. Atau selisih 6 persen dari survei IB. Yang tidak puas tidak diketahui jumlahnya. Tidak diketahui pula kecenderungan arah pilihan paslon dari responden yang puas dan tidak puas terhadap kinerja Jokowi.

Untuk dua variabel yang lain, yakni penilaian terhadap kepribadian dan kemampuan calon, serta isu-isu yang terkait dan berkembang di sekitar calon, khususnya petahana, saya tak membacanya di survei Litbang Kompas. Kalau disurvei, mungkin bisa dibaca hasil dan pengaruhnya terhadap pilihan calon presiden. Kalau tidak disurvei mungkin bisa dilihat variabel-variabel lain yang dirumuskan dan diriset oleh Litbang Kompas untuk menjelaskan arah pilihan responden dalam Pilpres 2019. Setiap peneliti memiliki  teori untuk merumuskan variabel-variabel yang menjelaskan dukungan pemilih dalam pemilu presiden.