Ketika media cetak sebagai media satu arah surut perannya diganti media sosial yang lebih egaliter, saya jadi sering ingat pengalaman semasa jadi wartawan koran dulu.
Saya pernah menjadi Kepala Desk Kompas Minggu selama sekitar 11 tahun, dari tahun 1999 hingga 2010. Format koran mingguan dengan rubrik seperti gaya hidup, waktu luang, seni budaya, dan semacamnya menjadikan saya banyak bergaul dengan individu-individu dari kalangan tersebut.
Salah satu yang paling saya ingat, setiap kali saya ketemu kalangan penulis sastra, saya selalu ditanya mengenai kebijaksanaan redaksi dalam memilih cerpen untuk dimuat di Kompas edisi Minggu. Kebanyakan mereka menuduh, Kompas hanya memuat karya-karya dari penulis-penulis terkenal, atau karya dari penulis yang dikenal oleh redaksi. Karya penulis pemula mana mungkin dibaca.
Pada awalnya saya selalu menjelaskan mekanisme pemilihan naskah-naskah yang dimuat berikut bagaimana struktur redaksi, yang membuat sulit bagi seorang anggota redaksi berbuat sekehendak sendiri.
Hanya saja, karena penjelasan seperti tadi lebih banyak sia-sia, lama-lama saya menjadi kebal menerima tuduhan bahwa Kompas memuat karya berdasar asas pertemanan. Selanjutnya saya terbiasa berbohong, menjawab sekenanya.
Pemilihan cerpen didasarkan pertimbangan subyektif, kata saya. Subyektivitas siapa, tanya mereka. Subyektivitas saya. Apa dasarnya, mereka kurang terima. Wangsit, jawab saya. Mereka tertawa. Mereka tahu saya bohong. Saya ikut tertawa.
Pada waktu itu saya belum sampai pada hipotesis seperti saya percayai sekarang, bahwa kehidupan sebenarnya berlangsung berdasar berbagai narasi, termasuk narasi kebohongan. Everybody Lies, kata Seth Stephens-Davidowitz yang mengarang buku dengan judul sama, terbit tahun 2017.
Sangat mutakhir. Dalam buku ini, Stephens-Davidowitz memperlihatkan skeptismenya terhadap survei. Dia menunjukkan, orang lebih jujur ketika berhadapan dengan mesin pencari seperti Google daripada ketika berhadapan dengan pertanyaan yang diajukan petugas survei.
Informasi yang dicari seseorang (katakanlah melalui Google) sejatinya menginformasikan jati diri orang itu sendiri. Intinya: apa yang ingin kamu tahu menjelaskan siapa kamu.
Pada mesin pencari, orang mencari-cari hal-hal yang ingin dia ketahui, hal-hal yang menjadi obsesinya, yang secara sosial belum tentu bisa dia ungkapkan secara terbuka. Pasangan suami-istri yang ditanya seberapa sering melakukan hubungan seks, misalnya, cenderung akan melebih-lebihkan frekuensinya.
Pada banyak hal, kalau ditanya langsung, jawaban seseorang sering terkontaminasi bias keinginan/kepantasan sosial (social desirability bias). Inilah yang tidak akan terjadi kalau orang berhadapan dengan mesin pencari, dengan internet, sosok inteligensia buatan (artificial intelligence) yang sifatnya impersonal. Pada sesuatu yang impersonal, orang tak khawatir dianggap tidak pantas.
Penelitian Stephens-Davidowitz melalui Google Trends (menginformasikan seberapa banyak kata atau frasa dipakai dalam tenggat tertentu) memperlihatkan, betapa jauh jarak antara yang diungkapkan orang dan apa yang dipikirkannya.
Banyak contoh dia beberkan, saya pilihkan secara acak: melalui survei responden menyatakan, mereka tidak ingin kepo alias ingin tahu urusan orang lain. Realitas dunia digital: orang sangat ingin tahu urusan orang lain dan kemudian menghakiminya. Bukti dari kecenderungan itu: Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, jadi kaya raya.
Terus ada lagi, menjelang pemilihan presiden AS, hasil survei menunjukkan, orang mengingini politisi yang memiliki program jelas. Kenyataan dunia digital: mereka kurang peduli. Bukti ketidakpedulian: Trump menang.
Dalam situasi kita kini, saya—sebagaimana Anda—barangkali pernah ditanya pendapat kita mengenai hasil berbagai lembaga survei. Siapa bakal muncul sebagai pemenang dalam pemilihan presiden mendatang?
Saya selalu menjawab bahwa saya tidak percaya pada survei. Saya lebih percaya di mana wahyu jatuh.
Di mana, teman saya bertanya. Saya jawab, di Solo. Dia tertawa, menganggap saya bohong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar