Rehabilitasi Mangrove
Belakangan ini, baik di media cetak maupun televisi, marak diberitakan tentang antusiasme masyarakat menanam mangrove. Tren ini perlu disambut gembira, menandakan peningkatan kesadaran lingkungan masyarakat.
Masalahnya, tidak banyak yang paham bahwa mangrove hidup di pantai, tetapi tidak semua pantai dapat ditanami mangrove. Maka, ada ekosistem hutan mangrove dan hutan pantai yang karakteristiknya berbeda.
Kawasan terdampak gempa dan tsunami Aceh, 26 Desember 2004, hendak direhabilitasi Departemen Kehutanan waktu itu dengan menanam mangrove. Namun, ide pupus karena belakangan Dephut sadar, tidak semua pantai di Aceh dapat ditanami mangrove.
Silang pendapat tentang penanaman mangrove antara LSM setempat dan pembuatan talut oleh Kementerian PUPR di Teluk Palu tidak perlu terjadi apabila paham karakteristik mangrove. Hutan mangrove merupakan habitat unik dengan ciri-ciri: tanah berlumpur (sedimentasi), tergenang air laut secara berkala, menerima pasokan air tawar cukup dari darat, terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut, serta kadar garam payau-asin.
Lembah Palu bercurah hujan sangat rendah, kurang dari 1.000 mm. Menurut Schmidt Ferguson masuk tipe E dan F, daerah kering. Dampaknya adalah pasokan air tawar ke Teluk Palu kurang. Menurut penelitian Bank Pembangunan Asia (ADB), dari empat provinsi di Sulawesi saat itu, Sulteng tidak punya hutan mangrove memadai.
Hutan mangrove yang diteliti terdapat di Provinsi Sulsel di Pasangkayu Kabupaten Mamuju (sekarang Provinsi Sulbar), Provinsi Sultra di Pulau Muna Kabupaten Muna dan Provinsi Sulut di Teluk Kwandang Kabupaten Gorontalo (sekarang Provinsi Gorontalo). Ini indikator bahwa Teluk Palu kurang baik untuk habitat mangrove.
Thoyeb, nelayan dari Desa Tongke Tongke di Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Sulsel, adalah contoh cerita sukses menanam mangrove hingga ribuan hektar karena memahami karakteristik tanaman mangrove. Ia mendapat hadiah penyelamat lingkungan berupa Kalpataru (1995).
Dari sekian banyak lokasi penanaman mangrove di Indonesia, barangkali Tongke Tongke adalah salah satu yang paling berhasil.
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan KLHK, Villa Bogor Indah, Ciparigi, Bogor
Tanggapan tentang Industri Gula
Mengacu pada tulisan yang dimuat di Kompas (12 dan 13 Juni 2019) tentang industri gula di Jawa Barat, saya sebagai profesional di bidang pergulaan dan pernah menyupervisi pembangunan PG Jatitujuh dan PG Subang, ingin menanggapi terkait kedua pabrik gula tersebut.
Sejak awal dibuat peta jalan pasokan tebu bagi kedua pabrik. Pertama dari tanaman di atas lahan HGU yang pada awal tahun 1980-an masih dikelola PTP XIV, kemudian setelah kedua pabrik beroperasi berangsur-angsur dikembangkan tebu rakyat untuk menambah pasokan bahan baku tebu bagi kedua pabrik, selain untuk menyejahterakan rakyat di sekitar pabrik gula.
Kedua, untuk mencapai rendemen ideal diputuskan menanam varietas-varietas tebu hasil penelitian pusat Penelitian Gula di Pasuruan. Ini mengikuti adagium berbunyi: Money is made in the field.
Saya yakin, manajemen PT Rajawali Nusantara yang menggantikan posisi PTP XIV, secara profesional, melanjutkan strategi itu. Namun, terkesan bahwa dalam perjalanan waktu kinerja pabrik-pabrik gula makin mundur sampai PG Subang terpaksa ditutup. PG Jatitujuh mudah-mudahan bisa terus beroperasi.
Gula adalah produk yang di berbagai negara dianggap strategis, seperti di India, Thailand, dan Brasil sehingga gula selalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Semoga hal ini bisa menjadi acuan Pemerintah Indonesia agar bisa swasembada gula.
Soedjai Kartasasmita
Jl Iskandarsyah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar