AFP/ZAKARIA ABDELKAFI

Warga Paris, Perancis, bermain air di kolam Air Mancur Trocadero di depan Menara Eiffel saat gelombang panas mendera, Jumat (28/6/2019). Suhu di Perancis pada hari Jumat tersebut mencapai lebih dari 45 derajat celsius (113 derajat fahrenheit). Metro France, lembaga prakiraan cuaca setempat, mengatakan, peristiwa itu merupakan pertama kali terjadi ketika Eropa didera gelombang panas besar.

Lazimnya, bulan Juli seperti saat ini, negara-negara empat musim di belahan bumi utara mengalami musim panas. Tidak lazim, panas itu melebihi yang sudah-sudah.

Kini, seolah wajar setiap tahun kita mendengar ekspresi, "tahun ini panas mencapai rekor". Seperti diberitakan harian ini, Senin (1/7/2019), gelombang panas menyebar di Perancis, Italia, Spanyol, dan sejumlah negara Eropa Tengah. Di Perancis, Jumat lalu, suhu mencapai 45,9 derajat celsius.

Badan meteorologi setempat mengeluarkan peringatan tertinggi untuk pertama kalinya. Hal itu bisa dimengerti karena gelombang panas di Perancis dilaporkan membuat empat orang meninggal. Empat orang lainnya dilaporkan meninggal karena suhu tinggi di Italia dan Spanyol.

Gelombang panas dilaporkan juga memicu sejumlah kebakaran besar. Di Spanyol, petugas pemadam kebakaran harus berjuang selama hampir 72 jam untuk memadamkan kebakaran yang diperburuk oleh embusan angin. Api, selain membakar hutan, juga membakar perkebunan anggur yang pohon-pohonnya menjadi seperti obor karena dilahap api.

Dengan dialaminya pekan terpanas tahun 2019, genap lima tahun berturut-turut bumi dilanda panas yang mencapai rekor. Seperti dicatat oleh Badan Meteorologi Dunia, terpaan gelombang panas yang melanda Eropa "sangat konsisten" dengan dampak emisi gas rumah kaca.

Berkomentar terhadap yang terjadi itu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan, dunia sedang menghadapi darurat iklim yang parah. Sekjen PBB mengingatkan semua pihak untuk mengambil tindakan guna mencegah kehancuran di planet ini. Gangguan iklim yang kini berlangsung, dikatakan terjadi lebih cepat dari yang diramalkan para ahli dan selain itu juga lebih parah dari usaha yang dilakukan bangsa-bangsa untuk mengatasinya.

Dikhawatirkan, situasi itu akan terus memburuk kecuali ada tindakan sekarang juga yang bersifat masif. Masalahnya, belum semua elite negara, dengan alasan masing-masing, menerima realitas bahwa pemanasan global dan perubahan iklim sudah terjadi. Jika pun mengakui, respons yang diberikan belum memadai, sebagaimana disepakati dalam Kesepakatan Paris. Kita ingatkan kembali, Kesepakatan Paris menargetkan dunia bisa menahan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius pada akhir abad ini.

Tanpa disertai tekad kuat menurunkan emisi gas rumah kaca, khususnya karbon dioksida, tren terus memburuknya iklim tak bisa dihentikan. Jika ini terjadi, sulit dihindarkan terbitnya laporan bahwa musim panas tahun ini, 2020, 2021, dan seterusnya akan menjadi musim panas terpanas abad ini, dengan suhu yang lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.