Blog ini berisi KLIPING aneka kritik, opini, solusi yang dihimpun dari berbagai media. Situs ini merupakan kliping pribadi yang dapat diakses publik. Selamat membaca
Sungguh memprihatinkan membaca para politisi bak "gayung bersambut", saling mengamini usulan agar pimpinan MPR menjadi 10 orang. Alasannya, MPR sebagai lembaga permusyawaratan rakyat selayaknya memiliki banyak perwakilan dari rakyat.
Kata mereka lagi, MPR adalah lembaga permusyawaratan yang mengedepankan musyawarah sehingga harus ada perwakilan-perwakilan dari berbagai elemen masyarakat. Sebagai warga negara, tentu saya boleh tak sependapat dan bahkan menolak pernyataan tersebut.
Memangnya berapa kali dalam lima tahun MPR bermusyawarah? Bukankah MPR hanya bersidang saat pengambilan sumpah jabatan presiden dan wakil presiden terpilih? Jadi, apa manfaatnya menetapkan pimpinan majelis (MPR) sampai sebanyak itu?
Justru rakyat jadi beranggapan, pernyataan tersebut lebih didasarkan pada nafsu bagi-bagi kekuasaan. Apalagi jika MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara, dari posisi saat ini lembaga negara.
Konsekuensi yang harus ditanggung negara dengan ide "pimpinan majelis berjemaah" tentu terkait fasilitas. Unsur pimpinan majelis jelas memperoleh hak setara pimpinan lembaga negara lain. Dari kendaraan dinas, tunjangan jabatan, hingga ruang kantor pimpinan.
Tidak bisa dibayangkan, dengan komposisi pimpinan MPR menjadi 10 orang, makin berderet mobil mewah para pejabat tinggi kita di kantor Senayan. Belum lagi perjalanan dinas, dengan unsur pimpinan lembaga negara bisa mengikutkan istri/suami, dengan moda transportasi kelas utama pula. Berapa yang harus dibayar negara?
Semua fasilitas tersebut tentu tidak murah kalau tidak mau disebut mewah untuk ukuran rakyat. Jadi, usulan 10 wakil ketua MPR ini tidak mencerminkan kepekaan para legislator terhadap situasi keuangan negara dan terutama sangat menyakiti rakyat yang sudah memilih mereka.
Apalagi setelah berkantor di Senayan, para wakil rakyat begitu sulit ditemui. Gedung DPR yang tertutup begitu sulit ditembus dan, kalaupun sudah masuk, berbagai prosedur harus ditempuh. Bahkan pernah muncul wacana perlunya polisi DPR, menunjukkan keengganan para anggota DPR bertemu konstituen.
A RISTANTOJatimakmur, Pondokgede, Kota Bekasi
Menulis dalam Bahasa Jawa
Saya sedih membaca tulisan Eko Sulistyo berjudul "Lamun Siro Sekti, Ojo Mateni" (Kompas, 12/8/2019). Mengapa? Karena judul berbahasa Jawa tersebut ditulis dengan cara yang salah, di koran favorit saya pula.
Menurut pakemnya, dalam ejaan Jawa, huruf o ditulis dengan cara huruf "ha" diberi tambahan taling dan tarung. Jadi, judul tulisan tersebut salah ejaannya. Penulisan yang benar adalah "Lamun Sira Sekti, Aja Mateni".
Semoga ke depan Redaksi Kompas lebih jeli sehingga membantu mengurangi kesalahan menulis perkataan Jawa dalam huruf Latin.
Dawami MartonoRawa Bambu RT 008 RW 007, Pasar Minggu, Jakarta 12520
Integrasi Pembayaran
Saya ingin menyoroti sistem pembayaran kendaraan umum di Jakarta yang belum terintegrasi. Di bus Transjakarta, kartu yang bisa digunakan hanya kartu tertentu (bukan Jak Lingko, tapi Flazz BCA atau Mandiri E-money), sementara angkot Jak Lingko hanya bisa menerima kartu BNI TapCash dan JakCard Bank DKI. Penumpang harus punya pelbagai kartu.
Ke depan, pembayaran tiket bus Transjakarta atau angkot Jak Lingko harus bisa memakai kartu dan uang elektronik, termasuk melalui ponsel (Go- Pay, Ovo, Linkaja, dan lain-lain).
Bernadus WiradharmaMalaka Sari, Duren Sawit, Jakarta 13460
Kompas, 30 September 2019
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Bila dirunut sederhana secara linear, inilah litani kegaduhan sejak awal 2019: (a) pembelahan sosial menjelang pemilu 17 April 2019 dengan "politik identitas" sebagai narasi dominan, (b) kerusuhan pasca-pemilu, (c) penyerangan asrama Papua di Surabaya yang disusul protes keras masyarakat di tanah Papua, (d) polemik pemilihan pimpinan KPK baru dan revisi UU KPK, dan (e) kebakaran hutan yang berimbas sampai ke Singapura.
Entah apalagi yang mungkin terjadi ke depan. Apa sikap ideal negara di tengah kerumitan macam ini? Gagasan "demokrasi sentripetal" Joseph Lacey (2017) barangkali ilustrasi yang perlu untuk menemukan pencerahan. Berangkat dari tesis lingua franca tentang sistem demokrasi berkelanjutan, Lacey menyoroti lemahnya legitimasi demokrasi dan identitas politik di Belgia, Swiss, dan Uni Eropa umumnya.
Asumsi dasar tesis lingua franca adalah bahwa absennya bahasa yang sama dalam dialog demokrasi menyebabkan demokrasi tak berfungsi optimal karena "keputusan kolektif" di level institusi demokrasi sering kali gagal menginklusi aspirasi dan deliberasi dari masyarakat majemuk yang merupakan representasi dari keragaman ruang publik. Lacey (2017) menawarkan ide demokrasi sentripetal, sebuah gagasan bahwa institusi demokrasi yang legitim mesti menjadi motor penggerak dari seluruh aksi kewargaan dan perwakilan politik dalam rangka pembentukan watak kewargaan demokratik baru yang lebih berpengaruh dalam membentuk keputusan politik.
Gagasan "demokrasi sentripetal" Joseph Lacey (2017) barangkali ilustrasi yang perlu untuk menemukan pencerahan.
Siapa bermain?
Untuk konteks kita, ada dua intisari yang perlu digarisbawahi: (a) ruang publik itu dinamis dan jamak dan (b) peran aktif institusi negara. Kalau mau jujur, sejumlah kekacauan yang terjadi sejak awal 2019 mensinyalir adanya upaya melebarkan jarak antara negara dan masyarakat. Siapapun yang bermain di balik drama itu, jelas mereka menciptakan perang "negara versus masyarakat".
Mereka memanfaatkan ketegangan ontologis antara negara dan masyarakat sipil. Di satu sisi, ruang publik kian dinamis dan majemuk—dan seharusnya memang begitu! Di lain sisi, negara berada di persimpangan dilematis: (a) antara tergoda untuk memakai pendekatan klasik dengan coercive power yang pada gilirannya potensial melahirkan "negara Leviathan" dan/atau (b) tergerak berinovasi dalam merespons situasi tanpa mesti mengorbankan idealisme demokrasi dan kewibawaan negara sebagai institusi tertinggi.
Implikasinya, perlu ada kesamaan "bahasa" dalam dialog politik di level institusi negara untuk menjamin harmoni di tengah keragaman ruang publik dan terinklusinya keragaman deliberasi publik. Negara mesti berada di tengah sebagai kekuatan sentripetal yang menyatukan seluruh aksi dan aspirasi publik dalam pengambilan keputusan. Syarat fundamental adalah adanya akses yang terbuka antara negara dan ruang publik. Melalui akses itu, komunikasi deliberatif bisa terbangun produktif.
Siapapun yang bermain di balik drama itu, jelas mereka menciptakan perang "negara versus masyarakat". Mereka memanfaatkan ketegangan ontologis antara negara dan masyarakat sipil.
Inilah keunggulan pemerintahan Jokowi yaitu "negara" menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat, bukan masyarakat bagian subordinatif dari negara. Gaya kepemimpinan politik yang dinamis, fleksibel, dan context-based menyelamatkan Jokowi dan pemerintahannya dari badai yang terus menerpa.
Bahasa dan keputusan politik Jokowi terukur, proporsional, dan disesuaikan dengan konteks. Positifnya, pemerintah tak memberi celah bagi para pecundang untuk "menembak" Presiden dari belakang. Hal negatifnya terletak pada faktum sosial bahwa ruang publik yang dimungkinkan bertumbuh dinamis dan plural justru menyuburkan kritik dan resistensi terhadap pemerintah secara berkelanjutan.
Tentu demokrasi tak melihat itu masalah karena itulah hakikat demokrasi. Namun, itu jadi tantangan bagi kepemimpinan Jokowi saat ini dan ke depan apabila ruang publik dicemari oleh agenda kotor para begundal politik.
Keunggulan lain, institusi negara yang relevan seperti militer (TNI), kepolisian (Polri), termasuk badan intelijen (BIN) memiliki kapabilitas antisipatif dan keunggulan responsif memadai. Ketika kerusuhan terjadi sesudah pemilu, ada tuduhan "negara zalim dan kejam". Pada akhirnya, informasi intelijen dan tindakan cepat Polri membongkar kotak Pandora bahwa ada "pemain" ingin mengacaukan negara. Tensi opini "negara zalim" pun menurun.
Saat Papua bergolak, spekulasi berkembang, separatisme tak terbendung lagi. Faktanya, gejolak kembali mereda. Ketiga institusi negara (BIN, Polri, TNI) berkolaborasi dan bertindak cepat. Bandar konflik kembali gigit jari karena manuver Beni Wenda—terbang dari London, singgah di negara tertentu sebelum akhirnya berlabuh di Pasifik Selatan untuk menyukseskan kekacauan di Papua—ibarat menabur garam di laut.
Inilah keunggulan pemerintahan Jokowi yaitu "negara" menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat, bukan masyarakat bagian subordinatif dari negara.
Ketiga, pluralisme ruang publik ternyata menjadi keunggulan tersendiri bagi stabilitas sosial-politik. Wacana media dan aksi jalanan yang beragam justru memustahilkan adanya narasi tunggal dalam beragam gangguan. Kemajemukan ruang publik memunculkan turbulensi, tetapi secara simultan juga menyediakan stabilisator otomatis. Pemain kerusuhan yang meraup untung dari gejolak politik hanya berhasil apabila ada metanarasi yang begitu hegemonik, karena dengan begitu, emosi sosial masyarakat dengan mudah terbakar dan menjelma menjadi revolusi seperti dalam Revolusi Bolshevik 1917 yang bermula dari mogok buruh.
Lebih jauh soal kemajemukan ruang publik, barangkali polemik KPK contoh yang sepadan. Sejak dibentuk 2002, melalui UU 30/2002, KPK banyak berjasa.
Tentu bukan soal jumlah uang negara yang diselamatkan, melainkan soal merawat harapan rakyat yang terluka dengan kemiskinan struktural karena awetnya korupsi dalam struktur politik dan birokrasi. Namun, ada rumor bahwa oknum tertentu bermain politik dengan kewenangan luar biasa yang melekat pada posisinya sebagai pejabat antikorupsi. Rumor tentang "bisnis sprindik" (surat perintah penyidikan) sempat berkembang beberapa tahun lalu—meski dibantah resmi oleh institusi!
Wacana media dan aksi jalanan yang beragam justru memustahilkan adanya narasi tunggal dalam beragam gangguan. Kemajemukan ruang publik memunculkan turbulensi, tetapi secara simultan juga menyediakan stabilisator otomatis.
Ada lagi selentingan, "kelompok Taliban" menguasai arena penyidikan di lembaga itu. Istilah "Taliban"— bermakna sangat terbatas dan kiranya tak ditafsir begitu liar—mengacu pada sejumlah oknum yang karena "terlalu religius" sehingga mereka menjadikan perang terhadap korupsi sebagai "jihad pribadi" untuk cita-cita khilafah sekaligus dendam politik.
Saat yang sama, opini berkembang bahwa oknum di DPR bermain di balik revisi UU KPK untuk membatasi langkah institusi dalam memburu koruptor. Demokrasi hidup dari diskursus publik yang subur macam ini. Maka, biarkanlah opini itu menjadi pekerjaan rumah sekaligus taruhan integritas pimpinan KPK baru ke depan.
Posisi pemerintah
Dalam situasi yang fenomenal macam ini, ada keputusan politik yang barangkali harus dipahami melampaui imajinasi dan ekspektasi pribadi. KPK adalah lembaga yang dikelolah manusia, maka perlu pengawasan. Siapa yang mengawasi? Ini yang mesti menjadi konsen publik. Jangan sampai KPK sulit bergerak karena yang mengawasi adalah mereka yang justru layak diawasi. Pengawasan itu niscaya karena pejabat KPK adalah manusia yang berpeluang melakukan abuse of power.
KPK adalah lembaga yang dikelolah manusia, maka perlu pengawasan. Siapa yang mengawasi? Ini yang mesti menjadi konsen publik.
Betul, kita terjebak dalam teori kemungkinan. Itu bukan soal. Seperti ketika kalau kita menolak badan pengawas, lantas siapa yang mampu menegasi kemungkinan adanya politisasi kewenangan KPK yang justru mengancam survival demokrasi? Sebagai pranata, KPK adalah superbody, tetapi orang di dalamnya bukan superman. Saya mau menengarai bahwa relativisme kemanusiawian memaksa kita terus terjebak dalam teori kemungkinan. Kepastian hanya ada ketika keraguan menjadi kenyataan atau dugaan menjadi fakta empirik.
Untuk itu, barangkali tiga usul ini perlu. Pertama, pemerintah sebagai "representasi negara" harus terus berada di tengah, sebagai kekuatan sentripetal yang merawat keragaman ruang publik yang berpotensi terbelah secara pragmatis. Konsekuensinya, sinergi antara institusi negara yang relevan dan pemerintah adalah kekuatan stabilisatoris di tengah guncangan yang ada.
Ketiga, untuk jamin penegakan hukum bebas dari segala bentuk intervensi, masyarakat sipil adalah kekuatan fundamental —wadah roh demokrasi hidup (Diamond, 2008). Negara harus terus menjamin kebebasan sipil dan hak politik bagi tiap warga negara sambil tetap tegas dalam menyikapi para begundal yang menjadikan "kebebasan demokratik" sebagai kuda Troya untuk mengacaukan negara.
Sebagai pranata, KPK adalah superbody, tetapi orang di dalamnya bukan superman. Saya mau menengarai bahwa relativisme kemanusiawian memaksa kita terus terjebak dalam teori kemungkinan.
(Boni Hargens Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI))
Kompas, 30 September 2019
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Membaca berita di harian ini, Sabtu (28/9/2019), tentang lambatnya program pemulihan pascagempa di Sulawesi Tengah membuat kita bertanya.
Apakah yang membuat kita sedemikian rigid, kaku, sehingga untuk menolong korban bencana alam yang semestinya segera, belum nyata setelah setahun berlalu. Sekadar mengingatkan kembali, gempa bumi dan tsunami melanda Kota Palu serta Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong, Sulteng. Bencana ini merenggut 3.124 jiwa, 705 orang lainnya hilang, dan 1.016 korban tanpa identitas dimakamkan massal. Jumlah rumah rusak tercatat 110.214 unit.
Dari sisi ilmiah, gempa di Sulteng juga mengangkat wacana likuefaksi, yakni terangkatnya cairan di lapisan bawah kerak bumi ke atas sehingga menyebabkan permukaan di wilayah itu bak bubur lumpur yang mengisap benda lain, termasuk manusia dan bangunan, sehingga lenyap dari pemandangan. Peristiwa itu di satu sisi menimbulkan kesan mengerikan.
Likuefaksi memperkaya khazanah kajian ilmiah tentang efek gempa bumi, peristiwa alam mencari keseimbangan baru, tetapi dengan efek bagi manusia yang bisa sangat dahsyat.
Literasi rakyat Indonesia tentang risiko hidup di lingkungan Cincin Api kini meningkat, khususnya semenjak terjadi gempa dan tsunami hebat di Aceh pada 26 Desember 2004 dan gempa di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006. Ketika bertransformasi menjadi masyarakat berbasis pengetahuan, wajar jika mereka berharap birokrasi juga bergerak ke arah dan dengan irama sama.
Menjadi mengecewakan jika ternyata setelah setahun gempa Sulteng berlalu, sejumlah program prioritas penanganan bencana belum terlaksana.
Pemenuhan hak penyintas, seperti penyaluran dana stimulans, perbaikan rumah, dan jaminan hidup tunai, molor sembilan bulan dari jadwal awal tahun 2019. Hal sama juga untuk pembangunan irigasi dan pembangunan hunian tetap.
Presiden Joko Widodo memutuskan, rehabilitasi dan rekonstruksi Sulteng berakhir tahun 2020. Tekad yang baik ini tentu patut kita kawal demi pulihnya kehidupan normal saudara kita di sana. Kedua, sebagai pembuktian, kita sudah belajar dari peristiwa bencana tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini kita garis bawahi karena kita telah bertekad untuk merespons bencana secara lebih sigap. Saat bencana, kita tak hanya bisa meminimalkan korban melalui pelbagai aktivitas mitigasi yang dilakukan, tetapi lebih dari itu, kita juga semakin sigap secara birokratis.
Termasuk, mengalokasikan dana penanggulangan dan mencairkannya dengan cepat. Pendanaan penanggulangan saat ini bertumpu pada APBN karena APBD tak mencukupi. Mungkin hal ini baik untuk kita renungkan kembali mengingat bencana umumnya terjadi di daerah.
Tentu masih ada hal lain yang bisa lebih detail diungkapkan, tetapi semua itu menuntut semangat kecepatan untuk menyediakan. Kita juga berharap, selain APBN, pemerintah dapat menyediakan dana lain yang prosedur penggunaannya tidak sekaku APBN. Semua kita sampaikan dengan latar belakang ingatan tulus pada penyintas bencana di Sulteng yang hingga hari ini masih menunggu realisasi program bagi mereka.
Kompas, 30 September 2019
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita. Kini data lebih berharga daripada minyak," ucap Presiden Joko Widodo saat berpidato dalam sidang bersama DPR-DPD, Jumat (16/8/2019).
Di era Revolusi Industri 4.0, data merupakan kekayaan yang sangat berharga. Google, misalnya, mengibaratkan data pribadi sebagai sinar matahari. Sayangnya, penjualan/penyalahgunaan data pribadi marak. Mei lalu, harian Kompas memuat hasil risetnya terkait dengan penjualan data pribadi di Indonesia. Setiap hari kita juga menerima layanan pesan singkat (SMS) dari nomor yang tidak dikenal.
Nomor ponsel kita sudah beredar luas, berada di tangan pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan bisnis mereka tanpa seizin kita. Kebocoran data pribadi terjadi di dunia. Nama-nama korporasi beken tersangkut kasus. Pada Juli 2019 diberitakan salah satu maskapai penerbangan global dikenai denda 230 juta dollar AS. Ada 500.000 data pribadi pelanggan dicuri peretas melalui internet maskapai tersebut.
Sejatinya, data pribadi bukanlah hak milik yang dapat dipindahtangankan. Data pribadi adalah hak asasi (Sinta, 2019). Pihak lain yang memanfaatkan data pribadi haruslah mendapatkan persetujuan (consent) dari pemilik data.
Setidaknya ada dua hal yang perlu menjadi fokus perhatian pemerintah dan publik terkait dengan data pribadi. Dua hal itu adalah kebocoran dan penyalahgunaan data pribadi.
Rendahnya literasi digital masyarakat kita menyumbang munculnya persoalan penggunaan data pribadi yang tidak bertanggung jawab. Data Hootsuite (2019) menyebutkan, pengguna internet di Indonesia sebanyak 150 juta (56 persen dari jumlah penduduk). Namun, angka besar ini belum diikuti literasi digital secara memadai.
Banyak dari masyarakat kita yang senang dengan banyaknya aplikasi gratis yang bisa diunduh, padahal sejatinya tidak gratis. Pemilik aplikasi dapat melakukan barter dengan mendapatkan data pribadi penggunanya. Saat akan mengunduh/menggunakan aplikasi, pengunduh akan diminta mengizinkan mengakses data yang ada di telepon pintarnya.
Dengan belum komprehensifnya pengaturan, banyak pihak dapat bebas mengakses data pribadi dalam bisnis daring. Mereka bahkan dapat mengakses data yang sebenarnya tidak relevan atau kurang dibutuhkan untuk kegiatan bisnisnya. Aksesnya menjadi berlebihan.
Lemahnya perlindungan data pribadi
Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki undang-undang (UU) yang secara khusus mengatur dan melindungi data pribadi. Regulasi terkait data pribadi tersebar di sepuluh undang-undang dan sepuluh peraturan perundang-undangan lainnya (Kemenkominfo, 2019). Indonesia tergolong terlambat dalam pengaturannya.
Beberapa negara ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina, telah memiliki UU yang secara khusus mengatur perlindungan data pribadi (Deloitte, 2018). RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) hingga kini masih dalam proses. Meskipun telah masuk program legislasi nasional, dengan pergantian anggota DPR, RUU tersebut dikhawatirkan tertunda jika tak ada kekuatan yang mendorong pengesahannya tahun ini.
Saat ini yang gencar mengampanyekan pentingnya perlindungan data pribadi adalah Uni Eropa. Global Data Protection Regulation (GDPR) yang diberlakukan Mei 2018 dapat menjadi salah satu rujukan Indonesia dalam memproteksi data pribadi di era Industri 4.0.
Beberapa prinsip/aturan di GDPR yang menarik adalah setiap data yang digunakan harus mendapat persetujuan dari pemilik data. Juga data yang diakses harus relevan dan benar-benar dibutuhkan oleh pelaku bisnis. Tidak dibolehkan mengakses data yang tidak dibutuhkan (berlebihan).
Peran aktif pemerintah atau regulator
Pemerintah/regulator perlu terus mendukung optimalisasi penggunaan data pribadi di dalam bisnis digital. Mendorong para pelaku bisnis dan institusi publik untuk memanfaatkan big data. Namun, ada batasannya, harus bertanggung jawab (tidak merugikan pemilik data pribadi). Penggunaan big data dapat optimal dilakukan tanpa harus mengakses dan menggunakan data pribadi secara berlebihan.
Sambil menunggu disahkannya UU PDP hingga beberapa bulan ke depan, dalam rangka perlindungan terhadap publik, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah/regulator sektor dan pemangku kepentingan lainnya.
Pertama, perlu peningkatan literasi digital melalui edukasi masif kepada publik agar masyarakat paham risiko dan manfaat penggunaan data pribadi. Masyarakat diedukasi agar selektif memberikan akses data pribadi kepada pihak lain.
Kedua, regulator sektor dituntut lebih sensitif terhadap potensi penyalahgunaan data pribadi. Sebisa mungkin membuat/mendorong regulasi yang menutup celah potensi pelanggaran data pribadi sebelum UU PDP disahkan. Regulasi dapat dibuat secara langsung ataupun melalui pendekatan market conduct melalui asosiasi industri. Ini langkah preventif untuk melindungi publik.
Kebutuhan akses data pribadi memang bisa bervariasi setiap industri. Namun, pengaturan akses data pribadi seharusnya sesuai dengan asas perlindungan data pribadi yang baik sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik.
Ketiga, pemerintah perlu menciptakan/mendorong level playing field yang adil bagi industri daring (Passagi, 2019). Ada industri yang telah diatur dalam mengakses data pribadi dalam rangka perlindungan konsumen, tetapi ada yang belum. Saat ini sebagian pelaku industri dapat mengakses data pribadi secara berlebihan.
Keempat, pelaku industri dituntut lebih kreatif dalam menciptakan dan mengoptimalkan big data. Hasil olahan big data dapat optimal dihasilkan melalui cara-cara kreatif, tidak perlu melanggar aturan.
Dengan adanya perlindungan data pribadi yang memadai, dunia bisnis daring diharapkan tumbuh optimal dengan dukungan big data tanpa mengganggu/melanggar privasi. Publik juga lebih tenang dan nyaman tanpa harus khawatir data pribadinya disalahgunakan karena adanya hukuman/denda yang berefek jera.
MUNAWAR DEPUTI DIREKTUR DI OTORITAS JASA KEUANGAN
Kompas, 30 September 2019
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Buku Putih Pertahanan Jepang menempatkan China sebagai fokus perhatian di urutan kedua setelah AS. Hal ini mempertegas betapa posisi China semakin penting.
Seperti ditulis harian ini, Sabtu (28/9/2019), untuk pertama kalinya, Buku Putih Pertahanan Jepang menempatkan bagian pembahasan tentang China, tepat setelah Amerika Serikat (AS). Hal ini membuat pembahasan tentang Korea Utara turun ke posisi ketiga, sementara Rusia di urutan keempat.
Dalam buku putih ini disebutkan bahwa China lebih dari 30 tahun mempertahankan pertumbuhan yang tinggi dari anggaran pertahanannya. China dinilai oleh Jepang juga meningkatkan secara cepat dan luas, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, kekuatan militernya dengan fokus pada nuklir, rudal, angkatan laut, serta kekuatan udara.
China disebutkan makin meningkatkan upayanya untuk menguasai area baru pertahanan. Kemampuan China di area siber, misalnya, meningkat sehingga memungkinkan untuk mengganggu jaringan komunikasi musuh. China dinilai pula terus membangun kemampuan di bidang angkasa luar sehingga berkemampuan membatasi upaya musuh dalam memanfaatkan bidang itu.
Kementerian Luar Negeri China merespons peluncuran Buku Putih Pertahanan Jepang. Beijing menyatakan ketidaksenangannya, dan menyebut apa yang dilakukan China selama ini merupakan sesuatu yang normal.
Sebenarnya isu kebangkitan kekuatan militer China bukan hal baru. Seiring perkembangan kemampuan ekonomi negara itu, kekuatan militer China mengalami kemajuan pesat.
Dilaporkan oleh CNN, pada 1 Oktober 2019, bertepatan dengan Hari Nasional negara itu, China akan menggelar parade militer yang menampilkan persenjataan mutakhir karya mandiri bangsa itu. Persenjataan itu antara lain pesawat nirawak canggih yang dapat mengelabui radar mutakhir musuh. Ada pula rudal balistik antarbenua DF-41.
Sekitar 15.000 personel, lebih dari 160 pesawat, dan 580 persenjataan serta peralatan akan menjadi bagian dari kegiatan berdurasi 80 menit itu di Beijing. Tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Nasional untuk memperingati deklarasi berdirinya Republik Rakyat China oleh Pemimpin Mao Zedong pada 1 Oktober 1949.
Setiap negara berhak membangun kekuatan militernya guna memastikan memiliki kemampuan memadai seandainya diserang. Namun, tentu saja, pembangunan kekuatan militer tak bisa dimungkiri dapat memunculkan kekhawatiran negara tetangga. Persenjataan yang kuat dengan jangkauan hingga mencapai negara-negara tetangga, bahkan mungkin lebih jauh dari itu, merupakan sebuah bentuk ancaman tersendiri.
Dalam konteks inilah, dan berbarengan dengan peringatan 70 tahun berdirinya RRC, negara-negara di dunia, terutama di kawasan Asia Pasifik, terus melakukan penilaian terhadap kemunculan China sebagai aktor penting. Dengan kekuatan militernya yang besar, China dinilai perlu untuk terus menunjukkan kepada negara sekitar, terutama di kawasan Asia Pasifik, bahwa kebangkitannya senantiasa memberi kontribusi positif bagi pembangunan kesejahteraan bersama.
Kompas, 30 September 2019
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Sejak dahulu kala orang yang pesimistis biasanya adalah pria uzur yang sulit menerima bahwa masa depan akan lebih baik daripada masa sekarang. Situasi politik, kemakmuran rakyat, moralitas kaum wanita (ya, tak pernah kaum pria), kesopanan, semua tanda perubahan zaman dipelintir sedemikian rupa oleh mereka sehingga mencapai kesimpulan satu ini, "Lebih baik dulu", apakah pada masa "Babe" (Soeharto), zaman "Bung Karno" atau bahkan, zaman Belanda.
Namun, sejak 20-30 tahun, selaras syok perluasan globalisasi, pesimisme sosial mulai mengambil berbagai arahan baru. Kerap mengambil bentuk identitas. Melihat ke belakang, ada orang atau kelompok yang bermimpi memulihkan kebesaran masa lalu agama, suku, atau bangsanya.
Apa yang terjadi? Mengapa pemikiran-pemikiran nonrasional dapat sedemikian mengemuka? Hemat kami, karena merupakan respons—meski respons miring—terhadap guncangan real masyarakat: kemiskinan, urbanisasi tak terkendali, perubahan sistem informasi dan, terutama, perusakan ekologi yang kian meluas.
Semua berubah. Lebih-lebih fenomena ketidakstabilan sosio-politik ini terlihat menggejala di seluruh dunia, sebagai ciri struktural kapitalisme global baru.
Lalu, tiba-tiba, di tengah renungan pesimisris dan mitos politik-religius di atas muncul suara lantang seorang gadis remaja 16 tahun, Greta Thunberg. Gadis Swedia berambut kepang dan berwajah serius ini mula-mula melancarkan aksi mogok sekolah di Swedia. Lalu di seluruh Eropa dan kini di seluruh dunia demi perlindungan lingkungan.
Baginya, masalah utama kita bukanlah pertarungan budaya, bukanlah masalah Timur Tengah atau keunggulan China mendatang, melainkan perusakan Bumi, ibu kita semua. Jadi, perspektifnya langsung global, bukan lokal atau sektarian.
Menariknya juga, dia bukan "guru": dia tidak menumpangi mitos "religius" apa pun. Dia rasional. Dia menggugah kesadaran ekologis dengan merujuk pada kajian ilmu yang terbukti: dia berbicara tentang pemanasan global, perusakan hutan tropis, kenaikan permukaan laut, emisi CO2 yang berlebih dan sebagainya.
Ketika diundang untuk berbicara di PBB, dia dengan blak-blakan menuduh para pemimpin dunia mengabaikan nasib anak-cucunya. Baginya, keengganan para pemimpin sedunia untuk mengambil langkah drastis di dalam bidang ekologi menjadikan mereka pengkhianat impian-impian generasi mendatang.
Kenapa para politikus, para ekonom, dan para futurolog telah dapat sedemikian keliru hingga bisa digurui oleh seorang "anak kecil" seperti itu? Mereka dibutakan oleh jaringan kepentingan yang tidak disadari.
Mereka memang sudah mengetahui bahwa manusia berhadapan dengan masalah ekologi, tetapi mereka tetap meyakini bahwa perusakan lingkungan akan dapat ditanggulangi dengan pengerahan teknologi. Lalu, ilmu dan teknologi mutakhir, seperti artifical intelligence, robotika, nanoteknologi, dan manipulasi genetik bakal membuka peluang kemajuan yang tak terhingga.
Hemat kami, mereka tidak hanya keliru, mereka juga buta: kemajuan ekonomi dan teknologi berasas kapitalis liar tidak hanya menimbulkan perusakan ekologis, tetapi juga melahirkan distorsi sosial yang melandasi gejala politik identitas yang kami kecam di atas.
Di dalam kesemrawutan ini, Greta Thunberg membawa angin segar. Sebagai anak, dia langsung merasakan keadaan fisik di sekitarnya (perubahan iklim, polusi udara, banjir pengungsi, dan lain-lain). Lalu sebagai remaja berpendidikan modern yang aktif di media sosial, dia langsung aktif di lingkungan yang bersifat lintas bangsa. Kebunnya adalah global.
Maka, dengan Greta Thunberg, untuk pertama kali kita melihat suatu gerakan politik besar yang bersifat lintas bangsa bukan hanya di dalam intensinya, tetapi di dalam praktiknya. Baginya, semua fenomena politik yang merisaukan kita selama ini adalah minor dibandingkan dengan masalah yang tunggal ini: Bumi Pertiwi kita sedang sakit. Kita harus menyelamatkannya.
Bravo Greta. Kau menunjukkan kepada kami, orangtua, bagaimana menjadi dewasa. Dan selamat datang di dunia politik, anak-anak. Bumi menanti kasih dan perhatian kalian.
Kompas, 29 September 2019
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Saya duduk dengan tenang sebelum ibadah dimulai. Sejujurnya saya malas sekali hari itu untuk pergi ke rumah ibadah. Tak lama setelah itu, seorang ibu datang dengan suaminya yang duduk di kursi roda.
Keder Mereka terlihat sudah lanjut usia dan duduk tepat di depan saya. Suaminya yang duduk di kursi roda tak bisa duduk dengan tegap sehingga sepanjang kebaktian ia membungkukkan badannya.
Ketika pikiran saya melayang ke mana-mana melihat kondisi dua orang tua itu, seorang ibu memasuki rumah ibadah dengan menuntun suaminya yang dengan susah payah berjalan. Keduanya sudah lanjut usia.
Melihat semua itu, saya sempat berpikir mengapa tiba-tiba saya dikelilingi oleh orang-orang tua yang kondisinya begitu menyengsarakan. Tentunya menyengsarakan untuk mata saya. Saya tak tahu apakah dua wanita itu merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan, sungguh saya tak tahu.
Kalau melihat dari sikap dua wanita itu yang dengan sabar menuntun suaminya, saya berasumsi mereka sudah terbiasa dengan kesengsaraan itu. Dengan demikian, apa yang saya anggap sebagai sebuah hal yang menyayat hati tampaknya tidak berlaku untuk kedua wanita itu.
Saya sendiri tak bisa membayangkan kalau seandainya pasangan saya menderita penyakit seperti itu dan saya harus mendampinginya entah sampai kapan. Melihat dua pria tua yang tak berdaya itu, konsentrasi saya di rumah ibadah itu terpecah-pecah, bahkan bisa dikatakan pecah berantakan.
Ketuaan dua pria itu dan tak berdayanya mereka karena penyakit yang diderita membuat saya keder setengah mati. Dan pertanyaan pertama yang terlintas di kepala adalah "Apakah kejadian itu akan menimpa saya?"
Kalau menjadi tua itu sudah pasti, ketuaan sudah menimpa saya. Sekarang saja orang-orang muda memanggil saya dengan sebutan oom, bapak, dan bukan lagi mas. Panggilan itu saja sudah membuat saya keder. Sudah membuat saya merasa tambah tua meski orang mengatakan yang penting hatinya masih muda.
Maka, di hari Minggu itu, ketika saya sungguh sangat malas untuk beribadah, kedua pasangan lanjut usia itu bisa jadi pemicu mengapa di tengah kemalasan yang sangat, saya masih tetap datang ke rumah ibadah dan duduk di antara manusia lanjut usia itu. Ini benar-benar sebuah peringatan.
Tahan banting Sebuah peringatan untuk menjaga kesehatan. Karena sudah menjadi kebiasaan ketika saya masih sehat, saya berpikir bahwa kejadian tidak sehat tak akan menimpa saya. Ketika saya masih mampu berlari, bekerja, berjalan, mampu melakukan aktivitas dari pagi hingga subuh hari, saya merasa tak perlu untuk berinvestasi pada kesehatan.
Sudah jamak, bahwa penyesalan selalu datang belakangan. Sudah jamak kalau saya baru mau sehat kalau sudah sakit. Saya tak pernah berinvestasi kalau belum sakit, kalau belum melihat kejadian seperti di rumah ibadah itu. Mungkin ada baiknya saya disetrum melalui peristiwa semacam itu.
Sore hari di rumah ibadah itu, saya memohon kepada Yang Mahakuasa untuk memberi saya kesehatan di masa tua dan meninggal tanpa harus sakit bertahun lamanya. Dengan begitu, saya tak perlu sampai harus menyengsarakan kehidupan orang lain. Saya tak tahu apakah permohonan itu dikabulkan.
Kejadian di rumah ibadah itu juga menjadi sebuah peringatan buat saya, untuk menjadi setia dengan pasangan saya dalam suka dan duka. Melihat kedua wanita itu saya dapat membayangkan kesabaran mereka merawat pasangan hidup mereka yang sudah seperti anak kecil. Yang tak berdaya untuk berjalan, tak berdaya untuk bangun, dan mungkin tak berdaya untuk memandikan dirinya sendiri.
Kesetiaan yang diuji pada masa sulit yang entah kapan akan berakhir. Saya yakin pertahanan kedua wanita itu tetap kokoh karena cinta mereka kepada pasangannya. Cinta yang membuat mereka mengambil segala risiko menikahi laki-laki itu apa pun yang terjadi.
Saya tak tahu apakah kedua wanita itu berpikir untuk berselingkuh karena nafkah lahir batinnya tak terpenuhi. Saya tak tahu apakah keduanya menyesal menikahi pasangannya yang sekarang sudah mirip anak kecil. Saya tak tahu apakah mereka kesal terhadap perjalanan hidupnya dan pernikahannya.
Sejujurnya saya tak sanggup untuk melakukan seperti kedua wanita itu. Mereka mengurus suaminya tanpa bantuan siapa pun. Mereka datang ke rumah ibadah itu hanya berdua saja. Tak ada anak, tak ada pengasuh. Mereka yang menuntun pasangannya, mereka yang menyapu air liur suaminya.
Itu sebuah peringatan buat saya, bahwa memiliki sebuah hubungan itu membutuhkan kekuatan lahir dan batin di luar cinta yang besar. Kekuatan yang tak runtuh dalam keadaan apa pun dan tak bisa disesali.
Sore itu sepulang dari ibadah, saya mendapat pelajaran besar bukan dari khotbah sang pendeta, tetapi dari dua wanita lanjut usia yang tegar dan dari dua pria lanjut usia yang seperti anak kecil itu. Peringatan untuk tahan banting tentang keadaan hidup saya, keadaan kesehatan saya, dan keadaan pasangan saya yang buruk, dan tak tahu kapan keadaan itu akan berakhir.
Kompas, 29 September 2019
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Tahun ini menjadi tahun yang penuh tanda tanya bagi para pengelola usaha rintisan (startup) yang telah memiliki valuasi besar untuk menawarkan sahamnya di bursa saham (IPO). Tak hanya itu, eksekutif usaha rintisan di Indonesia juga harus berpikir keras mencari cara bila suatu saat mereka harus menawarkan saham ke publik.
Pangkal masalah ini adalah penawaran saham perdana beberapa usaha rintisan seperti Lyft, Uber, Peleton, yang tak sukses dan tentu rencana penawaran saham WeWork, sebuah usaha rintisan persewaan ruang kantor, yang tergolong amburadul hingga dibatalkan. Valuasi pun mulai dipertanyakan.
Selama pekan lalu penawaran saham usaha rintisan dengan valuasi besar menjadi bahasan berbagai media, termasuk The New York Times dan Financial Times. Selama beberapa hari mereka mengupas berbagai masalah terkait dengan IPO, terutama rencana IPO WeWork yang dibatalkan dua pekan lalu. Publik menyoroti valuasi WeWork yang sangat besar, tata kelola, dan juga pribadi CEO WeWork Adam Neumann. Tak ada rincian lebih detail mengenai tata kelola dan persoalan personal Adam.
Pada pekan lalu publik dikejutkan dengan kabar minat investor yang rendah terhadap saham WeWork ketika mereka melakukan pertemuan dengan beberapa investor dan kalangan bank sebelum IPO. Mereka mempertanyakan valuasi WeWork yang mencapai 47 miliar dollar AS serta kelangsungan model bisnis serta pengelolaan beban jangka panjang dan penerimaan jangka pendek.
Induk perusahaan itu We Company langsung menurunkan valuasi sekitar 10 miliar dollar AS – 20 miliar dollar AS. CEO WeWork Adam Neumann diminta mengundurkan diri. Istrinya, Rebekah, juga dilarang untuk menggantikannya secara permanen karena tekanan investor. Beberap hari lalu akhirnya Adam mengundurkan diri.
Penawaran saham perdana yang telah dilakukan oleh beberapa usaha rintisan tahun ini yang ternyata buruk membuat usaha rintisan lain ragu-ragu untuk melakukan penawaran saham pada tahun ini. Secara rata-rata saham mereka turun hingga 28 persen sejak dilepas ke publik.
Beberapa usaha rintisan lebih berhati-hati ketika hendak melantai. AirBnb mengatakan mereka tak akan menawarkan saham hingga 2020. Langkah ini lebih lambat dari rencana semula. Usaha rintisan di penambangan data Palantir Technologies mengatakan pihaknya belum akan menawarkan saham dalam beberapa tahun ini setelah mereka mendapat pendanaan dari investor privat.
Kejadian di Amerika Serikat ternyata mendapat perhatian para investor di Asia Tenggara. Laman Nikkei Asian Review melaporkan, dua pekan lalu kalangan investor bertemu di Singapura dan membahas persoalan mereka karena dana besar sudah digelontorkan di Asia Tenggara.
Mereka membahas tren dan tantangan usaha rintisan di wilayah itu. Salah satu persoalan adalah tentang valuasi. Banyak uang masuk ke Asia Tenggara yang meningkatkan valuasi usaha rintisan. Salah satu investor mengingatkan, apa yang terjadi bila kasus Uber dan WeWork terjadi di kawasan Asia Tenggara?
Mereka juga mulai mengingatkan valuasi yang gila-gilaan yang dilakukan oleh usaha rintisan setelah menerima pendanaan dalam jumlah besar. Analis meminta agar investor berhati-hati berinvestasi besar-besaran di perusahaan yang belum teruji. Analis lain mengatakan valuasi usaha rintisan di Asia Tenggara dan India dinilai terlalu cepat membesar sehingga pada masa depan investor perlu lebih memilih-milih usaha rintisan untuk berinvestasi. Mereka juga mengingatkan para investor agar tidak terjebak ke dalam valuasi tetapi juga pada model bisnis yang dapat berjalan terus.
Jebakan yang sangat mungkin muncul dari nafsu besar para investor agar usaha rintisan cepat-ceoat bernilai di atas satu miliar dollar AS atau menjadi unicorn. Untuk itu mereka diminta tak perlu buru-buru menjadiunicorn. Predikat itu juga tak perlu membuat publik terkagum-kagum karena pada ujungnya adalah bisnis yang menghasilkan profit yang dinilai sehat dan memberi harapan pada masa depan.
Kalangan usaha rintisan di Indonesia mengakui mencermati fenomena di Amerika Serikat itu dan mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang menimpa sejumlah usaha rintisan. Mereka melihat banyak persiapan yang harus dilakukan oleh usaha rintisan sebelum mereka menawarkan saham.
Persoalannya tak semata pada valuasi saja tetapi juga citra dan tata kelola usaha rintisan yang bisa dipertanggungjawabkan. Persoalan personal CEO ternyata juga dilihat investor sebagai salah satu penentu. Mereka tengah memperbaiki persoalan-persoalan mendasar ini dan memastikan model bisnisnya. Mereka lebih menyadari cara-cara mencapai pertumbuhan.
Kompas, 29 September 2019
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.