Protes dan unjuk rasa terjadi di sejumlah tempat. Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang "dipaksakan" disahkan oleh DPR dan Presiden Jokowi menjadi titik awal protes itu. Dengan segala masalah yang dihadapinya, KPK adalah simbol harapan. Merevisi UU KPK dengan cepat dikonstruksikan sebagai pelemahan badan antikorupsi tersebut. Di sinilah sebenarnya terjadi pertarungan narasi dan pertarungan "narator". Kredibilitas pembawa pesan ikut memengaruhi.
Protes melebar. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan DPR, 24 September 2019, juga menjadi sumber protes dan penolakan. Dalam kasus RKUHP, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly untuk menunda pengesahan RKUHP. Presiden meminta agar substansi kontroversial dalam RKUHP dibahas DPR periode berikutnya. Situasi politik di Tanah Air kian gaduh disertai penyebaran konten melalui media sosial ataupun grup percakapan di Whatsapp (WA). Ada isu Papua di sana.
Kegaduhan demokrasi terjadi menjelang berakhirnya DPR pada 30 September 2019. Pada Selasa, 1 Oktober 2019, wajah DPR berganti dengan anggota baru. Anggota DPR dan DPD yang dipilih dalam Pemilu 17 April 2019. Dalam bulan Oktober juga (20 Oktober 2019), Presiden Jokowi-Wakil Presiden Ma'ruf Amin akan dilantik. Selanjutnya, publik menantikan wajah kabinet baru.
Unjuk rasa dan protes di sejumlah daerah bisa saja dipersatukan oleh satu isu bakal terkekangnya kebebasan sipil dan isu pelemahan KPK. Namun, bisa juga terjadi, ada ruang politik yang belum selesai dinegosiasikan. Kita berharap negosiasi antarelite untuk formasi pimpinan lembaga negara, sirkulasi elite di lingkungan partai politik, bisa segera dituntaskan. Dalam politik memang jarang ada sebuah rangkaian peristiwa terjadi serba kebetulan.
Para elite penyelenggara negara seharusnya memahami generasi muda yang always online. Kelompok ini akan dengan cepat mengakses informasi dan dengan cepat pula menyebarkan informasi, tanpa memverifikasi kualitas informasi itu. Narasi dan kontra narasi menjadi penting untuk disampaikan ke ruang-ruang publik.
Kita berharap aparat kepolisian tetap menjaga kebebasan berpendapat ataupun protes yang disampaikan pengunjuk rasa. Kemungkinan terjadi aksi kekerasan sebisa mungkin dihindari. Pemrotes juga harus memahami saluran demokrasi yang disediakan untuk melancarkan protes. Protes harus tetap dilancarkan dalam koridor demokrasi. Jangan pernah ada pikiran untuk melakukan aksi yang melawan demokrasi, karena itu akan mematikan demokrasi itu sendiri.
Demokrasi haruslah dipahami sebagai satu-satunya aturan main untuk meraih kekuasaan. Periodisasi demokrasi pelantikan anggota DPR dan Presiden harus tetap berjalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar