KOMPAS/RIZA FATHONI

Petugas medis membawa perusuh yang terluka ke ambulans di Jalan KS Tubun, Petamburan, Jakarta Pusat, Rabu (22/5/2019). Kerusuhan pecah di sejumlah titik di kawasan Tanah Abang, Petamburan dan Slipi.

Temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia soal kerusuhan 21-23 Mei 2019 menjadi utang sejarah jika berhenti hanya sebagai rekomendasi.

Seperti diberitakan harian ini, 29 Oktober 2019, Komnas HAM menemukan indikasi penembak yang menyebabkan korban tewas dalam kerusuhan 21-23 Mei 2019 merupakan orang profesional dan terlatih. Akan tetapi, Komnas HAM menegaskan, pelakunya bukan dari kepolisian.

Kerja Komnas HAM haruslah dihargai. Publik punya hak untuk mengetahui (right to know) apa yang sebenarnya terjadi di balik kerusuhan 21-23 Mei 2019. Kerusuhan diawali dengan unjuk rasa damai di Gedung Badan Pengawas Pemilu untuk memprotes hasil Pemilu 17 April 2019. Unjuk rasa damai itu berujung kerusuhan di sebagian wilayah di sekitar Jalan MH Thamrin.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Para perusuh merobohkan pagar pemisah jalan untuk memblokir Jalan KS Tubun, Petamburan, Jakarta Pusat, Rabu (22/5/2019). Kerusuhan pecah di sejumlah titik di kawasan Tanah Abang, Petamburan dan Slipi.

Temuan Komnas HAM soal kerusuhan Mei 2019 sebenarnya tak jauh berbeda dengan rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan 12-14 Mei 1998. Rekomendasi TGPF Kerusuhan Mei 1998 juga menemukan adanya kelompok terorganisasi, kelompok terlatih dalam pergumulan elite politik pada Mei 1998. Namun, sayangnya publik tidak pernah mendapatkan informasi, siapa kelompok terorganisasi dan siapa kelompok terlatih di balik kerusuhan Mei 1998 maupun kerusuhan Mei 2019.

Di tingkat elite, rekonsiliasi boleh dibilang sudah terjadi. Rival Presiden Joko Widodo dalam Pemilu Presiden 17 April 2019 telah diangkat Presiden Jokowi sebagai Menteri Pertahanan. Sebuah jabatan strategis. Namun, kita tetap menginginkan kegelapan sejarah kerusuhan Mei 2019 harus diungkap. Publik dan keluarga korban tetap berhak mengetahui siapa penembak terlatih yang menembak korban. Posisi korban juga perlu diperjelas, apakah mereka pengunjuk rasa atau memang perusuh dan siapa yang menggerakkannya?

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Menteri Pertahanan Kabinet Indonesia Maju, Prabowo Subianto, melakukan inspeksi pasukan dalam upacara penyambutan serah terima jabatan Menteri Pertahanan dari pejabat sebelumnya Ryamizard Ryacudu kepada Prabowo Subianto di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis (24/10/2019). Turut hadir dalam acara tersebut sejumlah pejabat negara antara lain Menkopolhukam Mahfud MD, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.

Masa-masa gelap sejarah, penculikan aktivis 1997, kerusuhan Mei 1998, kerusuhan Mei 2019, dan sejumlah kekerasan lain menjadi catatan gelap sejarah Indonesia. Masa lalu akan selalu menggelayuti perjalanan demokrasi Indonesia ke depan. Meskipun elite telah berangkulan atas nama kekuasaan, menjadi hak rakyat untuk mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi di balik kekerasan-kekerasan berlatar belakang politik tersebut. Elite politik itu meraih kekuasaan adalah karena suara dari rakyat, siempunya kedaulatan.

Presiden Jokowi memikul tanggung jawab sejarah untuk mengungkap kekerasan politik Mei 2019. Ada peluang dan kesempatan bagi Presiden Jokowi untuk mengungkap itu semua. Kekuatan politik yang berada di tangan Presiden Jokowi dengan dukungan lebih dari 74 persen kursi di DPR merupakan modal politik Presiden Jokowi untuk menuntaskan pekerjaan rumah bangsa, menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Presiden Jokowi bisa dibilang sukses dalam pembangunan infrastruktur. Jika ada keinginan dari Presiden Jokowi, bukan tidak mungkin kekerasan politik juga akan bisa diungkap.

KOMPAS/SHARON PATRICIA