Apa sebenarnya masalah mendasar pendidikan kita? Pertanyaan ini tidak pernah kita jawab dengan kepala dingin, padahal jawaban itu seharusnya menjadi pusat dari segala gagasan kita dalam merumuskan kebijakan perbaikan mutu pendidikan.
Selama ini, perubahan kebijakan dan aturan pendidikan lebih berorientasi untuk mengatasi gejala (simtom) ketimbang membidik akar masalahnya. Gejala itu antara lain lemahnya kompetensi lulusan, rendahnya produktivitas dan kualitas karya ilmiah, serta maraknya perilaku tak terpuji semisal korupsi oleh kalangan terdidik.
Berangkat dari pergulatan dan pengalaman menghidupi dunia pendidikan lebih dari 30 tahun, saya cukup yakin bahwa persoalan mendasar pendidikan itu adalah kegagalan kita mengantar anak-anak dan generasi muda berpikir mandiri. Ketidakmandirian berpikir ini sudah sampai pada tahap akut sehingga banyak sarjana tidak berani dan tidak bisa membuat kalimat sendiri. Maraknya plagiasi menjadi bukti nyata rendahnya keberanian dan kemandirian berpikir ini.
Berangkat dari pergulatan dan pengalaman menghidupi dunia pendidikan lebih dari 30 tahun, saya cukup yakin bahwa persoalan mendasar pendidikan itu adalah kegagalan kita mengantar anak-anak dan generasi muda berpikir mandiri.
Fenomena ikutan yang menyesakkan dada adalah maraknya tuntutan memakai perangkat lunak untuk menguji kesamaan (similarity) sebuah dokumen dengan yang telah ada. Tuntutan ini tidak hanya untuk dokumen karya ilmiah, tetapi sudah menyasar pula dokumen laporan umum seperti deskripsi diri dalam portofolio dosen ataupun borang akreditasi.
Bayangkan betapa akutnya persoalan kemandirian berpikir ini apabila untuk menggambarkan dirinya sendiri saja, seorang sarjana tidak mampu dan akhirnya menempuh jalan pintas menjiplak tulisan orang lain.
Ada banyak fenomena serupa di berbagai tingkat. Para mahasiswa sangat kesulitan jika diminta merumuskan sesuatu dengan bahasanya sendiri. Beberapa mahasiswa yang mengerjakan ujian pemrograman komputer berusaha menjawab dengan mengingat teks program di buku ketimbang berusaha merumuskan sendiri algoritma yang tidak begitu rumit.
Pada tingkat pendidikan yang lebih rendah, kita dengan mudah menemukan fenomena bahwa anak-anak kita kehilangan keberanian untuk berpendapat dan mengemukakan masalahnya. Data yang paling kentara adalah rendahnya nilai anak-anak kita menyelesaikan soal yang membutuhkan kemampuan berpikir aras tinggi (higher order thinking) sebagaimana dituntut PISA.
Situasi pendidikan kita yang seperti ini akhirnya mewujud ke dalam kehidupan sekolah yang cenderung tidak bergairah, formalistik, dan tidak kontekstual dengan lingkungan dan keseharian hidup peserta didik. Akhirnya, anak-anak di sekolah kehilangan kegembiraan, antusiasme, otentisitas, kepercayaan diri, dan tanggung jawab. Ini semua bermula dari mandeknya keberanian berpikir mandiri alias merdeka berpikir.
Situasi pendidikan kita yang seperti ini akhirnya mewujud ke dalam kehidupan sekolah yang cenderung tidak bergairah, formalistik, dan tidak kontekstual dengan lingkungan dan keseharian hidup peserta didik.
Ketakutan untuk berpikir mandiri ini sangat fatal karena telah bermuara pada lahirnya generasi yang tidak percaya diri, takut bersikap, mudah dimanipulasi, dan tumpul potensi uniknya. Generasi seperti itu akan kurang kreatif, tidak berani berusaha mandiri yang memang penuh risiko, serta kurang kritis terhadap realitas sekitar hidupnya. Yang lebih mengkhawatirkan adalah rentannya mereka untuk dimobilisasi secara politis karena lemahnya kemampuan berpikir kritis.
Kenyataan pahit dunia pendidikan kita ini terasa makin pahit jika kita tempatkan dalam konteks perkembangan zaman ini, yang menuntut lahirnya insan muda yang kreatif dan inovatif. Bagaimana mungkin kreativitas dan inovasi dapat tumbuh dari generasi yang tidak berani berpikir sendiri? Sebenarnya tidaklah sulit merunut penyebab terjadinya kenyataan memilukan ini.
Sistem politik yang represif dan sentralistik di era Orde Baru telah membawa pendidikan kita lebih mengabdi kepada penguasa ketimbang kepada anak didik. Ini terjadi karena pemerintahan yang represif akan memilih kebijakan penyeragaman demi memudahkan pengendalian dan pengawasan.
Hasilnya, para guru tidak berani berpikir dan bertindak mandiri karena takut dan lebih aman jika patuh mengikuti petunjuk atasan. Profesi keguruannya perlahan tergerus hingga berubah menjadi sekadar aparatur yang bekerja atas dasar perintah dan petunjuk.
Ketakutan untuk berpikir mandiri ini sangat fatal karena telah bermuara pada lahirnya generasi yang tidak percaya diri, takut bersikap, mudah dimanipulasi, dan tumpul potensi uniknya.
Meskipun masa reformasi telah kita nikmati lebih dari 20 tahun, peran utama pemerintah tidak banyak beranjak dari paradigma pengendalian dan pengawasan ke pemberdayaan.
Gagasan besar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang mengusung tema "Merdeka Belajar" memang dapat menjadi awal yang baik bagi reformasi pendidikan kita. Akan tetapi, tema tersebut belum menyasar kepada akar persoalan yang ada.
Lagi pula, saat ini kemerdekaan belajar itu tidak menemui hambatan karena internet menyediakan segala macam pengetahuan. Pokok persoalannya adalah tiadanya kebutuhan dan keberanian untuk berpikir mandiri.
Belajar memang sesuatu yang kompleks sehingga keberhasilannya bukan pertama-tama terkait perkara teknis seperti ketersediaan bahan ajar dan guru. Semangat belajar adalah perkara sikap diri dan suasana hati karena berkorelasi positif dengan keingintahuan, kepercayaan diri, dan optimisme.
Semangat belajar adalah perkara sikap diri dan suasana hati karena berkorelasi positif dengan keingintahuan, kepercayaan diri, dan optimisme.
Oleh karena itu, peristiwa belajar akan berkembang jika dunia pendidikan mampu menumbuhkan tiga sikap ini. Salah satu prasyarat berkembangnya tiga sikap ini adalah adanya kebebasan berpikir dan mencoba serta keterbukaan menerima ketidakberhasilan ataupun kekeliruan.
Kebijakan pendidikan yang reformatif, mendasar, dan berorientasi jangka panjang haruslah bertujuan untuk mengembalikan ekosistem "merdeka berpikir" di sekolah. Kemerdekaan berpikir itu pertama-tama harus dimiliki oleh para guru dan dosen.
Hal ini mengandaikan terjadinya perubahan paradigma pemelajaran dari yang bersifat mempelajari sesuatu menjadi mengkritisi sesuatu. Belajar harus beranjak lebih dari sekadar menguasai pengetahuan yang sudah jadi menuju pencarian berbagai kemungkinan atau alternatif baru.
Lahirnya guru dan dosen yang memiliki kemerdekaan berpikir membutuhkan sistem administrasi pendidikan yang sederhana, fleksibel, dan menghargai keunikan institusi pendidikan. Untuk itu, otonomi luas harus diberikan kepada sekolah dan kampus. Otonomi luas itu bukan hanya sesuai dengan realitas keberagaman keadaan sekolah dan kampus di Indonesia, melainkan juga menjadi wujud konkret semboyan Kemendikbud "Tut Wuri Handayani".
Pemberian otonomi luas ini pasti akan menyiksa berbagai pihak yang selama ini lebih menikmati kemapanan dan keengganan berpikir. Hal ini harus kita pahami karena sistem pendidikan kita yang miskin gairah dan inovasi ini merupakan buah dari tiadanya otonomi dan kebebasan, mulai dari urusan administrasi sampai dengan model ujian.
Hanya lewat otonomi luas yang memberikan kemerdekaan guru dan sekolah untuk berpikir dan mendidik dengan kekhasan masing-masing, yang akhirnya mampu mengembalikan roh sejati pendidikan, yakni kejujuran, kegembiraan, kepercayaan diri, dan kreativitas.
Lahirnya guru dan dosen yang memiliki kemerdekaan berpikir membutuhkan sistem administrasi pendidikan yang sederhana, fleksibel, dan menghargai keunikan institusi pendidikan.
Otonomi luas itu berarti pemberian kepercayaan yang cukup kepada guru untuk mengajar sesuai dengan kemampuan dan potensinya serta sejauh mungkin membebaskannya dari beban administrasi. Selain itu, isi kurikulum pendidikan dasar dan menengah perlu dikurangi jenis mata pelajarannya supaya ada cukup waktu untuk memberi pengalaman belajar di bidang bahasa, sastra, dan seni. Bidang ini akan memberi ruang tanpa batas bagi tumbuhnya imajinasi, kreativitas, dan pikiran kritis.
Kompetensi lain yang perlu dikembangkan adalah kemampuan menulis kreatif dan cara berpikir kritis-ilmiah lewat pemecahan masalah kontekstual sehari-hari. Sebagai konsekuensinya, setiap sekolah perlu diberi kebebasan untuk mengembangkan tata kelola kurikulum, pemelajaran, dan organisasi yang sesuai dengan kapasitas dan keunikannya.
Pada jenjang pendidikan tinggi, otonomi luas itu berarti pemberian keleluasaan untuk membuka dan menutup program studi sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pemerintah hanya perlu menetapkan mekanisme pengajuan program studi baru yang disertai syarat minimal ketersediaan sumber daya manusia dan infrastrukturnya.
Sementara itu, pengembangan kemampuan berpikir kritis mandiri dapat dilakukan melalui model pemelajaran berbasis proyek atau kasus. Akan lebih baik jika setiap perguruan tinggi membekali mahasiswanya dengan filsafat ilmu sebagai cara memperkuat fondasi berpikir kritis-ilmiah dalam mengerjakan skripsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar