Jakarta telah menjadi episentrum penyebaran wabah severe acute respiratory syndrome coronavirus2 atau SARS-CoV-2 penyebabcoronavirus disease (Covid-19) di Indonesia. Dari 369 kasus positif Covid-19 di Indonesia per 20 Maret 2020 berdasarkan data BNPB, 215 kasus atau 58,3 persennya terjadi di Jakarta. Dari total 32 pasien yang meninggal, 18 orang atau 56 persennya di Jakarta. Berdasarkan data Pemerintah Provinsia DKI Jakarta, pasien yang positif Covid-19 menyebar hampir merata di seantero Jakarta.
Penambahan kasus positif Covid-19 meningkat dengan cepat dari hari ke hari. Mungkin yang tak terdata lebih banyak lagi karena tak semua yang sakit dengan gejala Covid-19 berobat ke rumah sakit. Warga yang tampak sehat dan tak menunjukkan gejala Covid-19 tetapi sebenarnya sebagaicarrier tentu lebih banyak lagi. Mereka bisa jadi masih berkeliaran, menularkan virus ke orang-orang di sekelilingnya, yang mungkin rentan sehingga berisiko fatal.
Kita tentu tak ingin seperti Italia, yang kewalahan merawat warganya yang sakit terpapar korona (corona) dengan jumlah yang meninggal mencapai 3.405 orang, terbanyak di dunia. Sebagian yang meninggal akibat tak terlayani dengan baik karena rumah sakit tak cukup lagi menampung pasien.
Italia mengalami hal itu karena sebelumnya banyak warga Italia yang tak memedulikan penyebaran virus korona. Mereka masih melakukan aktivitas seperti biasa, bekerja seperti biasa di kantor, bersekolah, dan kumpul-kumpul. Semua belum sadar, daya tular dan daya sebar virus korona sangat luar biasa, tak hanya melalui paparan droplet orang yang terjangkit, tetapi juga melalui benda-benda yang terpegang.
Jika Indonesia, terutama Jakarta, tak ingin seperti Italia, jelas harus diambil langkah ekstrem sebelum semuanya terlambat. Sebaiknya tak ada lagi pergerakan orang dari rumah ke kantor kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat urgen saat ini seperti perawat dan pekerja logistik yang mendistribusikan bahan pangan.
Kini sebaiknya semua orang harus beraktivitas, bekerja, belajar, dan beribadah di rumah masing-masing. Dengan demikian, moda transportasi umum tak lagi diperlukan sehingga bisa dihentikan operasionalnya mengingat moda transportasi umum menjadi salah satu sumber penularan Covid-19 yang masif.
Namun, tentu saja, pekerja tak bisa tinggal di rumah jika perusahaan dan pabrik-pabrik masih terus beroperasi. Agar warga bisa berdiam di rumah masing-masing, seluruh aktivitas ekonomi di Jakarta mesti dihentikan, sekurangnya dua minggu.
Aktivitas ekonomi dan upaya pencegahan Covid-19 adalah dua hal yang saling menegasikan. Aktivitas ekonomi membutuhkan mobilitas pekerja dan beroperasinya sarana produksi seperti pabrik. Padahal, keduanya merupakan sumber penyebaran Covid-19 karena mengharuskan orang berkumpul dan berkerumun.
Pengurangan setengah-setengah aktivitas ekonomi, seperti yang terlihat di Jakarta saat ini, juga akan setengah-setengah menghentikan penyebaran Covid-19, yang berarti akan memperpanjang wabah ini menyelimuti Jakarta. Sebaliknya, penghentian total aktivitas ekonomi akan mempercepat wabah Covid-19 berakhir. Jadi, ketimbang situasi makin memburuk, lebih baik kita hentikan total aktivitas ekonomi.
Jika Indonesia, terutama Jakarta, tak ingin seperti Italia, jelas harus diambil langkah ekstrem sebelum semuanya terlambat. Sebaiknya tak ada lagi pergerakan orang dari rumah ke kantor kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat urgen saat ini seperti perawat dan pekerja logistik yang mendistribusikan bahan pangan.
Presiden Joko Widodo sebenarnya telah mengatakan kini saatnya semua bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun secara tertulis pada Jumat (20/3/2020) telah menyerukan agar perusahaan-perusahaan di Jakarta menghentikan sementara kegiatan perkantoran dan fasilitas operasionalnya serta melakukan kegiatan berusaha dari rumah selama 14 hari sejak seruan disampaikan.
Namun, pemerintah sepertinya masih mengharapkan kedua-duanya bisa berjalan beriringan; wabah Covid-19 bisa ditangani dengan baik tetapi juga aktivitas ekonomi tetap berjalan meskipun melambat. Pasalnya, pemerintah baru sebatas mengimbau dan tidak tegas memerintahkan perusahaan-perusahaan untuk menyuruh seluruh karyawannya bekerja di rumah.
Alhasil, meskipun turun lebih dari 50 persen dari kondisi normal, moda-moda transportasi umum pada hari kerja masih dipenuhi penumpang, sebagian besar merupakan para pekerja yang menuju kantor.
Jika aktivitas ekonomi berhenti, sebenarnya apa konsekuensinya? Tentu saja kerugian. Perusahaan-perusahaan akan merugi karena omzet penjualan menurun. Pelaku usaha terutama usaha mikro dan informal juga akan merugi karena tak bisa lagi berjualan di kawasan kantor atau sekolah. Namun, sebenarnya seberapa rugikah kita jika aktivitas ekonomi di Jakarta dihentikan?
Bukankah ada pemerintah yang bisa memainkan perannya agar kerugian perusahaan bisa diminimalisasi sehingga tak perlu melakukan PHK dan bisa memberikan bantuan kepada usaha mikro dan informal yang terdampak. Jika dihentikan, roda ekonomi tentu akan berputar lagi pada waktunya.
Pada 2019, produk domestik regional bruto DKI Jakarta sebesar Rp 2.840,83 triliun. Jika dibagi per hari, PDRB Jakarta sebesar Rp 7,78 triliun. Apabila aktivitas ekonomi dihentikan selama dua minggu atau 14 hari, PDRB yang hilang sebesar Rp 108,9 triliun. Apa artinya? Meskipun PDRB menguap sebesar Rp 108,9 triliun, perekonomian Jakarta pada 2020 akan tetap tumbuh karena delta pertambahan PDRB Jakarta rata-rata Rp 200 triliun per tahun.
Sektor-sektor besar di Jakarta antara lain perdagangan dan reparasi kendaraan (17,14 persen), industri pengolahan (12,21 persen), konstruksi (11,61 persen), jasa keuangan (10,5 persen), serta informasi dan komunikasi (8,1 persen). Sektor-sektor vital seperti perdagangan untuk sementara bisa dikendalikan pemerintah pusat. Adapun industri pengolahan untuk sementara bisa dialihkan ke daerah lain. Adapun pasar keuangan dan perbankan tetap bisa berjalan melalui online.
Perekonomian nasional pun akan tetap tumbuh meskipun aktivitas ekonomi di Jakarta dihentikan. Jakarta memang pusat keuangan Indonesia, tetapi porsi PDRB-nya terhadap PDB nasional hanya 17 persen.
Pada 2019, PDB nasional mencapai Rp 15.883,9 triliun dengan delta pertambahan PDB mencapai Rp 1.046 triliun. Dengan demikian, hilangnya PDBR Jakarta sebesar Rp 108,9 triliun hanya akan menggerus sekitar 10 persen pertumbuhan ekonomi nasional.
Sebagai ilustrasi, jika target pertumbuhan ekonomi 2020 sebesar 4,5 persen, penghentian aktivitas ekonomi di Jakarta selama dua minggu akan menggerus pertumbuhan sebesar 0,45 persen poin sehingga menjadi 4,05 persen, masih jauh dari resesi. Pemerintah pun saat ini masih optimis pertumbuhan ekonomi 2020 bisa mencapai 4,5 persen dengan adanya wabah Covid-19.
Lalu, bagaimana agar hilangnya PDRB tersebut tidak terlampau merugikan perusahaan, UMKM, dan masyarakat? Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan menghapus Pajak Penghasilan (PPh) karyawan selama enam bulan mulai April 2020.
Artinya, beban perusahaan yang selama ini menanggung PPh karyawan akan berkurang. Pemerintah juga memberikan pengurangan pajak bagi perusahaan itu sendiri. Sektor perbankan pun memberikan keringanan kepada perusahaan yang menjadi debitor untuk merestrukturisasi utang sehingga cicilan bisa diperkecil dengan tenor yang lebih panjang.
Kerugian perusahaan juga bisa ditutup dari berkurangnya biaya-biaya operasional kantor serta uang makan dan transportasi karyawan. Jika perusahaan masih merugi, pemerintah mesti memberikan insentif-insentif lain sehingga akhirnya perusahaan sukarela untuk menghentikan aktivitas bisnisnya di kantor untuk sementara.
Berdasarkan data BPS Jakarta, terdapat 4,54 juta pekerja di Jakarta dengan rincian 3,1 juta merupakan pekerja formal sebagai karyawan, pegawai, dan buruh serta 1,44 juta pekerja informal dan pelaku usaha mikro. Pekerja formal tidak begitu masalah karena berpendapatan tetap. Untuk pekerja informal, pemerintah tentu harus menanggung pendapatannya yang hilang agar pekerja bersangkutan tetap bisa mencukupi kebutuhan keluarganya selama aktivitas ekonomi Jakarta dihentikan, semisal dua minggu.
Misalkan upah minimum regional (UMR) Jakarta sebesar Rp 4,2 juta per bulan atau Rp 2,1 juta per dua minggu. Maka, selama dua minggu tak bekerja, pekerja informal akan kehilangan pendapatan Rp 2,1 juta. Jika pendapatan pekerja informal yang hilang diganti seluruhnya, pemerintah harus menyediakan sekitar Rp 3 triliun dalam bentuk misalnya bantuan langsung tunai.
Dana tersebut bisa diambil dari anggaran infrastruktur yang diproyeksikan sebesar Rp 423,3 triliun dalam APBN 2020. Dalam kondisi saat ini, pembangunan proyek-proyek mercusuar, termasuk untuk pemindahan ibu kota, sebaiknya ditunda atau dihentikan dulu. Lebih bagus dananya digunakan untuk menangani wabah Covid-19, termasuk memberikan insentif tambahan agar perusahaan yang menghentikan kegiatan ekonominya tidak merugi. Sejauh ini, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah akan menganggarkan Rp 118,3 triliun-Rp 121,3 triliun untuk menangani pandemi Covid-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar