Dunia kini sedang dibuat heboh dan panik oleh merebaknya secara masif Covid-19, yang tidak satupun mengetahui kapan wabah tersebut akan berakhir.
Para ahli di negara-negara maju masih berlomba dengan waktu melakukan riset untuk menemukan vaksin khusus yang mampu membasmi wabah Covid-19 itu.
Menurut laporan Universitas Johns Hopkins, hingga hari Rabu (15/4/2020), jumlah korban positif Covid-19 di seluruh dunia mencapai 2.000.065 orang, dan 126.754 diantaranya meninggal dunia.
Musibah merebaknya wabah yang membunuh banyak manusia sudah dikenal sejak era kuno di masyarakat India, Mesir, China, dan Yunani. Kemudian penyebaran wabah ditemukan di benua baru di Afrika dan Amerika melalui gerakan perdagangan dan imigrasi, serta kolonialisme dari Eropa ke benua Afrika dan Amerika.
Masyarakat pada era kuno dan abad pertengahan, di tiap-tiap negara memiliki cara berbeda-beda dalam merespons wabah tersebut. Namun, opsi karantina atau lockdown selalu menjadi opsi terbaik dalam menghadapi penyebaran wabah, ketika ilmu kedokteran atau farmasi belum mampu melahirkan atau memproduksi vaksin khusus untuk membasmi atau melawan wabah itu.
Ketika merebak wabah Covid-19 yang bermula dari Kota Wuhan, China pada Desember lalu, kemudian menyebar ke seluruh dunia saat ini, opsi karantina masih terbaik untuk berlindung, tatkala vaksin khusus masih belum ditemukan sampai saat ini.
Sejarah seperti berulang lagi. Lebih dari 1.300 tahun lalu, manusia telah mengenal dan melalukan praktik karantina ketika merebak wabah saat itu. Yakni persisnya tatkalah Khalifah Umawi ke-6, Walid bin Abdul Malik, tahun 705 M – 715 M, menginstruksikan pembangunan rumah sakit pertama di Kota Damaskus, Suriah dan memerintahkan mengisolasi para korban terinfeksi wabah saat itu dari orang-orang sakit lainnya di rumah sakit tersebut.
Khalifah Walid bin Abdul Malik saat itu memberi pengobatan gratis dan mendatangkan dokter-dokter terbaik untuk mengobati para pasien positif terinfeksi wabah.
Maklum, barangkali perkembangan ilmu kedokteran dan farmasi masih sangat sederhana pada tahun 705 M – 715 M, yang tidak mampu menghadapi wabah saat itu, sehingga opsi lockdownmenjadi satu-satunya pilihan untuk mencegah jatuhnya korban yang lebih besar lagi.
Lebih dari enam abad atau baru 633 tahun kemudian, Eropa mengenal dan mempraktikkan karantina ataulockdown ketika merebak wabah besar di benua itu pada tahun 1348 M, yang menewaskan sekitar 20 juta penduduk Eropa saat itu, dan disebut wabah maut hitam.
Pemerintah Italia saat itu mengintruksikan untuk pertama kalinya pemberlakuan lockdown atas kota Venesia dan kota-kota lain di Italia selatan untuk membendung penyebaran wabah.
Para penumpang kapal-kapal di pulau-pulau sekitar kota Venesia diisolasi selama berhari-hari untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi wabah, sebelum mereka diizinkan berlabuh di kota Venesia.
Jatuhnya korban yang sangat besar akibat wabah maut hitam di Eropa saat itu, lantaran ilmu kedokteran atau farmasi di Eropa kala itu belum mampu menghadapi wabah maut hitam tersebut.
Akhirnya praktik lockdown juga ditempuh Eropa saat itu untuk mencegah jatuhnya korban lebih besar lagi akibat wabah maut hitam tersebut.
Sejumlah sejarawan menyebut, pasca wabah maut hitam di Eropa itu lalu segera disusul kebangkitan Eropa mulai abad ke-14 M yang membawa kemajuan ilmu pengetahuan di benua itu, termasuk ilmu kedokteran dan farmasi.
Opsi karantina yang dilakukan Eropa saat merebak wabah maut hitam, kemudian disusul kebangkitan Eropa, termasuk dalam ilmu kedokteran, tidak terjadi begitu saja atau berdiri sendiri.
Banyak sejarawan menyebut, ilmu karantina atau lockdown yang dipraktikkan saat merebaknya wabah maut hitam di Eropa dan lalu disusul kebangkitan ilmu kedoteran di benua itu, berkat terjadinya transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dari dunia Arab yang lebih dulu maju saat itu, ke Eropa.
Bangsa Arab pernah meraih kejayaan atau masa keemasan selama tujuh abad, dari abad ke-7 M hingga abad ke-14 M. Pasca abad ke-14 M sampai saat ini, giliran bangsa Eropa yang mengalami kejayaan.
Sejarah mencatat ada tiga jalur transfer ilmu pengetahuan dari dunia Arab ke Eropa yang membawa kebangkitan Eropa mulai abad ke-14 M itu. Pertama, jalur pulau Sisilia - Italia Selatan, yang pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan hingga jatuhnya pulau Sisilia ke tangan raja Norman pada akhir abad ke-11 M.
Banyak pelajar dari Eropa menimba ilmu di pulau Sisilia, dan kemudian terjadi penerjemahan besar-besaran berbagai cabang ilmu pengetahuan dari bahasa Arab ke banyak bahasa Eropa, seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dan lain-lain.
Kedua, jalur Andalusia (Spanyol selatan sekarang), yang juga pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan selama tujuh abad, abad ke-7 M hingga abad ke-14 M.
Kota Granada, Seville, dan Cordova di Andalusia saat itu menjadi tujuan belajar para pelajar dari Eropa. Di Andalusia, terdapat para dokter Arab Muslim terkenal yang menjadi tempat belajar para pelajar dari Eropa, seperti Abu Al Qasem al Zahrawi (wafat 1013 M), Marwan Bin Zahr (wafat 1160 M), Ibn Khatib (wafat 1379M).
Ketiga, terjadinya perang salib (1096 M - 1272M), yang mengantarkan orang Eropa mendapat kesempatan banyak belajar dari orang Arab, saat terjadi interaksi pada masa peperangan itu.
Melalui proses membaca dan belajar dari buku-buku karya ilmuwan Arab Muslim di pulau Sisilia dan Andalusia, para pelajar Eropa mengetahui informasi tentang praktek karantina atau lockdown di kota Damaskus saat merebaknya wabah pada tahun 705 M – 715 M dan dasar-dasar ilmu kedokteran karya para ilmuwan Arab Muslim, khususnya karya Abu Bakar al Razi (wafat 925 M) dan Ibn Sina (980 M- 1073M).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar