Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 16 April 2020

PANDEMI COVID-19: ”Total Lockdown”, ”Micro-lockdown”, ”Social Distancing” (SULFIKAR AMIR)


KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Spanduk bertuliskan "Karang Bedil Lockdown" terlihat di salah satu pintu masuk Lingkungan Karang Bedil, Kecamatan Mataram, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, seperti terlihat Senin (30/3/2020).

The secret of crisis management is not good vs bad, it's preventing the bad from getting worse (Rahasia manajemen krisis itu bukanlah baik vs buruk, tetapi mencegah yang buruk semakin memburuk).

Andy Gilman

Saat ini, pandemi Covid-19 di Indonesia sudah menelan 399 jiwa dengan 4.557 kasus (per 13 April). Jumlah ini relatif sedikit dibandingkan Italia dan Amerika Serikat, dua negara industri maju yang harus bertekuk lutut akibat penularan virus korona. Namun, ada dua hal mengapa Indonesia sangat mengkhawatirkan.

Pertama, angka itu tidak mencerminkan realitas akibat telatnya dan terbatasnya kemampuan Indonesia untuk melakukan pengetesan. Kedua, saat ini Indonesia salah satu negara dengan tingkat kematian (case fatality rate) yang paling tinggi akibat kesenjangan jumlah kasus dengan kapasitas rumah sakit.

Ada dua tahap dalam menghadapi pandemik Covid-19: mitigasi dan supresi. Mitigasi dilakukan ketika virus baru muncul. Respons yang dilakukan untuk mengurung (containment) penyebaran virus melalui contact tracing. Jika penyebaran terjadi di komunitas lokal (local transmission), itu berarti mitigasi gagal.

Respons selanjutnya adalah supresi atau penekanan jumlah kasus agar tidak melewati kapasitas maksimum rumah sakit yang tersedia. Respons ini mengikuti model "flatten the curve" dari Center for Disease Control and Prevention (CDC) AS.

Ada dua tahap dalam menghadapi pandemik Covid-19: mitigasi dan supresi.

Dari pengalaman beberapa negara, ada dua strategi untuk menekan jumlah kasus agar tidak melonjak. Pertama adalah social distancing (pembatasan sosial) yang bertujuan mengurangi kontak fisik antarmanusia.

Konsep social distancing diperkenalkan pertama kali di AS saat pandemik flu Spanyol tahun 1918. Semua negara di dunia saat ini melakukan kampanye social distancing secara masif. Pada tingkat tertentu, social distancing dilakukan dengan menutup sekolah, kampus, dan pusat keramaian publik. Warga dianjurkan tetap tinggal di rumah.

Masalahnya, efektivitas social distancing tergantung derajat kepatuhan sosial (social compliance). Di masyarakat dengan budaya kontak sosial yang kuat, kampanye social distancing kurang efektif. Terlebih lagi jika social distancing berdampak bagi mereka yang hidupnya bergantung pada penghasilan sehari-hari.

Ketika kampanye social distancing tidak berhasil menurunkan jumlah kasus, pilihan berikutnya lebih ekstrem: penutupan wilayah dari arus masuk keluar manusia dan pengurangan aktivitas warga di luar rumah dengan enforcement. Ini yang populer dengan istilah lockdown, dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan (2018) disebut Karantina Wilayah.

Lockdown biasanya dilakukan di wilayah perkotaan yang menjadi episentrum penyebaran penyakit. Kelebihan lockdown adalah efektivitas yang tinggi untuk mengurangi kontak fisik antarmanusia karena penggunaan aparat keamanan. Ini terbukti di Wuhan, China, yang berhasil mengurangi jumlah kasus hingga nol setelah ditutup total selama dua bulan.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pengunjung antre untuk membayar di pusat perbelanjaan ritel Hypermart, Kembangan, Jakarta Barat, Kamis (19/3/2020). Manajemen Hypermart sudah menerapkan aturan jaga jarak atau social distancing sejauh 1 meter melalui pemasangan stiker penanda di lantai untuk meminimalisasi penyebaran wabah covid-19.

Namun, strategi lockdown berbiaya sangat mahal. Tidak hanya secara finansial karena pemerintah wajib menyediakan kebutuhan hidup sehari-hari bagi semua warga yang terkena lockdown. Jika tidak dilakukan secara terecana, lockdown dapat mengakibatkan benturan, baik sesama warga maupun warga dan pemerintah. Artinya, kebijakan lockdown memiliki konsekuensi politik serius.

Peran penting komunitas

Konsep yang saya usulkan untuk Indonesia, khususnya untuk Jakarta sebagai episentrum Covid-19, adalah micro- lockdown. Ini adalah jalan tengah antara social distancing dan total lockdown. Disebut micro-lockdown karena berbasis komunitas mikro. Seperti yang dicanangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di dokumen Managing Epidemics, komunitas berada di garis terdepan dalam mendeteksi dan menangani wabah.

Komunitas adalah lapisan sosial yang terkena langsung dan karena itu memiliki peran penting dalam mengantisipasi epidemi. Ini diperkuat dengan hasil penelitian bahwa ketahanan bencana di Indonesia berada pada tingkat komunitas.

Jika total lockdown adalah penutupan seluruh wilayah secara penuh, micro-lockdown adalah penutupan yang dilakukan pada unit sosial yang lebih kecil secara paralel. Untuk konteks Jakarta, micro-lockdown dapat dilakukan pada tingkat kelurahan. Setiap kelurahan melakukan penutupan wilayah masing-masing pada saat bersamaan.

Kelurahan menjadi sumber penyebaran informasi dan kebutuhan sehari-hari yang disediakan oleh pemerintah. Pada volume terbatas, aktivitas sehari-hari masih berlangsung dan pihak kelurahan terus melakukan kampanye social distancing secara mandiri.

Jika total lockdown adalah penutupan seluruh wilayah secara penuh, micro-lockdown adalah penutupan yang dilakukan pada unit sosial yang lebih kecil secara paralel.

Ada tiga kelebihan micro-lockdown. Pertama, strategi ini lebih murah secara finansial karena selain bantuan pemerintah, anggota komunitas juga saling membantu satu sama lain. Kedua, konsep ini mengurangi risiko konflik vertikal karena terjadi kerja sama antara pemerintah dan masyarakat di tingkat kelurahan.

Ketiga, karena bersifat bottom- up, micro-lockdown akan menguatkan rasa kebersamaan dan budaya berbagi di tingkat akar rumput. Hal ini penting untuk penyembuhan sosial pasca-pandemi.

Apakah micro-lockdown efektif untuk menurunkan jumlah kasus? Khusus untuk Jakarta, kami membuat simulasi komputasional dengan menggunakan pemodelan berbasis agen (agent-based modeling) untuk membandingkan efek micro lockdown dengan social distancing dan total lockdown. Hasilnya, micro lockdown sedikit di bawah total lockdown, tetapi lebih baik dari social distancing.

(Sulfikar Amir Associate Professor dan Pakar Sosiologi Bencana di Nanyang Technological University, Singapura)

Kompas, 14 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger