Sejauh-jauh lidahmu mengembara, akhirnya bertekuk lutut pula pada masakan ibu. Peribahasa ini aku modifikasi dari peribahasa lama yang berbunyi: sejauh-jauh burung terbang, akhirnya pulang ke sarangnya.
Ibu adalah sarang dengan medan magnet paling besar pada hampir seluruh kehidupan seseorang. Ibu bisa berujud raga seorang perempuan, yang secara sabar dan telaten merawat kita selama sembilan bulan berada dalam kandungannya.
Bisa juga berwujud kampung halaman yang pertama-tama mengisi kepala kita dengan folder-folder ingatan masa lalu. Folder yang setiap saat bisa kita akses untuk mengenang pahit getir perjalanan kehidupan.
Setiap pulang kampung, ibu selalu tampak sibuk. Bahkan konon sejak mendengar kabar aku akan pulang kampung, ibu selalu menjadi yang pertama-tama mengingat berbagai menu masakan rumahan yang aku sukai.
Kata adik bungsuku, Sidhi Usadi, ibu sudah memesan ikan bedetan dan daun semanggi dari beberapa orang pedagang di pasar desa kami.
Kau perlu tahu, ikan bedetan sebenarnya sejenis ikan asin yang dibuat dari ikan kocing, nama lokal untuk ikan lemuru. Entah kenapa ikan lemuru (Sardinella lemuru) sejak dahulu seolah hanya bisa ditangkap di perairan Selat Bali.
Uniknya, ikan ini memiliki sebutan yang berbeda-beda tergantung ukuran tubuhnya. Jika hanya memiliki ukuran di bawah 5 cm, ibu dan orang-orang di kampung menyebutnya dengan sempenit.
Ketika panjang badan ikan mencapai 12 cm, lemuru diberi nama protolan. Nah, jika panjangnya mencapai 15 cm ia diberi nama lemuru, sedangkan kalau ukurannya di atas 15 cm sering kali disebut dengan lemuru kocing atau kocing saja.
Banyak kisah bisa dikumpulkan dari kampungku seputar suka-duka ikan lemuru. Ibu pernah cerita, pada suatu masa ia bersama kakek bolak-balik berjalan kaki dari kampung menuju Pantai Pengambengan yang jaraknya mencapai 6 kilometer.
Baca juga: Para Dokter yang Mulia
Waktu itu, katanya, pasir pantai tertutup oleh ikan kocing yang terdampar berkilo-kilometer. Wadah dari bambu yang disunggi ibu sudah penuh sesak oleh kocing.
Begitu pun dungki, wadah dari bambu yang digendong kakek, sudah penuh pula. Seingat ibu, pada tahun 1960-an itu, hampir separuh penduduk desa berlari-lari menuju pantai untuk mengumpulkan ikan kocing.
Mungkin lantaran surplus ikan kocing itulah penduduk desa mengawetkannya dengan membuat bedetan. Kau harus tahu, bedetan tidak persis sama dengan ikan asin pada umumnya.
Setelah kocing dibelah dan tulangnya dihilangkan, ia cukup dilumuri bumbukesuna cekuh. Bumbu ini sebenarnya sebutan untuk kelengkapan racikan rempah-rempah berupa bawang putih (kesuna), kencur (cekuh), kunyit, ketumbar, dan garam.
Setelah dilumuri bumbu, ikan kemudian dijemur selama sehari. Jangan dijemur lebih dari sehari karena daging kocing akan mengeras dan itu justru menghilangkan cita-rasanya sebagai ikan bedetan.
Sesederhana itu. Hasil pengawetan itulah yang kemudian disebut ikan bedetan, yang hanya ada di sekitar Kabupaten Jembrana, daerah kelahiranku. Rasanya sangat khas, paduan antara aroma rempah dan daging ikan kocing yang merebakkan harum laut.
Baca juga: Nyepi Menghentikan Waktu
Aroma laut itu muncul dari sari-sari pitoplankton dan zooplankton yang menjadi makanan utama kocing. Konon, itu jenis plankton yang "hanya" hidup di perairan Selat Bali serta beberapa perairan sekitar Jepang yang membuat kocing bermigrasi di antara alur perairan itu. Itulah yang menyebabkan ikan kocing menjadi ikan khas di Selat Bali.
Tahun 1970-an, samar-samar dalam ingatanku, sebagian besar warga desa bekerja di beberapa pabrik pengalengan dan pengeringan ikan di Pengambengan.
Pada musim ikan kocing di bulan Desember sampai Januari, aroma ikan sampai ke pelosok-pelosok kota Negara, dibawa oleh truk-truk yang mengantar-jemput para pekerja.
Seingatku itulah masa-masa jayanya industri pengalengan ikan di Pengambengan, sebuah desa pantai yang terletak di ujung selatan kota.
"Sekarang susah cari kocing," kata ibu, suatu kali ketika aku dan keluarga pulang kampung untuk mengisi liburan sekolah.
Meski begitu, toh ibu selalu berhasil menyuguhkan bedetan dan jukut semanggi (sayur semanggi). Ini dia! Kau juga harus tahu ada dua jenis jukut semanggi yang selalu disuguhkan ibu.
Pertama, semanggi dibuat menjadi sayur bening dengan bumbu sangat sederhana: cuma bawang putih, kencur, lengkuas, dan batang sereh.
Kedua, dan ini yang teristimewa, ibu memadatkan daun semanggi di atas talam menyerupai kue lapis. Ia kemudian memotong-motongnya seukuran kue itu dan ditaburi kelapa parut berbumbu rempah-rempah yang telah dikukus.
Paduan dua menu inilah yang selalu membuatku kangen kampung halaman. Ada rasa manis yang merembes dari daun semanggi dan kelapa parut kukus. Manis itu kemudian ditonjok langsung oleh harum rempah dan asin ikan bedetan.
Coba kau renungkan sebentar, ini menu kampung yang sangat sederhana wujudnya. Semuanya berasal dari pangan lokal, tetapi amat kaya dengan serat dan protein. Ikan kocing asli "hanya" ada di Selat Bali, lalu daun semanggi banyak tumbuh di sawah-sawah kami. Nah, mau apalagi?
Selama masa pengembaraanku ke berbagai kota untuk melakukan tugas-tugas jurnalistik, belum pernah kujumpai menu masakan serupa, terutama ikan bedetan.
Lidahku sudah merasakan berbagai menu di kota-kota jauh seperti Cannes, Venesia, Moskwa, Athena, Anaheim, Los Angeles, Sydney, Tokyo, Yokohama, Iwate, Seoul, Jeju, Hong Kong, Shanghai, Bangkok, Singapura, Luksemburg, Saint Petersburg, Paris, dan Brussel.
Sebuah survei menyebut misteri masakan ibu itu terletak pada adonan rempah-rempah, bahan pangan lokal, dan cinta kasih yang selalu segar.
Sudah juga menjajal menu-menu tradisional di Jailolo, Banjarmasin, Makassar, Bengkulu, Pekanbaru, Medan, Kupang, Maumere, Larantuka, Samarinda, Balikpapan, Sendawar, Wamena, Jayapura, Ambon, Madura, serta banyak kota di Jawa, tetapi masakan ibu selalu menyimpan misteri.
Sebuah survei menyebut misteri masakan ibu itu terletak pada adonan rempah-rempah, bahan pangan lokal, dan cinta kasih yang selalu segar.
Entah kenapa ibu selalu berhasil menyegarkan cinta kasihnya kepada kami. Selalu ada kejutan yang ia suguhkan atau ceritakan kepada kami ketika pulang kampung.
Suatu hari ia cerita, kini betapa sulitnya memilih semanggi yang bebas dari cemar. Banyak pedagang di pasar desa kami mengeluh tak bisa lagi sembarangan mencari daun semanggi. Pernah ada tetangga desa kami merasa pusing dan muntah setelah menyantap daun semanggi.
Kata ibu, mungkin karena kini sawah-sawah telah secara berlebihan menggunakan pestisida dan pupuk kimia. Pestisida tak hanya membunuh hama, tetapi juga tumbuh-tumbuhan yang jadi sumber pangan rakyat.
Entah kenapa ibu selalu berhasil menyegarkan cinta kasihnya kepada kami.
Selain semanggi, di kampungku ada sejenis selada air bernama gondo. Biasanya gondo juga tumbuh di sela-sela padi, batangnya meluncur seperti batang bambu kecil yang berongga.
Terkadang bahkan batang gondo menyaingi tingginya batang padi. Saat kecil aku senang jika diminta ibu mencari gondo di sawah kami.
Batang-batang gondo yang kecil, jauh lebih lezat kalau ditumis lalu diimbangi dengan sambal terasi bakar. Tanpa lauk seperti ikan atau daging pun, menu ini sudah cukup untuk makan siang kami di kampung.
Gondo kini sudah dibudidayakan oleh petani. Jadi masih mudah ditemui di pasar-pasar desa. Bahkan, di pasar besar seperti Pasar Badung di Denpasar, kita bisa mendapatkan gondo.
Ketika kuliah di Denpasar, malam-malam aku sering ke Pasar Badung bersama sekumpulan penyair "jalanan" seperti Umbu Landu Paranggi, Warih Wisatsana, Tan Lioe Ie, K Landras Syaelendra, GM Sukawidana, Sindu Putra, Made Adnyana Ole, dan Wayan Jengki Sunarta, hanya untuk mencari gondo dan soto babat.
Asal tahu, sayur kegemaran Umbu adalah gondo. Ia bisa makan satu periuk gondo sendirian. Maaf ini rahasia penyair.
Setahuku, sampai kini para petani belum berhasil membudidayakan semanggi. Oleh sebab itu, ia makin sulit didapatkan di pasar-pasar desa.
Begitu juga dengan ikan kocing. Kata ibu, para pedagang ikan mengaku kesulitan mendapatkan kocing ketika kulakan di tepi Pantai Pengambengan.
Aku pikir banyak sumber pangan kita musnah karena anggapan sepele terhadap pangan lokal. Padahal, menurut Ketua Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI) Santhi Serad, pangan lokal justru menjadi kunci ketahanan pangan pada musim pandemi seperti saat ini.
Ketika hampir semua daerah melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di mana jalur distribusi pangan mengalami hambatan, pangan lokal adalah jawaban yang tersedia sejak masa lampau.
"Makan singkong tak berarti primitif atau ketinggalan zaman. Itu justru pangan yang mudah diakses rakyat saat pandemi," kata Santhi.
Jika mengenang kenikmatan pangan lokal yang dibumbui dengan cinta kasih dari ibu dan kenyataan yang kini jauh berbeda, aku selalu trenyuh. Bibir bergetar dan pipiku bersemu merah.
Aneh, aku ingat suara Reda Gaudiamo dan petikan gitar mendiang Ari Malibu, ketika mendendangkan sajak penyair Sapardi Djoko Damono. Saya tutup tulisan ini dengan mengutip sajak berjudul "Di Restoran" dari Sapardi.
Kita berdua saja, duduk
Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput
Kau entah memesan apa
Aku memesan batu di tengah sungai terjal yang deras
Kau entah memesan apa
Tapi kita berdua saja, duduk
Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya
Memesan rasa lapar yang asing itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar