Lini masa berbagai kanal sosial media sejagat hari ini dibanjiri kabar soal "The Reds", julukan Liverpool FC, yang meraih gelar juara Liga Inggris untuk kali ke-19 sepanjang sejarah klub yang berdiri 128 tahun silam itu. Setelah tiga dekade lamanya, melewati tahun-tahun penuh luka dan penderitaan, The Reds akhirnya meraih trofi sepak bola paling bergengsi di Inggris itu.
Gelar juara Liverpool itu tidak terlepas dari kemenangan Chelsea atas rival utama Liverpool, Manchester City, 2-1, pada laga Jumat (26/6/2020) dini hari WIB. Tak pelak, sejumlah orang berkata, gelar juara itu adalah "bantuan" dari Chelsea. "The Blues" dianggap menebus dosa setelah berperan menggagalkan mimpi Liverpool meraih trofi juara Liga Inggris pada musim 2013-2014.
Kala itu, Liverpool tergelincir dari takdirnya menjuarai liga menyusul insiden terpelesetnya Steven Gerrard di laga kontra Chelsea yang diasuh Jose Mourinho. Gelar juara pun dicuri Manchester City secara dramatis di pengujung musim itu. Klaim "bantuan" dari Chelsea ini tentunya menjadi perdebatan dan sulit diterima para pendukung Liverpool.
Bagaimanapun, klaim itu hanyalah bumbu penyedap rivalitas klub-klub di Liga Inggris dan para pendukungnya yang hampir selalu sengit memperdebatkan soal status tim terbaik. Faktanya, yang tidak bisa dinafikan, Liverpool adalah tim terbaik di Liga Inggris pada musim ini. Dalam kamus klub itu dan para "Kopites" aliasfans Liverpool, tidak ada yang namanya gelar juara pemberian.
Toh, seperti diakui Manajer Manchester City Pep Guardiola, beberapa waktu lalu, cepat atau lambat, di musim ini, "Si Merah" bakal juara. Hal itu tidaklah terlepas dari kiprah fenomenal Liverpool pada musim ini. Mereka ibarat kesetanan, berlari kencang sendirian di depan, dan konsisten mendulang poin penuh dari laga ke laga musim ini.
Tak pelak, mereka menjadi juara dengan poin 86 dan margin telak, yaitu 23 poin, dari City di peringkat kedua. Padahal, liga itu masih menyisakan tujuh pekan (matchday) sebelum resmi berakhir. "Si Merah" pun dinobatkan sebagai tim paling ngebutdalam memastikan gelar juara Liga Inggris. Rekor-rekor baru, seperti poin terbanyak dalam sejarah, bahkan siap menanti mereka untuk melengkapi gelar juara itu.
Musim ini, Liverpool memang memasang kacamata kuda di liga. Mereka seperti jera, raihan 97 poin pada musim lalu tidak cukup menjadi juara. Padahal, itu poin tertinggi yang pernah diraih mereka sepanjang sejarah modern Liga Primer Inggris sejak 1992. Cilakanya, City ikut "menggila" dan mengungguli Liverpool di akhir musim itu dengan margin hanya satu poin.
Jadi, gelar juara Liverpool musim ini tidak lain adalah buah kerja keras dan jerih payah mereka. Nilai-nilai ini bahkan telah disampaikan Juergen Klopp ketika diperkenalkan sebagai manajer baru Liverpool pada Oktober 2015 silam. "25 tahun adalah tahun yang lama (terakhir kali juara Liga Inggris). Ini adalah klub besar dengan potensi besar pula. Semua potensi ada di sini. Mari kita mencoba cara baru (mengejar juara)," ungkap Klopp saat perkenalan di depan media, seperti dikutip The Independent, kala itu.
Tidak banyak janji
Itulah gaya khas Klopp. Tidak banyak janji ataupun iming-iming. Padahal, sebelum hijrah ke Inggris, Klopp menuai sukses dalam karier manajerialnya di Jerman. Manajer energik itu membawa Borussia Dortmund meruntuhkan hegemoni tim kaya raya, Bayern Muenchen, dengan mencuri dua trofi juara Liga Jerman beruntun pada 2011 dan 2012. Dengan materi tim yang minim bintang, ia bahkan nyaris mengantarkan Dortmund menjadi juara Liga Champions Eropa pada Mei 2013. Sayang, di final, timnya dikalahkan Muenchen 1-2.
"Di ruangan ini ada yang percaya saya akan membuat keajaiban (di Liga Inggris)? Saya kira tidak. Saya hanyalah pria normal, bahkan pemain yang biasa-biasa saja dulu. Namun, jika saya ada di klub ini selama empat tahun, saya kira kami bakal meraih setidaknya satu trofi," kata Klopp meredam ekspektasi tinggi fansLiverpool yang berharap dirinya bisa menyamai prestasi Jose Mourinho, manajer yang dijuluki "Si Spesial", 2015 silam.
Lima tahun berlalu, Liverpool menapaki perjalanan yang persis disampaikan Klopp saat itu. Tak seperti klub-klub lainnya yang melimpah harta, seperti Chelsea dan Manchester City, gelar juara tidak mereka raih dalam sekejap. Sebaliknya, setahap demi setahap. Pada musim debutnya di Inggris, Klopp membawa The Reds lolos ke final Piala Liga dan Liga Europa. Semuanya berakhir tanpa menjadi juara.
Namun, kedua laga final itu hanyalah permulaan dari proyek besar Klopp dan Liverpool merajai kembali Inggris dan Eropa. Klopp masih kesulitan menemukan keseimbangan di dalam timnya untuk mengadopsi pakem atau kelaziman baru permainan yang disukainya, gegenpressing. Tidak heran, pada musim pertamanya, Liverpool masih labil bak remaja yang tengah mencari jati diri. Di Liga Inggris kala itu pun mereka hanya finis kedelapan.
Adaptasi normal baru
Liverpool saat itu masih kesulitan beradaptasi dengan gaya "normal baru", istilah yang akhir-akhir ini populer di tengah pandemi Covid-19. Pola permainan dengan energi dan intensitas tinggi ala Klopp itu belum bisa konsisten diterapkan karena belum terbentuknya kebiasaan baru ataupun pemain yang kompatibel, baik di lini depan maupun belakang. Tak pelak, pada satu laga, mereka bisa melumat Manchester City 3-0, tetapi di laga lainnya mereka dijungkalkan Watford dan Swansea City.
Proses adaptasi dengan normal baru ala Klopp ini antara lain disampaikan Simon Mignolet dan Lucas Leiva, dua mantan pemain Liverpool, dalam wawancara eksklusif bersama Kompas, Maret 2016. "Kami masih terus belajar (beradaptasi) dengan pola permainan yang diinginkan Klopp. Itu (gayagegenpressing) menuntut intensitas (fisik) dan konsentrasi yang tinggi. Kami harus secepat mungkin merebut bola kembali dari lawan (di lapangan)," tutur Leiva di Melwood, melalui sambungan telepon saat itu.
Seluruh pemain, staf manajemen, hingga fans kini sangat terpacu. Belum pernah terjadi sebelumnya hal seperti ini (perubahan), semenjak saya ada di klub ini.
Tidak sedikit dari pemain Liverpool kala itu yang "kedodoran" menyesuaikan latihan fisik ala Klopp yang porsinya bisa dua kali lipat dari normal atau rezim terdahulu, termasuk di era Brendan Rodgers, manajer yang nyaris membawa Liverpool juara pada musim 2013-2014 silam. Namun, mereka semua tetap semangat walaupun latihannya melelahkan.
"Sangatlah positif (dampak kehadiran Klopp). Seluruh pemain, staf manajemen, hingga fans kini sangat terpacu. Belum pernah terjadi sebelumnya hal seperti ini (perubahan), semenjak saya ada di klub ini," ujar Mignolet kepadaKompas kala itu.
Meskipun kala itu belum memberikan prestasi, para pemain dan fansLiverpool telah jatuh hati ke Klopp. Kehadirannya setidaknya telah menaikkan standar permainan "Si Merah". Liverpool tampil seperti komunitas kelas pekerja, yaitu gigih, kompak, tanpa basa-basi, tetapi meledak-ledak penuh energi. Permainan ini klop dengan karakter suporternya yang mayoritas kaum kerah biru militan dan loyal dari pabrik-pabrik serta pelabuhan di Kota Liverpool.
Lantas, di kala tim-tim lain patah arang, bahkan jera, karena gagal bertubi-tubi menjadi juara, Liverpool di era Klopp justru menunjukkan sebaliknya. Mereka menjadikan keuletan dan sikap pantang menyerah sebagai falsafah. "Kami akan kembali ke final dengan lebih kuat dan tangguh. Saya menjanjikan itu ke anak-anak," kata Klopp dengan mata berkaca-kaca saat dikalahkan Real Madrid pada final Liga Champions Eropa di Kiev, Ukraina, 2018.
Tidak heran, lantas muncul jargon "In Klopp We Trust" sebagai pelesetan dari tulisan yang tercetak di setiap lembar dollar Amerika Serikat, yaitu "In God We Trust". Kepercayaan atas Klopp itu memang menjelma "mata uang baru" di Liverpool. Nama Klopp kerap dinyanyikan para suporter Liverpool pada laga-laga di Anfield, bersanding dengan mars wajib, You'll Never Walk Alone, di tribune The Kop.
Pendekatan empatik dan penuh motivasi dari Klopp juga membuat para pemain kunci mereka, seperti Mohamed Salah, rela bertahan dan menolak godaan uang melimpah untuk hijrah ke Barcelona saat The Reds gagal juara di Liga Inggris dengan menyakitkan, musim lalu. Di saat sama, dukungan dari manajemen pun menguat. Fenway Sports Group (FSG), korporasi induk pemilik saham terbanyak Liverpool, tidak mengendurkan dukungannya ke Klopp dan klub itu ketika mereka gagal bertubi-tubi, termasuk di final Liga Champions pada 2018.
Restrukturisasi manajemen
Sebaliknya, dukungan itu kian menguat seiring upaya restrukturisasi manajemen Liverpool FC pada awal 2017. Kala itu, FSG mengadopsi resep sukses di klub bisbol raksasa AS, Boston Red Sox, yang juga dimiliki perusahaan itu. FSG melakukan pemisahan struktur manajemen antara aktivitas harian (sepak bola) dan kegiatan bisnis atau pemasaran.
Perubahan ini dilakukan CEO Liverpool yang diangkat Februari 2017, Peter Moore. Kebetulan, Moore adalah seorang eksekutif top (mantan kepala Divisi Sports Electronic Arts) yang juga Liverpudlian. Jadi, ia sangat memahami aspek bisnis ataupun prestasi sebuah klub sepak bola.
Hal itu diungkapkan Billy Hogan, Managing Director and Chief Commercial Officer Liverpool FC, dalam wawancara eksklusif lainnya dengan Kompas melalui sambungan telepon, Maret 2017.
Setelah nyaris mengalami kebangkrutan ketika dibeli pada 2010, FSG berusaha menjaga keseimbangan antara aspek bisnis alias keuangan dan prestasi. Tak pelak, di awal pembelian Liverpool, FSG banyak campur tangan, termasuk dalam urusan jual-beli pemain, salah satunya Luis Suarez, ke Barcelona, 2014 silam.
Seiring sehatnya keuangan dan pengembangan bisnis, investasi besar pun disuntikkan kembali ke tim Liverpool. Setelah membeli Salah pada musim panas 2017, Liverpool melakukan belanja masif dengan mendatangkan kiper Alisson Becker, gelandang Fabinho, dan bek Virgil van Dijk pada musim berikutnya. Keempat pemain itu menjadi kepingan terakhir dari mozaik Liverpool yang diinginkan Klopp.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar