Ketika majalah Tempo dibredel, cerita tentangku belum selesai. Suatu malam, para penyair berkumpul di markas Sanggar Minum Kopi, Jalan Wahidin, Denpasar.
Kami tidak sedang berdiskusi soal puisi, tetapi keberangkatanku ke Makassar untuk mengikuti panggilan ujian. Ya, aku dipanggil oleh tim seleksi calon wartawan Kompas.Padahal, sejak 4 Oktober 1994, aku sudah menyandang status koresponden lepas di Bali.
Koresponden lepas artinya tak ada bekal surat keterangan secuil pun dari Redaksi Kompas di Jakarta. Bahkan, gaji pun belum punya. Aku cuma diberi semacam honorarium yang diperhitungkan dari tulisan yang termuat.
Para anggota Sanggar Minum Kopi (SMK), yang berkumpul di rumah penyair Tan Lioe Ie, ada Warih Wisatsana, K Landras Syaelendra, AA Mas Ruscitadewi, Putu Satria Kusuma, (alm) Alit Widusaka, dan GM Sukawidana.
Semua sepakat, aku harus berangkat ke Makassar, apa pun halangannya. Misinya, tidak sekadar lulus ujian, tetapi juga "menempatkan" utusan Bali dalam jajaran wartawan Kompas.
Aku memang sudah siap berangkat. Masalahnya dengan jadwal ujian yang mepet, aku harus naik pesawat. Ketika diskusi kami sampai pada kata "tiket", hampir semuanya melongo.
Aku paham, para penyair selalu berada dalam situasi keuangan yang genting. Dalam keheningan mencari jalan keluar, tiba-tiba Buyung, adik bungsu Tan Lioe Ie, yang bukan penyair,nyeletuk, "Kita bantingan saja!"
Ia kemudian membanting sejumlah uang di atas tikar dalam lingkaran tempat kami duduk meleseh. Dalam waktu sekejap para penyair merogoh saku dan menguras seluruh isinya.
Penyair Warih Wisatsana, yang tak bergaji, seingatku hanya mengeluarkan uang Rp 3.000 dari sakunya. Ia letakkan perlahan di depan kami. Aku lagi-lagi harus paham, mungkin ia berpikir jatah makan nasi goreng spesial bertelur malam itu harus direlakan.
Mas Ruscitadewi, yang bertugas menghitung uang, kemudian memberi tahu uang untuk membeli tiket kurang sekitar Rp 50.000. Secepat kilat, Tan Lioe menelepon tetua kami di SMK, Frans Nadjira.
"Kau akan ke kampungku, permulaan yang bagus. Tunggu..," kata Frans lewat telepon kepadaku. Tak berapa lama, Frans datang dan menyodorkan uang Rp 50.000 serta sebuah mesin ketik tua, warisan dari mertuanya.
"Ini buat kau. Aku masih bisa menulis dengan tangan. Kau lebih membutuhkan," kata Frans sembari menyodorkan mesin ketik.
Apa yang harus kukatakan dalam situasi seperti ini, kecuali air mata yang merembes. Pelan-pelan pipiku terasa hangat. Mungkin karena kehangatan persahabatan malam itu tak bisa kubendung dalam bilik hatiku. Semua membekali doa dan pengharapan besar agar aku benar-benar menjadi wartawan Kompas.
Peristiwa pada awal tahun 1995 itu tak mungkin lekang dalam ingatanku. Di tengah-tengah kegandrungan kami memburu puisi sampai ke pasar-pasar di saat dini hari, para sahabat justru mengharapkanku jadi wartawan.
"Biar kami yang jadi penyair, kau menulis saja," ujar Frans.
Aku menangkapnya bukan sebagai pembagian "pekerjaan", melainkan satu dorongan untuk berjuang bersama di dunia tulis-menulis.
Saat itu, Kompas memiliki seorang wartawan senior di Bali bernama Raka Santeri. Kami berdua juga punya kisah yang berbeda. Dalam suatu liputan peristiwa gempa bumi Maumere tahun 1992, kami sama-sama naik pesawat Hercules milik TNI AD dari Denpasar.
Setelah diharu-biru oleh kehancuran kota Maumere, kami tidur di atas velbed di dalam barak militer. Menjelang istirahat, Raka Santeri berucap, "You cocoknya jadi wartawanKompas. Saya juga dulu di Tempo, tapi lebih pas di Kompas," katanya.
Waktu itu, aku menangkapnya sebagai obrolan lepas. Raka Santeri kemudian mengulangi perkataan yang sama ketika kami menginap di Desa Duda, Selat, Karangasem, dalam satu kunjungan bersama Gubernur Bali Prof dr Ida Bagus Oka.
Kami tidur di atas meja milik sekolah dasar tanpa kasur. "Gimana, saya usulkan ke Kompas ya," katanya. Lagi-lagi, aku hanya berkata dalam hati, "Apa aku sudah layak jadi bagian media sebesar Kompas?"
Sebagaimana dicatat sejarah, pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto kemudian membredel majalah Tempo tanggal 21 Juni 1994. Walau sudah lebih dari setahun bergabung, statusku masih sebagai stringer, wartawan lepas tak bergaji tetap.
Selama masa "menganggur" aku sering kali singgah di rumah dan percetakan cerpenis senior Gde Aryantha Soethama. Tak jarang kami bepergian bersama ke desa-desa seputar Bali, tentu untuk tujuan menulis feature.
Asal kau tahu, kami pernah bersama dalam satu media lokal. Aryantha menjadi wakil pemred, sedangkan aku wartawan yunior yang tugasnya mewawancarai para model.
Suatu hari ia bilang, "Anda masih kurang nakal sebagai wartawan." Berhari-hari aku memikirkan sepotong kalimat itu, sampai kemudian tiba-tiba ia memberi tugas meliput aktivitas para model setiap hari. Begitukah caranya mengajarkan kepadaku untuk sedikit menjadi lebih nakal?
Oh ya, soal mesin tulis tua itu. Ingin kuceritakan sebuah kisah kecil, tetapi berdampak besar dalam perjalananku sebagai wartawan. Suatu hari pada awal tahun 1995, Raka Santeri mengajakku menuju Ashram Gandhi Candidasa, di kawasan wisata Candidasa, Karangasem.
Ia bilang akan ada dialog antar-agama bersama Ibu Gedong Bagus Oka (pendiri Ashram Gandhi Cantidasa) dan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Terus terang aku degdegan ketika diminta mewawancarai Gus Dur.
Sebagai yunior, aku menurut apa yang ditugaskan Raka Santeri. Selain membawa notes, tak lupa mesin ketik tua hadiah dari Frans Nadjira menemani perjalanan kami. RedaksiKompas di Jakarta minta agar laporan wawancara dengan Gus Dur dikirim hari itu juga.
"Begitulah cara kerja koran harian," kata Raka Santeri. Ketika tiba waktunya mewawancarai Gus Dur, aku benar-benar gugup karena tiba-tiba ia memintaku ngobrol di teras kamarnya.
"Apa yang ingin kau tanya?" kata Gus Dur.
"Bagaimana nasib masa depan kebangsaan di Indonesia?" tanyaku asal saja.
Kalau tak salah ingat, Gus Dur menjelaskan panjang lebar tentang kebangsaan Indonesia yang terancam, oleh tumbuhnya fanatisme pada masing-masing suku dan agama. Dan kau tahu, aku menuliskan hasil wawancara itu dengan mesin ketik tua di bawah pohon kelapa di sekitar Ashram Gandhi.
Lalu berlari ke sebuah warung telekomunikasi (wartel) di jalan raya untuk mengirim faksimile. Berkali-kali kulakukan karena selalu gagal mengirimkannya ke RedaksiKompas di Jakarta.
Ketika laporan itu dimuat, Raka Santeri bukan kepalang kagetnya karena Kompas memuatnya di halaman satu. Waktu itu, aku masih menggunakan inisial yang bukan berasal dari akronim namaku, tetapi huruf "ff" sekadar penanda sebagai wartawan lepas.
Mesin tulis tua hadiah dari penyair senior Frans Nadjira sampai sekarang masih aku simpan. Karena aku anak petani, aku mengandaikannya ia telah memberiku bibit. Wilayah pertanian di Indonesia membentang luas di mana-mana, kau tinggal mencari tanah subur untuk menyemai bibit-bibitmu.
Catatannya, bibit yang unggul dan tanah yang subur tentu saja tak cukup untuk menghasilkan padi-padi yang berkualitas baik. Padi-padi itu membutuhkan perawatan dan relasi timbal balik sehingga kau akan terikat secara emosional.
Jika kau cuma memperlakukan padi sebagai hasil produksi pangan untuk menyambung kehidupan manusia, maka kau telah menghilangkan rasa syukur dan karunia yang telah diberi semesta. Pernahkah kau bertanya, mengapa alam menyediakan padi untuk manusia?
Pertanyaan yang sama bisa kuajukan untuk sebuah mesin tulis tua itu, mengapa Frans Nadjira menghadiahkannya kepadaku dan bukan kepada teman-teman penyair yang namanya kini mentereng dalam dunia kepenyairan Indonesia?
Mungkin aku tak mampu memberi jawaban yang memuaskan. Tetapi, bukankah mesin tulis tua itu adalah bibit padi yang selalu aku tenteng ke mana-mana selama masa tugasku sebagai wartawan?
Aku akan membukanya lalu perlahan menyentuh setiap tombol huruf satu demi satu untuk kemudian lahir serangkaian laporan dan tulisan yang kini tersimpan dalam file-file dokumentasi banyak orang.
Setiap kali menyentuh tombolnya selalu membayang sejarah penemuannya yang berlangsung berabad-abad. Prototipe mesin ketik pertama dipatenkan oleh Henry Mill tahun 1714, kemudian diiringi dengan penemuan kertas karbon oleh Peleggrino Turri.
Tahun 1829 William Austin Burt menciptakan mesin ketik pertama yang disebut typowriter, tetapi cara kerjanya masih dianggap lebih lama dibandingkan dengan menulis dengan tangan.
Pencarian mesin ketik, sehingga menjadi alat mekanis paling dibutuhkan untuk para pekerja kantoran, terus berlanjut sampai tahun 1867. Latham Sholes, Carlos Glidden, dan Samuel W Soule, membuatnya menjadi mesin yang komersial.
Kau mungkin kini boleh menyepelekan keberadaan sebuah mesin ketik tua yang nyaris tak pernah lagi disentuh, apalagi dipakai untuk bekerja. Tetapi, perjalanan untuk menemukan mesin ketik yang benar-benar memudahkan tugas manusia membuat dokumen berjalan berabad-abad, seiring dengan pertumbuhan peradaban intelektualitas manusia.
Mesin ketik tumbuh berbarengan dengan penemuan mobil, telepon, dan telegraf. Ia berbarengan dengan upaya-upaya manusia mempermudah mobilitas diri dan mempercepat komunikasi publik.
Apa yang kau kenal dengan personal computer (PC) yang dikembangkan tahun 1980-an tak lain beranalog dengan cara kerja mesin ketik. Perbedaannya, jika mesin ketik dioperasikan secara manual, maka PC digerakkan oleh fitur-fitur mesin komputer yang mengolah titik-titik menjadi huruf.
Aku bisa katakan sekarang, seandainya mesin ketik tidak ditemukan, apakah kita akan menikmati laptop ataugadget yang telah dioperasikan lewat fitur-fitur digital?
Mesin ketik hadiah dari Frans memang sudah jarang kusentuh karena aku dan kau kini bekerja di atas tombol-tombol laptop paling canggih yang bisa kita miliki. Tetapi, kehadirannya dari tahun ke tahun selalu seperti bibit padi yang kini aku warisi.
Kehadirannya begitu berarti, terutama di saat-saat musim semai, di mana aku harus menebar ribuan kata-kata kepadamu. Jika tidak terdapat sistem bekerja yang telah disusun oleh para penemu mesin ini, mungkin kau akan menerimanya sebagai hamburan kata-kata yang tak beraturan.
Sudah pasti ia akan gagal mengomunikasikan gagasan, yang pada akhirnya gagal pula menjalin sebuah keselarasan dalam menjalani kehidupan ini.
Mesin ketik hadiah dari Frans memang sudah jarang kusentuh karena aku dan kau kini bekerja di atas tombol-tombol laptop paling canggih yang bisa kita miliki.
Kini, sudah lebih dari 25 tahun aku bergabung dengan Kompas. Pada usia ke-55, lembaga ini pun telah beringsut meninggalkan cara kerja manual, sebagaimana yang kita konsumsi di masa lalu. Tetapi, di lobi gedungKompas di Jalan Palmerah Selatan, sampai kini masih dipajang mesin pra-cetak pertama bermerek Intertype buatan tahun 1930 yang dimiliki lembaga ini.
Ia telah lahir menjadi bahasa dan peristiwa simbolik bagi pertumbuhanKompas sampai hari ini. Bukankah mesin itu telah membenihkan kultur keberaksaraan publik sebagaimana yang dicantumkan dalam moto lembaga ini, "Amanat Hati Nurani Rakyat?"
Sekarang kita akan terus berharap semoga ia menjadi kawan dalam perubahan, yang kian hari kian deras membentur peradaban kita. Dirgahayu Harian Kompas. Darah dan daging anak-anak kami berasal dari rusuk yang kau pinjamkan kepadaku. Om dirgayurastu tad astu astu svaha, semoga bahagia dan panjang umur atas karunia Tuhan.
Kompas, 1 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar