Berkaitan dengan peringatan World Cities Day yang diikuti Hari Tata Ruang Nasional di tengah kondisi tahun ini yang masih dikungkung wabah, isu kota berketahanan kembali menguat. Konsep kota berketahanan atau tangguh didorong menjadi cara untuk pulih dari hantaman pandemi, sekaligus mempercepat pembangunan perkotaan dunia saat ini.
Kota berketahanan adalah gerakan yang dimotori International Council of Local Environmental Initiatives (ICLEI), sebuah jaringan global yang terdiri atas lebih dari 1.750 pemerintah lokal dan regional yang berkomitmen untuk pembangunan kota berkelanjutan. ICLEI lahir di Bonn, Jerman, 30 tahun silam, dan aktif di lebih dari 100 negara. Konsep kota tangguh baru serius digaungkan pada Kongres Kota Berketahanan di kota yang sama pada 2009.
Desakan menggebu untuk merealisasikan kota-kota tangguh berketahanan ini awalnya dilatari keprihatinan, setelah beberapa bulan sebelumnya, para pemimpin politik dunia gagal mencapai kesepakatan global berarti pada konferensi perubahan iklim internasional pada COP-15 di Kopenhagen, Denmark. Istilah ketahanan kala itu lebih melekat pada bagaimana beradaptasi menghadapi perubahan iklim.
Selama 10 tahun terakhir, kian disadari risiko dan bahaya perubahan iklim bukanlah ancaman yang jauh, melainkan kenyataan saat ini dengan konsekuensi yang dirasakan sangat lokal. Warga urban makin berisiko terdampak karena hingga tahun 2020, sesuai Worldometer per Oktober, terdata ada 7,8 miliar manusia di Bumi dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut 50 persennya tinggal di perkotaan.
Konsep kota tangguh dan sehat kemudian muncul sebagai tawaran menjadikan sistem perkotaan yang mampu menjaga perlindungan memadai bagi penduduk, ekonomi, dan lingkungannya.
Data UN Habitat satu dekade terakhir, bencana alam telah berdampak pada 220 juta orang dan menyebabkan kerugian lebih dari 100 juta dollar AS per tahun. Bencana akibat kerusakan alam yang turut dipicu perilaku manusia, seperti banjir, mengancam 379 juta penduduk perkotaan. Jumlah itu tentu tak luput menghitung warga Ibu Kota dan daerah lain di Indonesia yang setiap tahun terkena banjir.
Saat ini, 200 juta jiwa warga yang umumnya adalah penghuni kota di sepanjang daratan tepi pantai terus-menerus terancam keselamatannya. Hal ini karena berbagai bencana terjadi akibat penurunan muka tanah hingga 5 meter di bawah permukaan air laut.
Munculnya Coronavirus Disease 2019atau Covid-19 melengkapi sederet bencana, khususnya wabah, yang tak berhenti menjangkiti selama beberapa dekade terakhir. Kemunculan berbagai penyakit baru tersebut menurut para ahli tidak bisa dilepaskan dari fenomena kerusakan alam yang memicu pemanasan global.
Hingga 10 November lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah kasus positif Covid-19 di dunia mencapai 51,2 juta orang dengan 33,5 juta kasus dinyatakan sembuh dan 1,27 juta orang meninggal. Sisanya, masih dalam perawatan.
Di Indonesia, hingga Rabu (11/11/2020), ada 448.118 kasus positif dengan 378.982 orang sembuh dan 14.836 orang meninggal, serta sisanya dalam perawatan. Sebagian besar korban wabah ini juga adalah pemukim di wilayah urban.
Singkatnya, bencana alam dan juga non-alam tak berhenti mengancam pada saat dulu, kini, dan nanti. Kota dan pemerintah daerahnya makin butuh menata diri untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam menekan kerusakan serta mempercepat pemulihan dari segala macam potensi bencana. Upaya pengelolaan risiko bencana yang berujung pada munculnya konsep kota tangguh dan sehat kemudian muncul untuk menjadikan sistem perkotaan yang mampu menjaga perlindungan memadai bagi penduduk, ekonomi, dan lingkungannya.
Kota tangguh dan sehat membutuhkan rencana detail dan terarah yang bisa diterima secara luas, dipahami, dan aktif dilaksanakan pemerintah daerah bersama warganya. Fungsi perencana kota dibutuhkan untuk dapat menyoroti kebutuhan utama perkotaan. Berangkat dari sana, lantas diimplementasikan dalam berbagai kebijakan yang mendorong serta memandu arah investasi tepat yang sekaligus memutar ekonomi kota berkelanjutan.
Kolaborasi pemerintah bersama publik serta swasta dilakukan sejak di awal perencanaan. Tujuannya, mengidentifikasi semua aspek penting kota—termasuk warga negara, komunitas, sistem, dan organisasi—berfungsi serta memastikan mereka cukup kuat menahan tekanan dan guncangan yang bervariasi dan signifikan.
Dengan kolaborasi ini, diharapkan semua pihak mampu merespons keadaan atau informasi baru. Lalu, belajar darinya sebagai modal pembuatan keputusan cerdas lebih awal demi menekan kerugian.
Kondisi genting saat ini sebenarnya telah diprediksi berpotensi bakal terjadi sejak beberapa waktu sebelumnya. Guna mengantisipasinya, pada 2015, negara anggota PBB mengadopsi 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, menargetkan kemajuan pada tahun 2030. Dalam tujuan ke-11, isu perkotaan diusung, yaitu menjadikan kota dan permukiman manusia inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.
Mengapa harus inklusif?
World Urban Campaign dalam Healthy Pandemic Resilient Cities memaparkan bahwa populasi yang paling berisiko dalam bencana, khususnya dalam serangan wabah kali ini, adalah mereka yang sangat bergantung pada ekonomi informal, menempati area yang rawan, memiliki akses yang tidak memadai ke layanan sosial atau pengaruh politik, memiliki kapasitas dan kesempatan yang terbatas untuk mengatasi masalah dan beradaptasi, serta memiliki akses terbatas atau tidak sama sekali ke teknologi.
Dari perspektif sosioekonomi, World Urban Campaign menempatkan kaum perempuan, orang lanjut usia, remaja dan anak-anak, orang dengan disabilitas, penduduk atau suku-suku asli, pengungsi, imigran, dan kaum minoritas lainnya sebagai yang berisiko besar untuk makin termarjinalkan sebagai dampak dari wabah global ini. Dari perspektif kesehatan, kelompok-kelompok masyarakat yang sama lebih berpotensi tertular serta paling terganggu ekonominya karena pandemi.
Jika kelompok masyarakat rentan tersebut tidak dapat terlindungi dari dampak pandemi, lambat laun akan terdampak pula bagi kelompok warga yang tidak rentan. Untuk itu, merangkul dan memastikan kesetaraan warga rentan sebagai target penanggulangan pandemi sama seperti kelompok lain wajib dilakukan.
Menjadikan kota layak huni, inklusif untuk semua adalah tantangan terbesar, terutama ketika sebagian penduduk kini tinggal di permukiman informal. Apalagi, penghuni permukiman informal terutama yang berekonomi lemah meningkat selama pandemi karena merosotnya ekonomi perkotaan.
Meskipun demikian, permukiman informal sebenarnya bagian dari adaptasi masyarakat dan meringankan beban pemerintah. Permukiman informal bagian dari upaya mandiri warga menyediakan hunian bagi dirinya sendiri. Pemerintah pun tidak lagi harus memikirkan penyediaan lahan untuk membangun perumahan baru bagi sekian ratus ribu hingga sekian juta warganya.
Namun, keberadaan permukiman informal di lahan yang tidak semestinya, seperti mengokupasi bantaran kali atau rel kereta api yang bisa memicu bencana bagi mereka dan warga kota lainnya, membutuhkan rekayasa untuk pembenahan, penataan, dan penambahan akses ke fasilitas publik, termasuk fasilitas kesehatan.
Hindari euforia kembali menggunakan kendaraan bermotor pribadi yang pada akhirnya memicu kemacetan, meningkatkan polusi udara, serta banyak kerugian lain.
Terkait fasilitas publik, salah satu yang berperan penting dalam meningkatkan ketahanan warga kota, tetapi kurang terakomodasi di kota-kota negara berkembang, adalah akses ke ruang hijau perkotaan. Padahal, ruang hijau urban merupakan bagian integral penentu kelayakan hidup, kesehatan, dan kebugaran sebuah kota.
Ruang terbuka ini menjadi salah satu jalan keluar saat pemukim kawasan padat susah bergerak dan menjaga jarak di area tempat tinggalnya. Setidaknya di taman publik, di lapangan bola kampung, di lahan bantaran kali yang tertata, warga bisa menghirup udara bebas serta berolahraga ringan. Ini bisa membantu meningkatkan imun tubuh sambil tetap bersosialisasi dengan bisa berjarak satu sama lain.
Di ruang terbuka publik pula, warga dari berbagai lapisan ekonomi, suku, agama, usia, dan lainnya bisa berjumpa dalam kondisi setara satu sama lain. Hal ini dapat mengurangi potensi gesekan sosial yang berarti menekan kerawanan kota.
Akan tetapi, bahkan sebelum pandemi, ruang hijau perkotaan masih belum terwujud memadai dan distribusinya tidak proporsional merata ke seluruh bagian kota. Jadi, dalam skenario pandemi ini dan ke depan, ruang-ruang hijau perkotaan wajib masuk dalam rencana dan tindakan tanggap bencana.
Kebijakan lain yang krusial adalah merancang sistem transportasi publik yang merangkul erat penggunaan moda ramah lingkungan, seperti sepeda dan berjalan kaki. Kota butuh menyediakan trotoar lebar dan jalur sepeda, jalan masuk, serta titik-titik transit dan integrasi antarmoda angkutan umum. Kota dituntut merancang pembangunan lingkungan berorientasi transit. Penataan ini bakal mendukung pergerakan dan pengaturan kapasitas transportasi umum yang memungkinkan ada jarak antarpenumpang sehingga pergerakan lebih aman.
Hindari euforia kembali menggunakan kendaraan bermotor pribadi yang pada akhirnya memicu kemacetan, meningkatkan polusi udara, serta banyak kerugian lain.
Pangan, energi, sanitasi, dan komunikasi
Selanjutnya, World Urban Campaign, yang merupakan koalisi pemangku kepentingan perkotaan untuk meningkatkan kesadaran tentang perubahan positif untuk mencapai kota dan komunitas berkelanjutan, menegaskan bahwa pandemi ini menyadarkan pentingnya tiap kota menyediakan akses sebesar-besarnya terhadap air bersih, bahan makanan sehat, dan sumber energi, seperti listrik, bagi setiap warganya.
Sebuah kota, apalagi sebesar Jakarta dan aglomerasinya bersama Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang, membutuhkan jaminan keamanan pangan. Menyediakan sumber pasokan pangan yang memadai dan berkualitas baik secara periodik, kerja sama dengan daerah-daerah tertentu pemasok bahan pangan, dan memiliki sistem penyimpanan hingga jaringan distribusi pangan yang kokoh menjadi salah satu pilar ketangguhan suatu kota.
Koalisi kampanye perkotaan global di masa pandemi ini juga turut mengingatkan kebutuhan sistem sanitasi yang higienis bagi semua kalangan. Koalisi menyatakan pentingnya menyediakan air bersih serta peralatan kebersihan untuk keperluan sehari-hari bagi kelompok rentan.
Selain itu, sistem pengelolaan sampah per kawasan didesak diperbarui dengan pemilahan, penggunaan kembali, dan pengolahan sampah organik agar tidak ada lagi pembuangan sampah terbuka yang bisa memicu lebih banyak penyakit.
Pugasan terakhir, yang tidak kalah penting, yaitu membangun komunikasi inklusif antara pemerintah dan warganya. Menurut PBB, pesan-pesan penting terkait wabah dan dampaknya ke berbagai sendi kehidupan publik harus menerus diinformasikan secara terbuka dan transparan diiringi upaya individu hingga level pemangku kebijakan untuk menekan dampak negatif.
Secara khusus, pesan dan peran pemerintah yang harus sampai ke publik adalah bahwa hak asasi manusia dijamin dilindungi, sosialisasi standar keamanan pekerja di berbagai level dan lini, memastikan hak warga memperoleh pendidikan terpenuhi meskipun harus dilakukan secara daring, serta memprioritaskan mempererat kohesi sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar