Agama harus dijadikan sebagai inspirasi dalam pembangunan bangsa, bukan sebagai aspirasi. Demikian Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menggelorakan semangat "Kementerian Agama Baru" ketika dilantik menjadi Menteri Agama.
Semangat "Kementerian Agama Baru", yang digelorakan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, menjadi tantangan tersendiri ketika membaca hasil riset terhadap 149 negara di dunia, di mana terdapat sepuluh negara teratas yang paling bersih dari korupsi diukur dengan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI), tahun 2020 (Gallup Poll, 2009). Kesepuluh negara itu mayoritas warganya menganggap agama tidak penting dalam hidupnya.
Riset itu hanya mengeksplor satu pertanyaan saja: "apakah agama itu penting dalam hidupmu sehari- hari?Is religion important in your daily life? Jawabnya pun hanya Yes or No.
Peran agama?
Hal yang menarik untuk dikaji, negara yang mayoritas warganya menganggap agama sangat penting justru berujung para pemerintahan yang tinggi level korupsinya. Laporan Transparency International, tahun 2020, mengeluarkan ranking korupsi untuk 179 negara.
Sepuluh negara yang paling bersih korupsi, persentase pentingnya agama dalam hidup mereka adalah: 1. Selandia Baru (33 persen), 2. Denmark (19 persen), 3. Finlandia (28 persen), 4. Singapura (70 persen), 5. Swiss (41 persen), 6. Swedia (15 persen), 7. Norwegia (22 persen), 8. Belanda (33 persen), 9. Luksemburg (39 persen), 10. Jerman (40 persen).
Baca juga: Ironi Kenaikan Prestasi Anti-Korupsi
Singapura adalah satu-satunya negara dalam Top 10 negara di atas—dengan nilai tertinggi 70 persen—yang menganggap agama penting. Dan ada lima negara di mana umat agama yang mayoritas, menganggap agama penting, tetapi memiliki ranking kebersihan pemerintahan yang buruk.
Kelima negara itu: India (Hindu 90 persen, agama penting, urutan korupsi 80 dari 179 negara); Filipina (Katolik 96 persen, agama penting, korupsi urutan 113 dari 179 negara); Arab Saudi (Islam 93 persen, agama penting, korupsi urutan 51 dari 179 negara); Thailand (Buddha 96 persen, agama penting, korupsi urutan 101 dari 179 negara); Indonesia (Islam 97 persen, agama penting, korupsi urutan 85 dari 179 negara).
Jika dibuat rata-rata, di Top 10 negara itu, hanya 34 persen warga menganggap agama penting, (Denny JA-World).
Inspirasi vs aspirasi
Terlepas dari metodologi riset yang dapat diperdebatkan, hasil riset tersebut memberikan gugatan; mengapa agama tak menjadi variabel penting dalam mengikis korupsi? Dan mengapa untuk kasus negara yang berhasil membuat pemerintahannya bersih, mayoritas publik tak menganggap agama penting dalam hidupnya? Dan sebaliknya, negara yang mayoritas umat beragamanya menganggap agama penting, ranking korupsi tinggi. Apakah ini berarti peran agama tak lagi penting di zaman modern?
Jawabannya: tergantung bagaimana agama itu ditafsirkan, dihayati, bukan sebagai aspirasi yang melahirkan tafsir agama secara sempit, simbolik dan formalistis tetapi agama harus menjadi inspirasi sebagaimana Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sampaikan.
Max Weber, mengungkapkan dalam bukunya, The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, 2005, yang merupakan rintisan penelitian dan pendekatan baru dalam abad XX, mengenai peranan kreatif agama dalam perubahan sosial, pembentukan kebudayaan.
Baca juga: Regresi Demokrasi dan Korupsi
Perubahan kebudayaan terjadi pada saat manusia menerapkan akal budi dalam kehidupan sosial. Ini disebutnya "rasionalisasi", yang akhirnya membawa masyarakat pada dominasi teknologi dan birokrasi serta orientasi pragmatis dan efisiensi. Tendensi ke arah rasionalisaisi tumbuh dan didorong oleh agama sendiri dalam hal ini agama Kristen, terutama dalam Protestanisme.
Rasionalisasi ini membawa tersingkirnya agama dari kebudayaan dan masyarakat, dan terciptanya dunia yang sekuler. Zaman ini memberi pengaruh dalam melahirkan keadaban publik.
Menurut Weber, agama merupakan faktor penting dalam perubahan sosial (social agent).
Menurut Weber, agama merupakan faktor penting dalam perubahan sosial (social agent). Agama sebagai sumber inspirasi dinamika perubahan sosial, bukan agama sebagai peneguhan struktur masyarakat (T Parsona). Agama memberikan "kerangka makna", inspirasi pada dunia dan perilaku manusia, suatu perspektif dengan mana manusia memahami dunia, kegiatannya, ruang di mana ia ada, waktu yang mengatur hidupnya dan masa depannya, termasuk kematiannya.
Mengamati hasil survei di atas, kurang berperannya agama sebagai agen perubahan moralitas di tengah masyarakat dan dalam pembangunan pemerintahan yang bersih, jadi tantangan tersendiri bagi Kementerian Agama, dan lembaga-lembaga keagamaan. Bangsa ini mengaku religius (97 persen menganggap agama penting), namun justru indeks korupsi tinggi (urutan 85 dari 179 negara) dan ketidakadilan masih menjadi keprihatinan bersama.
Baca juga: Menanti UU Perampasan Aset
Simbol agama ternyata tidak memberikan tanda yang signifikan (signum significatum) dalam membawa pembaharuan sesuai dengan fungsinya.
Maka dalam membangun pemerintahan yang bersih, peran agama kiranya penting dikaji kembali, bukan sekadar memberi format agama di ruang publik (sebagai aspirasi) tetapi bagaimana menjadikan agama menjadi inspirasi mewujudkan moralitas publik dalam tata kelola pemerintahan yang bersih (good governance), transparan, akuntabel, kepatuhan pada hukum, integritas, kompetensi serta komitmen melayani aparatur sipil negara.
Ada tiga hipotesis yang bisa dikemukakan dari hasil riset di atas. Pertama, jika kita menganggap bahwa agama tidak penting di dalam kehidupan sehari-hari dan implementasinya dalam membangun keadaban publik; pemerintahan yang bersih, pemberantasan korupsi, maka agama akan kehilangan legitimasinya untuk berperan di dalam pembangunan.
Kedua, jika agama ikut berperan dalam membangun keadaban publik, pemerintahan yang bersih, maka dalam jangka panjang kemungkinan besar agama masih akan memiliki legitimasi–karena memang punya peran dan saham dalam pembangunan bangsa.
Ketiga, jika kita menganggap keikutsertaan agama dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih hanya bersifat mozaik dan samar-samar, tidak memberikan sumbangan mendasar, maka hubungan antara agama di satu pihak dan perubahan sosial di pihak lain merupakan hubungan insidental. Dan dalam kondisi demikian agama akan dijadikan sebagai aspirasi; simbol, komoditi politik dan ekonomi.
Peran sosial agama dalam keadaban publik tidak bisa terlepaskan dari refleksi kehidupan beriman dalam realitas sosial.
Peran sosial agama dalam keadaban publik tidak bisa terlepaskan dari refleksi kehidupan beriman dalam realitas sosial. Dalam kaitan dengan berkembangnya pandangan tentang adanya hubungan antara nilai-nilai agama dengan masalah-masalah yang menyangkut kemaslahatan umum, seperti pemberantasan korupsi, sosiolog Robert Bellah (1967)–meskipun tidak meletakkannya dalam konteks agama tertentu–melihatnya dalam perspektif civil religion.
Dalam nada yang sama, Jose Casanova (2017) melihatnya dalam peran penting agama pada kehidupan sosial-politik. Itu semua diekspresikannya dalam konteks bahwa agama-agama itu bukan sekadar persoalan pribadi (private), tetapi justru persoalan publik, di mana agama harus memainkan perannya bukan sebagai aspirasi tetapi dalam posisi inspiratif dapat menggelorakan moralitas publik. Hal ini karena agama bukan saja bersifat imanen, tetapi berdaya transenden untuk kekuatan etis-moral yang dapat memberi wajah manusiawi terhadap proses pembangunan masyarakat, termasuk pembangunan politik.
Baca juga: Korupsi Masih Masif, Terus…
Dapat dimengerti bahwa moralitas publik di pemerintahan tidak ditentukan oleh banyak atau sedikitnya mereka yang meyakini agama. Dan pemerintahan yang bersih sangat kuat dipengaruhi sistem oleh manajemen modern; kontrol internal pemerintahan yang efektif, hadirnya lembaga pelacak korupsi (KPK), dan penegakan hukum (sanksi hukum kepada koruptor).
Agama sejati yang sesungguhnya akan tetap dalam kesakralan, karena posisi Tuhan tak akan pernah tersentuh hanya oleh eksistensi manusia dalam proses pembangunan.
Agama harus ikut memberi pencerahan, sumber inspirasi, peneguhan suara hati (discerment), menjadi daya kritis dan kritik terhadap kehidupan politik yang korup; kontrol batiniah dalam hati nurani umat beragama itu sendiri yang setiap kali dapat dipertajam oleh agama.
Manajemen modern dibangun oleh insan cendekia yang memiliki integritas moral yang tinggi, memiliki hati nurani yang diinspirasi oleh nilai-nilai moral agama. Kebenaran itu bagaikan cahaya matahari, menyilaukan, membuat orang enggan memandangnya berlama-lama (Karl Poper, 2008).
Agama sebagai sumber inspirasi memang maya tetapi bisa jadi perangkap, sebab sekali manusia terperangkap, ia akan terus gelisah mencari dan mengamalkannya, sebab agama itu bersifat transenden dan sekaligus imanen.
Baca juga: Tega Korupsi di Era Korona
Kaidah-kaidah agama yang memberi legitimasi kekuasaan telah diinternalisasikan dalam suara hati manusia. Justru kontrol sosial agama yang sangat diharapkan ialah membentuk suara hati orang sehingga dia berani menolak korupsi, kekerasan serta pelanggaran hak asasi manusia.
Agama sebagai inspirasi untuk mewujudkan "Kementerian Agama Baru" diterjemahkan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dengan beberapa kata kunci. Pertama, manajemen pelayanan dan tata kelola birokrasi yang semakin baik.
Kedua, penguatan moderasi beragama; penguatan literasi keagamaan, budaya toleransi, dan nilai-nilai kebangsaan. Dan ketiga, persaudaraan umat seagama, sebangsa dan setanah air dan mengembangkan persaudaraan kemanusiaan (Hari Amal Bakti Kementerian Agama ke-75, 3 Januari 1946-3 Januari 2021).
Semoga "Kementerian Agama Baru" yang hendak dibangun Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dapat mendorong agama sebagai inspirasi dan fungsi kritik kenabian agama dalam memberikan pengaruh membangun keadaban publik, dan pendidikan kepada umat beragama; menegaskan kembali bahwa kesatuan antara ibadah dan amal tidak bisa dipisahkan.
Peran agama dalam pembangunan jangan sampai menjadi mesianisme patologis (hanya kami dapat menyelamatkan dunia atau yang diselamatkan).
Artinya, jika kita menyatakan diri masyarakat atau bangsa yang religius, maka harus tecermin dalam kehidupan nyata, mendudukkan agama dalam perspektif kehidupan manusia secara proporsional, tanpa harus mengurangi nilai kesakralan suatu agama.
Keberagamaan yang mengakar dalam suatu kebudayaan dapat sebagai daya kreatif manusia untuk bertransformasi, berkembang secara dinamis dalam pembangunan bangsa, dan terbuka menanggapi realitas dengan dialog nilai-nilai iman dan kemanusiaan itulah semangat habitus baru bangsa yang perlu didorong oleh agama.
Peran agama dalam pembangunan jangan sampai menjadi mesianisme patologis (hanya kami dapat menyelamatkan dunia atau yang diselamatkan). Ibadah yang otentik mengikat kita pada tanggung jawab bersama dalam ketundukan kepada Allah memberikan kepada kita rasa mencicipi kemenangan dari kuasa Allah, memelihara hidupnya api iman, pengharapan dan cinta kasih sebagai inspirasi membangun kehidupan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar