Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 01 Juni 2023

Memudakan Aktualisasi Pancasila

 

Hari Pancasila

Memudakan Aktualisasi Pancasila

Ada dua isu yang perlu dapat perhatian serius dari survei Setara Institute. Pertama, pandangan siswa SMA bahwa Pancasila bisa diganti. Kedua, tren meningkatnya sikap anti-perbedaan dan keberagaman di kalangan siswa SMA.

Oleh
DARMANSJAH DJUMALA
Ilustrasi HERYUNANTO

Ilustrasi

Sebanyak 83,3 persen siswa sekolah menengah atas menganggap Pancasila bukan ideologi permanen dan bisa diganti.

Demikian hasil survei Setara Institute dan INFID menjelang peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni, yang membuat banyak pihak terenyak. Terlepas dari metode survei yang dipilih, sinyalemen ketidaktahuan anak muda bahwa Pancasila adalah kesepakatan final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah lama terdengar.

Mari merunut balik sejarah sejenak. Manakala penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) diberlakukan sejak 1978, berkembang pemahaman di masyarakat, termasuk pelajar dan mahasiswa, bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 tidak bisa diubah. Hanya batang tubuh UUD 1945 berupa pasal-pasal yang dapat diubah dengan persyaratan yang ketat.

Begitulah pemahaman umum di masyarakat. Sampai tiba gelombang Reformasi 1998 yang menjungkirbalikkan berbagai kebijakan berbau Orde Baru, termasuk penataran P4 dan lembaga pelaksananya. Penataran P4 dihapuskan, BP7 dibubarkan. Disusul pemberlakuan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang menghapus pelajaran Pancasila dari kurikulum pendidikan nasional.

Baca juga : Lumpuhnya Pancasila

Pancasila sebagai mata ajar disatukan dan dijadikan bagian dari pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Akibatnya, mata pelajaran (mapel) Pancasila tereduksi menjadi dogma hafalan anak didik semata. Bukan sebagai proses internalisasi dan aktualisasi nilai luhur bangsa berupa musyawarah, gotong royong, sikap moderat, toleransi dan kerukunan lintas suku, agama, dan budaya.

Pancasila sebagai mapel kehilangan fungsinya sebagai penuntun pembentukan karakter bangsa. Tak heran, selama 20 tahun sejak Pendidikan Pancasila dihapuskan dari kurikulum pendidikan nasional pada 2003, muncul fenomena intoleransi dalam perilaku individu di kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, termasuk pada anak didik usia remaja.

Tren toleransi kalangan siswa

Survei Setara Institute terhadap murid SMA di lima kota (Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, Padang) mengonfirmasi hal itu. Persentase siswa SMA yang bersikap toleran (menghargai dan menghormati perbedaan antarsesama manusia) 70,2 persen; intoleran pasif (menganggap kelompok lain salah, tetapi tak berwujud dalam tindakan) 24,2 persen; intoleran aktif (tak dapat menerima perbedaan dan menyetujui tindakan kekerasan) 5 persen; dan potensi terpapar (menolak perbedaan, menyetujui kekerasan, bahkan rela mati) 0,6 persen.

Dari bacaan sepintas, isu intoleransi siswa SMA tidak perlu dikhawatirkan. Bukankah yang toleran masih banyak, 70,2 persen? Tapi, mari tengok tren.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/Fpfl2kj0oVgFzCkV-zfTG3isPac=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F21%2Ff09a631f-3175-4cef-8e17-017108b6f672_jpg.jpg

Setara Institute pernah melakukan survei serupa terhadap siswa SMA di Bandung dan Jakarta pada 2016. Temuannya menunjukkan remaja SMA dalam kategori toleran meningkat dari 61,6 persen pada 2016 menjadi 70,2 persen pada 2023. Kategori intoleran pasif turun dari 35,7 persen (2016) menjadi 22,4 persen (2023). Tren dari dua kategori ini memberi gambaran positif bahwa jumlah siswa SMA yang menjadi toleran mengalami peningkatan. Itu kabar baiknya.

Namun, ini kabar buruknya: siswa kategori intoleran aktif justru meningkat, dari 2,4 persen (2016) jadi 5 persen (2023). Begitu juga kategori terpapar, naik dari 0,3 persen (2016) menjadi 0,6 persen (2023). Apa makna di balik angka ini? Meski masih kecil, terjadi peningkatan jumlah remaja yang intoleran aktif dan yang terpapar. Telah terjadi transformasi dalam menyikapi keberagaman dan perbedaan. Ada tren peningkatan dalam sikap anti-perbedaan dan keberagaman di kalangan siswa SMA.

Dari temuan Setara Institute, ada dua isu yang perlu dapat perhatian serius. Pertama, pandangan siswa SMA bahwa Pancasila bisa diganti. Kedua, tren meningkatnya sikap anti-perbedaan dan keberagaman di kalangan siswa SMA.

Kedua isu ini berkait-kelindan. Perbedaan dan keberagaman adalah keniscayaan hidup. Justru untuk mengikat perbedaan dan keberagaman dalam satu kesatuan bangsa dibutuhkan nilai bersama (shared values) yang dirangkum dalam Pancasila. Menghargai perbedaan dan keberagaman adalah inti nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sikap tak menghargai perbedaan dan keberagaman yang menjurus pada sikap mempertanyakan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara itu perlu diwaspadai para guru sekolah. Dengan PP No 4/2022 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pancasila kini kembali jadi mapel wajib yang di dalamnya terdapat elemen Pendidikan Kewarganegaraan.

Dari temuan Setara Institute, ada dua isu yang perlu dapat perhatian serius. Pertama, pandangan siswa SMA bahwa Pancasila bisa diganti. Kedua, tren meningkatnya sikap anti-perbedaan dan keberagaman di kalangan siswa SMA.

PP itu mengharapkan para guru dapat menanamkan karakter atau internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila di kalangan siswa SMA. Bagaimana caranya? Selain transfer ilmu dan pengetahuan, pendidikan sejatinya adalah proses penanaman, internalisasi, dan aktualisasi nilai kepada anak didik.

Presiden Jokowi dalam arahan kepada Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) saat menyusun buku referensi Pendidikan Pancasila mengatakan, pembelajaran Pancasila bagi anak didik tak harus melulu berisi aspek kognitif, yaitu pemahaman substansi dan teori, tetapi juga harus memuat dimensi afektif, yaitu mengembangkan sikap dan perilaku sesuai nilai Pancasila: menghargai perbedaan, keberagaman, musyawarah, gotong royong, sikap moderat, toleran dalam bermasyarakat.

BPIP telah menyusun 14 jilid buku Pendidikan Pancasila untuk anak didik, mulai dari PAUD hingga SMA. Isinya 70 persen teori dan substansi Pancasila dan 30 persen rujukan nilai dan perilaku yang sesuai Pancasila. Buku ini referensi bagi Kemendikbudristek dalam menyusun materi ajar Pendidikan Pancasila yang akan digunakan guru di kelas.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/2Tl9Chq4GpFmdhUZHvC3jeJPoi4=/1024x1928/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F30%2F8b79d755-c298-4096-ba8a-e6b0de989799_jpg.jpg

.Optimalkan medsos

Tantangan selanjutnya, bagaimana otoritas pendidikan dan para guru menerjemahkan porsi afektif 30 persen itu dalam pembelajaran di kelas. Setidaknya ada dua jalur kegiatan yang bisa ditawarkan. Pertama, penanaman nilai melalui jalur kegiatan konkret. Menanamkan nilai beda dengan mentransfer ilmu pengetahuan dan melatih keterampilan.

Nilai bisa diresapi melalui penghayatan (internalisasi). Penghayatan bisa mewujud dalam perilaku (aktualisasi) apabila anak didik dilibatkan dalam kegiatan konkret yang mengandung nilai- nilai yang diharapkan. Ketika anak didik dilibatkan pada satu kegiatan yang mengandung nilai Pancasila, perlahan tapi pasti mereka akan mengalami internalisasi nilai-nilai itu. Jika pelibatan itu dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan, anak didik itu akan mengaktualisasikan nilai itu dalam perikehidupan mereka sehari-hari.

Kedua, melalui jalur medsos. Di era digital, efektivitas medsos dalam pembentukan opini tak diragukan lagi. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada 2022 remaja Indonesia (usia 13-18 tahun) paling banyak menggunakan internet daripada kelompok usia lain, yaitu 99,16 persen. Artinya, hampir semua remaja Indonesia menggunakan internet. Laporan Statista 2020 juga mengungkapkan, pengguna medsos terbanyak adalah kelompok umur 25-34 tahun (35,4 persen), disusul kelompok umur 18-24 tahun (30,3 persen).

Jika ingin mengenalkan Pancasila kepada generasi Z yang sangat melek TI, pola sosialisasi tak bisa lagi hanya menggunakan cara-cara konservatif, berupa ceramah atau kuliah konvensional. Pola aktualisasi Pancasila harus dimudakan, rejuvenated, agar mengena di hati siswa.

Darmansjah DjumalaAnggota Dewan Pakar BPIP dan Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila

Sumber:  https://www.kompas.id/baca/opini/2023/05/30/memudakan-aktualisasi-pancasila 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger