Tuan, Jangan Biarkan Reformasi Mati
Oleh Yanuar Nugroho
Dua puluh enam tahun lalu, Reformasi 1998 membawa harapan besar bagi negeri ini. Rakyat turun ke jalan menuntut perubahan, mengakhiri pemerintahan otoriter Orde Baru, membuka babak baru demokrasi.
Hasilnya, sejumlah perbaikan terjadi, baik di bidang politik, sosial, maupun ekonomi. Mulai dari pembatasan masa jabatan presiden, desentralisasi dan otonomi daerah, kebebasan pers, pembebasan tahanan politik, diakhirinya dwifungsi ABRI, hingga stabilisasi ekonomi, independensi Bank Indonesia, dan pemberantasan korupsi.
Namun, apa yang terlihat hari-hari ini menunjukkan berbagai capaian reformasi berantakan atau malah dihancurkan. Beragam kebijakan dan rencana revisi sejumlah undang-undang (UU) jelas menunjukkan gejala itu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah dilemahkan, berbagai urusan pembangunan daerah ditarik pusat, kebebasan pers dan masyarakat sipil berekspresi mulai dibatasi. Paling mutakhir: disahkannya UU Revisi atas UU TNI.
Namun, itu belum usai. Beredar luas kekhawatiran lain, misalnya: rencana Revisi UU Kepolisian, Revisi UU Kejaksaan, Revisi UU KUHAP, dan Revisi UU Penguatan dan Pengembangan Sistem Keuangan (P2SK) yang ditengarai akan mengurangi independensi BI.
Jika semua ini terjadi, bukan hanya reformasi yang akan mati, melainkan juga demokrasi. Bangsa ini akan terpuruk dan sangat mungkin menjadi negara gagal.
Reformasi sebagai fondasi
Reformasi 1998 menjadi momen kunci perbaikan negeri. Pertama, dalam politik, salah satu capaian terbesar adalah terbukanya ruang bagi demokrasi dan kebebasan politik. Masyarakat punya lebih banyak kesempatan terlibat dalam proses pengambilan keputusan, baik melalui pemilu yang lebih bebas maupun parpol yang semakin beragam.
Untuk mencegah kekuasaan absolut, masa jabatan presiden dibatasi maksimal dua periode, masing-masing lima tahun. Ini agar tak ada lagi presiden berkuasa tanpa batas waktu, seperti sebelum reformasi dulu. Dwifungsi ABRI juga dihapuskan, untuk memastikan militer tidak lagi terlibat dalam urusan pemerintahan sipil, yang menjadi syarat utama bagi negara demokratis.
Reformasi juga mengubah struktur pemerintahan secara mendasar dengan memberikan lebih banyak kewenangan kepada pemerintah daerah. Desentralisasi memungkinkan daerah mengelola sendiri berbagai aspek pemerintahannya tanpa bergantung pada pusat. Dengan otonomi, kebijakan bisa lebih sesuai dengan kebutuhan warga setempat.
Kedua, dalam dimensi sosial, reformasi menghapus sensor ketat yang lama mengekang kebebasan pers dan berbicara. Media yang sebelumnya dikontrol pemerintah kini dapat melaporkan nyaris apa saja tanpa takut dibredel, memberi ruang bagi transparansi dan akuntabilitas. Masyarakat kian bebas menyuarakan pendapat, baik melalui demonstrasi, diskusi publik, maupun medsos.
Reformasi juga memberi ruang bagi pembentukan ormas dan serikat buruh. Dulu, negara sangat menekan kelompok pekerja dan masyarakat sipil; kini mereka bisa bersatu memperjuangkan hak-haknya. Selain itu, banyak tahanan politik akhirnya dibebaskan sebagai bentuk penghormatan terhadap HAM.
Ketiga, dari segi ekonomi, reformasi membawa perubahan besar setelah kita terpuruk dalam krisis finansial Asia 1997-1998. Pemerintah dipaksa mengambil berbagai langkah untuk menstabilkan ekonomi, termasuk menjalin kerja sama dengan lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan memastikan independensi BI. Tujuannya, guna mengembalikan kepercayaan investor, menjaga stabilitas keuangan nasional, dan menjaga kebijakan moneter tak dipermainkan oleh kepentingan politik.
Selain itu, dibentuk KPK sebagai lembaga yang bertugas memberantas korupsi yang sudah menjadi penyakit kronis dalam birokrasi dan bisnis. Ini agar Indonesia memiliki pemerintahan yang lebih bersih dan transparan supaya ekonomi tumbuh lebih sehat. Peluang bagi sektor swasta dan investasi asing juga dibuka lebih lebar untuk menciptakan ekonomi yang lebih dinamis dan kompetitif, membuka lapangan pekerjaan baru, serta meningkatkan daya saing.
Jika gagal membuat kondisi bangsa ini menjadi lebih baik, penambahan kata sifat pada demokrasi menjadi tidak signifikan lagi.
Pertama, pelemahan institusi pemberantasan korupsi. Sejak revisi UU KPK 2019, KPK yang sebelumnya kuat dicabut independensinya dan dijadikan bagian dari pemerintah. Dampaknya luas: rusaknya efektivitas penindakan, pencegahan, ataupun kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Dalam keprihatinan ini pula mesti dicermati rencana Revisi UU Kejaksaan. Selain KPK, Kejaksaan juga memainkan peran penting pemberantasan korupsi. Mesti dipastikan ini tak dilemahkan.
Kedua, kembalinya keluasan peran militer, di pemerintahan sipil. Disahkannya UU Revisi atas UU TNI penting dicermati. Memang hanya tiga pasal yang berubah: pasal 7 terkait perluasan OMSP (operasi militer selain perang), pasal 47 tentang penambahan jumlah kementerian/lembaga (K/L) yang bisa dimasuki TNI aktif, dan pasal 53 mengenai batas usia pensiun.
Bagi para pembelanya, perubahan ketiga pasal itu tak perlu dikhawatirkan. Bahkan, malah jelas: perwira TNI aktif yang menjabat di K/L selain yang dinyatakan Pasal 47 harus ditarik. Akan tetapi, pasal 7 tentang perluasan OMSP menjadi ”pasal karet” karena kini secara legal OMSP hanya diatur melalui peraturan presiden. Artinya, apa pun yang dipandang presiden layak dijadikan OMSP, akan membuka pintu bagi TNI aktif untuk terlibat dalam urusan sipil.
Bukan rahasia bahwa lumbung pangan (food estate), bahkan program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebenarnya juga dijalankan dengan pendekatan OMSP ini. Tak menutup juga kemungkinan eksekusi program pembangunan lainnya, lewat rencana ”100 Batalion Pembangunan” (Kompas, 5/2/2025).
Cabang angkatan bersenjata lain—polisi—juga siap mengubah UU-nya. Draf Revisi UU Polri sudah beredar luas. Padahal, surat presiden kepada DPR untuk revisi ini belum juga disampaikan. Tanpa bermaksud mendahului substansi revisi, patut diduga bahwa tujuannya adalah untuk melegalkan dan memperluas penempatan polisi aktif di K/L. Saat ini, dari penelusuran media, tercatat 17 perwira tinggi Polri aktif bekerja di K/L. Sejumlah pengamat bahkan mengatakan revisi UU Polri ”lebih berbahaya” ketimbang revisi UU TNI.
Kembalinya perwira aktif TNI dan Polri mengisi jabatan-jabatan sipil di K/L membawa kita pada kondisi seperti sebelum reformasi: dominasi militer di pemerintahan. Ini semua patut diwaspadai dan dikawal ketat. Anggota TNI dan Polri boleh saja menduduki jabatan sipil, tetapi harus meletakkan senjatanya dan tunduk pada tata kelola sipil. Itulah supremasi sipil.
Ketiga, kekhawatiran pada ancaman atas independensi BI dan kontrol pada ekonomi. Rencana revisi UU P2SK (Kompas, 13/3/2025) memang berjalan di atas propaganda ”tak perlu ada yang ditakutkan”. Namun, hingga terbukti sebaliknya, revisi ini amat patut dicurigai karena selalu ada potensi menyentuh kebebasan BI mengambil keputusan moneter. Jika karena revisi ini kebijakan moneter lantas dikendalikan pemerintah, stabilitas ekonomi kita akan makin rentan terhadap tekanan politik.
Cermatilah insiden dihentikannya perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 18 Maret 2025 karena anjlok 5 persen, lalu dibuka lagi dan malah anjlok lagi 2 persen. Tentu banyak faktor terlibat di situ. Namun, kedatangan pimpinan DPR di BEI sebagai reaksi ”negara” tidak dibaca positif oleh pasar. Apalagi Bareskrim lalu ditugaskan mengawasi bursa. Pesan apa yang mau disampaikan selain pemerintah mau mengontrol pasar?
Renungkan data ini: saat Prabowo dilantik pada 20 Oktober 2024, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di level 7.772,60; pada 21 Maret 2025, IHSG ditutup di level 6.258,18. Dengan demikian, IHSG turun 1.514,42 poin atau sekitar 19,48 persen sejak Prabowo menjabat. Bukankah ini pesan yang amat jelas dari pasar?
Bisa dibayangkan jika dengan revisi UU P2SK independensi BI jadi korban, plus seluruh indikasi pemerintah mau mengendalikan ekonomi, dalam jangka panjang dampaknya yaitu anjloknya rupiah, inflasi tak terkendali, kepercayaan investor hilang, dan hancurnya ekonomi.
Membiarkan bukan pilihan
Membiarkan semua ini bukanlah pilihan. Tiga perkara di atas hanya penanda utama. Masih banyak lainnya, misalnya rencana UU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) dan revisi UU KUHAP. Semua bisa dilihat dari kacamata yang sama: sejauh mana rencana berbagai revisi dan UU baru ini bisa dipastikan sejalan dengan amanat reformasi?
Pengesahan UU Revisi UU TNI menderita ”penyakit” yang sama dengan pengesahan UU IKN dan UU Omnibus Cipta Kerja: tertutup, tergesa-gesa, dan tidak memperhatikan aspirasi warga. Singkatnya, DPR gagal menjadi wakil rakyat yang semestinya mendahulukan kepentingan publik untuk tahu apa dampak UU yang akan mereka sahkan. Sebaliknya, DPR malah jadi penghalang rakyat untuk terlibat. Insiden penggerudukan Kontras dalam rapat tertutup Komisi I di Fairmont Hotel menunjukkan jantung perkara ini. Namun, bukannya dihargai, Kontras malah dikriminalisasi.
Mestinya DPR membuka mata atas seluruh perkara. Benar, mayoritas DPR kini diisi oleh koalisi pemenang pemilu, bahkan keberadaan PDI Perjuangan tak bisa lagi dianggap oposisi. Namun, DPR tak bisa menafikan fungsi utama sebagai pengontrol dan penyeimbang (check and balances) pemerintah. DPR bukan kepanjangan tangan pemerintah atau paduan suara yang hanya bisa mengiyakan semua kemauan pemerintah.
Di sisi lain, pemerintah harus introspeksi. Tuduhan bahwa pemerintahan ini makin mirip Orde Baru, itu serius. Bukan hanya kriminalisasi aktivis, pembredelan karya seni, atau represi pada masyarakat sipil, tapi ancaman pada kebebasan media juga nyata. Kasus ”teror kepala babi” dan ”bangkai tikus dipenggal” ke Redaksi Tempo (Kompas, 22/3/2025) adalah bukti tak terbantah.
Pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang terbuka, bukan yang menebarkan rasa takut saat program pembangunannya dikritik. Kritik pada MBG, misalnya, kalau dicermati, adalah kritik pada implementasi dan tata kelolanya, bukan substansinya.
Jika Presiden Prabowo serius memenuhi janjinya, seharusnya ia memerintahkan agar seluruh program prioritas dan strategis Astacita diumumkan terbuka ke publik demi keketatan tata kelola: kajian, uji coba, evaluasi atas uji coba, dan perluasannya. Hanya dengan cara ini, pemerintah mendapat kepercayaan publik yang lebih hakiki.
Krisis pemerintahan Prabowo ini adalah krisis teknokrasi dan komunikasi. Secara teknokrasi, keketatan perencanaan dan implementasi program pembangunan tidak, atau belum, terlihat apalagi teruji. Ini menimbulkan keraguan apakah pemerintah mampu menjalankan program-programnya sendiri.
Secara komunikasi, kemampuan pemerintah menanggapi secara simpatik persoalan publik amat lemah. Bayangkan, Kepala Kantor Komunikasi Presiden—meski bercanda—berujar ”dimasak saja” saat menanggapi teror kepala babi ke Tempo yang sejatinya mengancam independensi media. Bukan hanya tak pantas, melainkan jelas menunjukkan rendahnya kapasitas.
Saatnya bersikap
Reformasi 1998 bukan cuma sejarah untuk dikenang, melainkan fondasi masa depan. Jika kita sungguh mau negeri ini maju, jangan biarkan hasil-hasil reformasi ”dibunuh” satu-per-satu. Kita sudah kecolongan dengan pelemahan KPK dan revisi UU TNI. Jangan terjadi lagi.
Tiga usul konkret, pertama, seluruh UU baru yang bertentangan dengan hasil reformasi harus di-judicial review-kan ke MK. Kedua, mendesak DPR membuka seluruh proses legislasi. Draf terbaru seluruh rencana UU dan jadwal pembahasan harus terbuka dan bisa diakses publik untuk memberi masukan. Ketiga, mendesak pemerintah agar terbuka dengan rencana dan pelaksanaan program pembangunan strategis dan prioritas.
Di atas semuanya, penting mengembalikan rasa percaya pada negara yang ternoda. Negeri ini tak boleh mundur. Kita semua—masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi, dan semua elemen bangsa ini—harus berani bersuara lebih keras kepada DPR dan pemerintah: Tuan, demi masa depan negeri ini, jangan biarkan reformasi mati!
Yanuar Nugroho, Dosen STF Driyarkara Jakarta; Aktivis 1998; Deputi Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019.
Sumber: KOmpas/.id, Rabu, 25 Mar 2025 18:00 WIB · Opini