Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 29 Maret 2025

Momen Merayakan Toleransi (Tajuk Rencana Kompas)

 Momen Merayakan Toleransi

”It’s the most wonderful time of the year. There’ll be parties for hosting...” (Inilah saat yang paling indah dalam setahun. Saatnya menjadi tuan rumah untuk pesta).

Penggalan lirik lagu berjudul ”It’s the Most Wonderful Time of the Year” yang dilantunkan penyanyi Andy Williams tahun 1963 itu terasa sesuai dengan suasana akhir Maret ini di negeri kita. Inilah waktu yang indah karena saatnya kita menjadi tuan rumah untuk menggelar pesta. Bukan pesta biasa, melainkan pesta merayakan toleransi di negara ini.

Toleransi berasal dari kata dasar toleran, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti ’bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri’. Sesuai semangat Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua, warga negara Indonesia terdiri atas berbagai ragam latar belakang, termasuk agama.

Dan, pada akhir Maret ini, rakyat Nusantara akan menyambut hari raya Nyepi bagi umat Hindu pada Sabtu (29/3/2025) besok. Pada Senin (31/3), umat Islam akan memulai perayaan Idul Fitri. Hari raya kemenangan. Kedua hari besar umat beragama yang berbeda itu dirayakan pada saat umat Kristiani di Nusantara tengah menjalani masa pra-Paskah, menyambut hari raya Paskah, kebangkitan Yesus Kristus.

Hari raya Nyepi tahun ini menandai perayaan tahun baru Saka 1947, ditandai umat Hindu dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian. Umat mengurangi atau membatasi rutinitas, dengan tidak berkegiatan (amati karya), tidak menyalakan api (amati geni), tak keluar rumah (amati lelungaan), dan tak bersenang-senang (amati lelanguan). Umat juga diarahkan supaya mulat sarira hangrasa wani (berani mengintrospeksi diri).

Hari raya Idul Fitri, bagi kaum Muslim, adalah puncak dari pengendalian diri selama bulan puasa. Selama sekitar 30 hari, umat berusaha menahan diri dan mengendalikan hawa nafsu, serta menjalankan berbagai amalan baik. Selama bulan Ramadhan, umat berusaha lebih peduli dengan sesama. Pada waktu merayakan Lebaran, umat pun kembali ke fitrah, kembali suci dan bersih, yang antara lain ditandai dengan saling memaafkan lahir dan batin.

Inti perayaan Nyepi dan berpuasa, yang diakhiri dengan hari raya Idul Fitri pada akhir Maret ini, adalah senada. Warga diminta mengendalikan diri, tak mengumbar nafsu, dan pada akhirnya terlahir menjadi manusia baru. Dengan waktu perayaan keagamaan yang berimpitan, umat pun harus berbagi dan saling menghargai. Inilah makna toleransi. Dan, bukan kali ini saja hari raya keagamaan yang berbeda di negeri ini berlangsung berdekatan. Tahun 2023, misalnya, perayaan hari Nyepi juga berbarengan dengan awal puasa dan pra-Paskah.

Tentu akan terasa indah dan melegakan saat umat berbeda agama di Indonesia sungguh-sungguh bisa berbagi, saling menemani dan menghormati. Kesempatan untuk merayakan toleransi ini jangan sampai dilewatkan dengan perilaku warga atau aparat yang mencari keuntungan sesaat. Nusantara indah oleh perbedaan. Selamat merayakannya dalam persaudaraan.

Sumber: Tajuk Rencana Kompas, Jumat, 28 Maret 2025

Kamis, 27 Maret 2025

Legalisme Otokratis Merongrong Pacasila (Haryatmoko)

Legalisme Otokratis Merongrong Pancasila (Haryatmoko)

Legalisme otokratis adalah upaya merekayasa penyelenggaraan negara melalui penggunaan mekanisme hukum untuk mengukuhkan kekuasaan yang cenderung otoriter dengan tetap mempertahankan struktur resmi demokrasi (Levitsky dan Ziblatt, 2018).

Legalisme otokratis ini mengacu pada bagaimana pemimpin menggunakan hukum sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan dan tindakan untuk mempertahankan kekuasaan tanpa harus menggunakan kekerasan.

Kecenderungan legalisme otokratis melemahkan institusi demokratis (sila keempat) karena masyarakat dijauhkan dari partisipasi dalam pengambilan kebijakan dan penguasa membungkam suara kritis dengan menjadikan pengadilan dan aparat penegak hukum (APH) sebagai alat kriminalisasi lawan politik melalui lawfare (hukum dipakai sebagai senjata politik).

Jadi, legalisme otokratis ini juga melanggar sila kedua dan tuntutan sila pertama (moralitas pejabat publik). Padahal, Astacita Presiden Prabowo yang diletakkan di urutan pertama adalah memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM).

Kecerdikan perekayasa legalisme otokratis terletak dalam mengeksploitasi celah hukum, menerapkan hukum secara selektif, atau memanipulasi sistem peradilan untuk melemahkan lembaga-lembaga demokratis sembari mempertahankan kesan legalitas.

Memang, penguasa dan kroninya tidak melanggar prosedur demokrasi, tetapi memanipulasi hukum secara bertahap untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Strategi ini mengelabui masyarakat dengan tetap mempertahankan façade demokrasi: pemilu dan institusi hukum, tampaknya masih berfungsi.

Legalisme otokratis merupakan bentuk perusakan demokrasi yang sulit dikenali karena menggunakan mekanisme hukum yang tampak sah. Dengan mengubah hukum secara bertahap, menekan lawan politik melalui regulasi, serta mengendalikan narasi publik, pemimpin dapat membangun kekuasaan yang sulit dilawan tanpa perlu menghapus pemilu atau membubarkan parlemen.

Masyarakat tak menyadari bahwa sedang dikendalikan oleh sistem yang secara hukum tampak demokratis, tetapi pada hakikatnya telah kehilangan prinsip-prinsip demokrasi.

”Rule by law”, bukan ”rule of law”

Legalisme otokratis bukan sekadar teori hukum, tetapi juga ideologi politik yang menekankan efisiensi, kekuasaan negara yang kuat, serta supremasi hukum sebagai alat kontrol sosial dan politik (Tao Jiang, 2021).

Masalahnya, hukum digunakan lebih sebagai mekanisme rule by law (hukum sebagai alat kontrol negara atau untuk kepentingan negara), bukan rule of law, yaitu supremasi hukum di atas negara atau hukum yang melindungi individu dari kekuasaan negara (Lubman, 2000).

Maka, formalisme hukum (kepatuhan terhadap prosedur dan legalitas teknis) dieksploitasi untuk membenarkan tindakan yang tak demokratis sambil mengabaikan semangat demokrasi konstitusional, bisa juga dalam bentuk melanggar prosedur, transparansi, substansi, dan cacat politik dalam pengesahan UU.

Proses legalisasi melanggar secara prosedural ketika hukum disahkan tanpa konsultasi publik yang memadai. Lemahnya transparansi, ketika perubahan pasal dilakukan secara mendadak, tanpa pembahasan terbuka. Cacat dari sisi substansi karena hukum yang dibuat hanya menguntungkan kelompok tertentu atau merugikan kelompok lain tanpa alasan sah.

Dari sisi politik, ada legislative capture, yaitu proses legislasi dikendalikan oleh kelompok kepentingan tertentu yang memiliki kekuatan untuk menekan secara politis sehingga mengabaikan aspirasi rakyat. Pengesahan mendadak atau dipercepat tanpa alasan kuat: RUU disahkan dalam waktu singkat, apalagi bila ada indikasi legislator menerima gratifikasi.

Meski memiliki banyak UU dan sistem peradilannya juga berkembang, realitasnya hukum sering ditafsirkan sesuai dengan kepentingan penguasa. Hakim dan penegak hukum lain tak independen dan sering menerima instruksi dari pejabat partai yang berkuasa.

Korupsi dalam sistem hukum masih menjadi masalah besar, terutama dalam proses pengadilan dan penegakan hukum, bahkan sejak prosedur pengesahan RUU menjadi UU. Seandainya ada reformasi hukum, lebih dalam kerangka meningkatkan kepastian hukum di bidang ekonomi, tetapi tidak membawa independensi peradilan atau tidak menjamin perlindungan hak-hak sipil.

Merusak demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila sebagai demokrasi konstitusional mensyaratkan pemisahan kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif, yang saling mengawasi. Namun, dengan memperluas kekuasaan eksekutif secara hukum, memanipulasi hakim, atau membuat UU yang membatasi partisipasi lawan politik, penguasa otokratis melemahkan prinsip check and balance.

Penguasa menggunakan mayoritas parlemen untuk mengamendemen konstitusi atau mengintervensi proses legislasi demi memperkuat kendali eksekutif. Model perubahan ini sering dikemas dengan istilah yang memikat ”reformasi hukum” yang diperlukan untuk membuka lapangan kerja, efisiensi pemerintahan, kepastian hukum, dan stabilitas politik.

Kaum legalis otokratis biasanya mengikis demokrasi secara bertahap, membuat perubahan tampak bisa dibenarkan secara hukum dan tak mengancam. Incrementalism ini untuk mengurangi resistensi agar tak menimbulkan ketidakstabilan sosial-politik sehingga memungkinkan konsolidasi kekuasaan dari waktu ke waktu.

Ternyata berhadapan dengan legalisme otokratis, keberadaan hukum saja tidak cukup untuk melindungi demokrasi. Pertaruhan yang sesungguhnya terletak pada cara bagaimana kerangka hukum ditafsirkan, ditegakkan, dan dipertentangkan.

Hal ini karena penguasa dengan mudah bisa: (i) mengganti sistem pemilu agar menguntungkan partai berkuasa; (ii) membatasi akses oposisi ke media atau pendanaan kampanye; (iii) mengontrol lembaga penyelenggara pemilu agar berpihak kepada pemerintah dan mempersulit partai lawan; dan (iv) penguasa menggunakan hukum untuk menekan lawan politik dan kritik publik.

Demokrasi konstitusional bergantung pada peradilan yang independen sebagai penjaga supremasi hukum. Namun, legalisme otokratis menggunakan berbagai cara untuk mengontrol pengadilan, seperti mengangkat hakim yang loyal kepada pemerintah, bahkan mengubah hukum untuk mengganti hakim-hakim MK dengan hakim loyalis pemerintah. Membatasi yurisdiksi pengadilan dalam menangani kasus politik.

Depolitisasi masyarakat

Penganut legalisme otoriter menggunakan propaganda hukum untuk meyakinkan masyarakat bahwa semua tindakan mereka sah dan diperlukan. Media yang dikendalikan negara atau sekutu pemerintah memainkan peran besar dalam menyebarkan narasi legitimasi ini.

Misalnya: ”Kita hanya ingin menegakkan ketertiban dan hukum.” ”UU baru ini dibuat untuk melindungi kemajuan bangsa dan menciptakan lapangan pekerjaan.” ”Lawan politik yang didanai asing sedang berusaha mengacaukan negara dengan melawan hukum.”

Narasi legitimasi yang diperkuat dengan kebijakan populis digunakan untuk mendeskreditkan lawan-lawan politik dan membuai lapisan besar masyarakat sampai opini publik berpihak kepada penguasa. Akibatnya, terjadi depolitisasi masyarakat.

Kebijakan populis (subsidi, bansos, Makan Siang Gratis) digunakan untuk membangun loyalitas masyarakat agar tak lagi mempersoalkan masalah kebebasan politik. Menyebarkan gagasan bahwa ”politik itu kotor” sehingga masyarakat kehilangan minat dalam perubahan politik.

Medsos diawasi dan digunakan untuk menyebarkan propaganda serta menyerang lawan politik dengan buzzer, troll atau penggunaan kecerdasan buatan men-take down informasi atau suara-suara yang kritis atau melawan penguasa. Parlemen tetap berfungsi, tetapi sebagian besar anggotanya ada di bawah kendali aliansi partai yang berkuasa.

Masih ada ruang untuk perbedaan pendapat dan kritis, tetapi dikontrol ketat dan hanya berfungsi sebagai pelengkap demokrasi semu. Ada forum konsultasi publik, tetapi keputusan akhir tetap ditentukan elite penguasa

Dampak legalisme otokratik

Dampak politik legalisme otokratik ialah penurunan kebebasan sipil. Wartawan, akademisi, dan aktivis mulai menghadapi tekanan hukum, seperti tuntutan defamasi atau UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pemerintah memanfaatkan propaganda untuk membangun narasi bahwa mereka yang kritis kepada pemerintah adalah pengkhianat, agen asing, atau ancaman bagi negara. Perpecahan sosial dan polarisasi politik meningkat antara pendukung pemerintah dan kelompok prodemokrasi.

Dampak ekonomi, ketidakpastian bagi investor dan dunia usaha. Jika aturan hukum jadi lebih fleksibel untuk kepentingan politik, investor mulai ragu terhadap stabilitas jangka panjang. Korupsi kian meningkat karena hukum dipakai untuk melindungi kroni politik.

Pemerintah menggunakan hukum untuk mengatur perusahaan atau industri tertentu guna memperkuat cengkeraman mereka atas ekonomi, sehingga berkembang sistem ekonomi patronase (crony capitalism): bisnis dan proyek negara diberikan kepada orang-orang dekat pemerintah. Investor menarik modalnya karena melihat bahwa aturan hukum tak fair dan dapat berubah sesuai kepentingan politik.

Ketimpangan sosial semakin tajam karena hanya kroni penguasa yang mendapatkan manfaat ekonomi. Rakyat dipaksa hidup dalam kondisi ekonomi yang semakin sulit karena inflasi, pajak yang tinggi, atau ketidakpastian kerja. Kritik terhadap pemerintah dikriminalisasi, menciptakan efek ketakutan dalam masyarakat.

Politik identitas digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Masyarakat menjadi kian terpolarisasi dan sulit bersatu kembali. Perusahaan atau orang yang mendukung partai lawan atau bersikap netral mengalami tekanan, melalui pajak atau regulasi yang diskriminatif.

Lembaga demokrasi kehilangan fungsinya karena parlemen berubah jadi lembaga simbolis tanpa kekuatan nyata dikendalikan oleh aliansi partai berkuasa. Sistem peradilan semakin tunduk ke eksekutif, membuat keputusan yang menguntungkan pemerintah dan membatasi oposisi, sehingga kehilangan independensinya.

Eksodus kaum intelektual dan profesional (brain drain). Orang-orang berbakat, termasuk akademisi dan pengusaha, mulai meninggalkan negara karena lemahnya kebebasan dan kesempatan untuk berkembang. Jika represi terus dilakukan, ketidakstabilan politik bisa meningkat sehingga berisiko memantik pergolakan sosial.

Legalisme otokratis dalam jangka panjang merusak kebebasan sipil, menghancurkan keadilan hukum, memperburuk korupsi, dan menciptakan negara otoriter dengan kontrol penuh atas politik, ekonomi, dan masyarakat. Untuk menghindari jebakan ini, penting bagi masyarakat sipil, media, akademisi, dan institusi hukum untuk tetap waspada terhadap setiap upaya legalisasi otoritarianisme, sebelum sistem demokrasi benar-benar runtuh.

Haryatmoko Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP dan Anggota AIPI Komisi Kebudayaan

Sumber: Opini - Kompas.id, Kamis 27 Maret 2025

Ancaman Teror Kebebasan Pers (Redaksi Kompas)

Ancaman Serius Kebebasan Pers (Redaksi Kompas)

Teror kiriman kepala babi dengan telinga yang telah dipotong ke kantor Redaksi Tempo merupakan ancaman serius terhadap kebebasan dan kemerdekaan pers.

Hari Rabu (19/3/2025) pukul 15.15 WIB, kantor Redaksi Tempo mendapat kiriman paket berupa kotak kardus yang dilapisi styrofoam. Setelah dibuka pada keesokan harinya, paket ternyata berisi kepala babi dengan dua telinganya telah dipotong. 

Setelah kiriman paket berisi kepala babi, pada Sabtu (22/3/2025) pagi petugas kebersihan Tempo menemukan kardus yang dibungkus kertas kado dan berisi enam ekor bangkai tikus, dengan kondisi kepala yang terpenggal.

Ada dugaan kiriman paket-paket tersebut merupakan teror yang terencana. Pada hari yang sama, saat paket berisi kepala babi dikirim, di Dewan Pers tengah ada aksi unjuk rasa yang menuduh Tempo terafiliasi dengan kepentingan asing.

Teror kiriman berisi kepala babi dan bangkai tikus ke Tempo juga bersamaan dengan keramaian penolakan publik atas revisi Undang-Undang TNI. Sejumlah elemen masyarakat sipil menolak revisi UU TNI yang dinilai bakal membawa kembali dwi fungsi ABRI dan melemahkan demokrasi serta supremasi sipil. Media yang merupakan salah satu elemen masyarakat sipil juga bersikap kritis selama proses revisi UU TNI itu.

Sampai saat ini belum diketahui siapa pengirim paket berisi kepala babi dan otak pelaku teror terhadap Tempo serta wartawannya. Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo telah memerintahkan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Wahyu Widada untuk menyelidiki kasus ini. Dengan kemampuan  Polri, seharusnya tidak sulit menangkap dan mengungkap para pelaku teror.

Lebih dari apa pun, teror ini jelas merupakan ancaman terhadap kebebasan dan kemerdekaan pers. UU Pers dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. 

Jika para pelaku teror terhadap pers dibiarkan, yang terancam sesungguhnya adalah demokrasi dan kehidupan bernegara di Indonesia.

Sejumlah pewarta dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, seniman, dan beberapa elemen masyarakat bersama-sama menggelar aksi peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (3/5/2014). Dalam aksi peringatan ini, mereka juga membagikan pamflet berisi ajakan peningkatan profesionalisme jurnalis serta kebebasan pers serta tuntutan pengusutan berbagai kasus kekerasan yang menimpa jurnalis dalam tugasnya, termasuk kasus tewasnya wartawan Bernas , Udin, pada tahun 1996, yang hingga kini belum tuntas.

Tiga tahun terakhir, Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) nasional turun berturut-turut. Tahun 2022, IKP mencapai 77,88, pada 2023 IKP turun menjadi 71,57, dan turun tajam menjadi 69,36 di tahun lalu. Penurunan IKP memperlihatkan bahwa kondisi pers nasional sedang tidak baik-baik saja.

Laporan Dewan Pers menyebut bahwa kekerasan dan serangan digital terhadap insan pers merupakan salah satu indikator penting yang membuat kemerdekaan pers merosot.

Untuk itu, pemerintah melalui penegak hukum seperti Polri harus merespon serius teror terhadap kebebasan pers ini dengan menangkap dan menghukum pelakunya.

Kita tentu tak ingin kembali ke era otoritarianisme Orde Baru saat pers dikontrol ketat oleh penguasa. Sebab, seperti yang dikatakan Ruth Kronenburg, pemimpin Free Press Unlimited, organisasi kebebasan pers internasional, ”Kebebasan perslah yang pertama ditentang ketika pemimpin otoritarian datang!”

Sumber: Kompas.id - Kamis, 27 Mar 2025 07:00 WIB · Opini

Rabu, 26 Maret 2025

Tuan, Jangan Biarkan Reformasi Mati (Yanuar Nugroho)

 Tuan, Jangan Biarkan Reformasi Mati

Oleh Yanuar Nugroho

Dua puluh enam tahun lalu, Reformasi 1998 membawa harapan besar bagi negeri ini. Rakyat turun ke jalan menuntut perubahan, mengakhiri pemerintahan otoriter Orde Baru, membuka babak baru demokrasi.

Hasilnya, sejumlah perbaikan terjadi, baik di bidang politik, sosial, maupun ekonomi. Mulai dari pembatasan masa jabatan presiden, desentralisasi dan otonomi daerah, kebebasan pers, pembebasan tahanan politik, diakhirinya dwifungsi ABRI, hingga stabilisasi ekonomi, independensi Bank Indonesia, dan pemberantasan korupsi.

Namun, apa yang terlihat hari-hari ini menunjukkan berbagai capaian reformasi berantakan atau malah dihancurkan. Beragam kebijakan dan rencana revisi sejumlah undang-undang (UU) jelas menunjukkan gejala itu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah dilemahkan, berbagai urusan pembangunan daerah ditarik pusat, kebebasan pers dan masyarakat sipil berekspresi mulai dibatasi. Paling mutakhir: disahkannya UU Revisi atas UU TNI.

Namun, itu belum usai. Beredar luas kekhawatiran lain, misalnya: rencana Revisi UU Kepolisian, Revisi UU Kejaksaan, Revisi UU KUHAP, dan Revisi UU Penguatan dan Pengembangan Sistem Keuangan (P2SK) yang ditengarai akan mengurangi independensi BI.

Jika semua ini terjadi, bukan hanya reformasi yang akan mati, melainkan juga demokrasi. Bangsa ini akan terpuruk dan sangat mungkin menjadi negara gagal.

Reformasi sebagai fondasi

Reformasi 1998 menjadi momen kunci perbaikan negeri. Pertama, dalam politik, salah satu capaian terbesar adalah terbukanya ruang bagi demokrasi dan kebebasan politik. Masyarakat punya lebih banyak kesempatan terlibat dalam proses pengambilan keputusan, baik melalui pemilu yang lebih bebas maupun parpol yang semakin beragam.

Untuk mencegah kekuasaan absolut, masa jabatan presiden dibatasi maksimal dua periode, masing-masing lima tahun. Ini agar tak ada lagi presiden berkuasa tanpa batas waktu, seperti sebelum reformasi dulu. Dwifungsi ABRI juga dihapuskan, untuk memastikan militer tidak lagi terlibat dalam urusan pemerintahan sipil, yang menjadi syarat utama bagi negara demokratis.

Reformasi juga mengubah struktur pemerintahan secara mendasar dengan memberikan lebih banyak kewenangan kepada pemerintah daerah. Desentralisasi memungkinkan daerah mengelola sendiri berbagai aspek pemerintahannya tanpa bergantung pada pusat. Dengan otonomi, kebijakan bisa lebih sesuai dengan kebutuhan warga setempat.

Kedua, dalam dimensi sosial, reformasi menghapus sensor ketat yang lama mengekang kebebasan pers dan berbicara. Media yang sebelumnya dikontrol pemerintah kini dapat melaporkan nyaris apa saja tanpa takut dibredel, memberi ruang bagi transparansi dan akuntabilitas. Masyarakat kian bebas menyuarakan pendapat, baik melalui demonstrasi, diskusi publik, maupun medsos.

Reformasi juga memberi ruang bagi pembentukan ormas dan serikat buruh. Dulu, negara sangat menekan kelompok pekerja dan masyarakat sipil; kini mereka bisa bersatu memperjuangkan hak-haknya. Selain itu, banyak tahanan politik akhirnya dibebaskan sebagai bentuk penghormatan terhadap HAM.

Ketiga, dari segi ekonomi, reformasi membawa perubahan besar setelah kita terpuruk dalam krisis finansial Asia 1997-1998. Pemerintah dipaksa mengambil berbagai langkah untuk menstabilkan ekonomi, termasuk menjalin kerja sama dengan lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan memastikan independensi BI. Tujuannya, guna mengembalikan kepercayaan investor, menjaga stabilitas keuangan nasional, dan menjaga kebijakan moneter tak dipermainkan oleh kepentingan politik.

Selain itu, dibentuk KPK sebagai lembaga yang bertugas memberantas korupsi yang sudah menjadi penyakit kronis dalam birokrasi dan bisnis. Ini agar Indonesia memiliki pemerintahan yang lebih bersih dan transparan supaya ekonomi tumbuh lebih sehat. Peluang bagi sektor swasta dan investasi asing juga dibuka lebih lebar untuk menciptakan ekonomi yang lebih dinamis dan kompetitif, membuka lapangan pekerjaan baru, serta meningkatkan daya saing.

Jika gagal membuat kondisi bangsa ini menjadi lebih baik, penambahan kata sifat pada demokrasi menjadi tidak signifikan lagi.

Pertama, pelemahan institusi pemberantasan korupsi. Sejak revisi UU KPK 2019, KPK yang sebelumnya kuat dicabut independensinya dan dijadikan bagian dari pemerintah. Dampaknya luas: rusaknya efektivitas penindakan, pencegahan, ataupun kepercayaan publik terhadap institusi negara. 

Dalam keprihatinan ini pula mesti dicermati rencana Revisi UU Kejaksaan. Selain KPK, Kejaksaan juga memainkan peran penting pemberantasan korupsi. Mesti dipastikan ini tak dilemahkan. 

Kedua, kembalinya keluasan peran militer, di pemerintahan sipil. Disahkannya UU Revisi atas UU TNI penting dicermati. Memang hanya tiga pasal yang berubah: pasal 7 terkait perluasan OMSP (operasi militer selain perang), pasal 47 tentang penambahan jumlah kementerian/lembaga (K/L) yang bisa dimasuki TNI aktif, dan pasal 53 mengenai batas usia pensiun.

Bagi para pembelanya, perubahan ketiga pasal itu tak perlu dikhawatirkan. Bahkan, malah jelas: perwira TNI aktif yang menjabat di K/L selain yang dinyatakan Pasal 47 harus ditarik. Akan tetapi, pasal 7 tentang perluasan OMSP menjadi ”pasal karet” karena kini secara legal OMSP hanya diatur melalui peraturan presiden. Artinya, apa pun yang dipandang presiden layak dijadikan OMSP, akan membuka pintu bagi TNI aktif untuk terlibat dalam urusan sipil.

Bukan rahasia bahwa lumbung pangan (food estate), bahkan program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebenarnya juga dijalankan dengan pendekatan OMSP ini. Tak menutup juga kemungkinan eksekusi program pembangunan lainnya, lewat rencana ”100 Batalion Pembangunan” (Kompas, 5/2/2025).

Cabang angkatan bersenjata lain—polisi—juga siap mengubah UU-nya. Draf Revisi UU Polri sudah beredar luas. Padahal, surat presiden kepada DPR untuk revisi ini belum juga disampaikan. Tanpa bermaksud mendahului substansi revisi, patut diduga bahwa tujuannya adalah untuk melegalkan dan memperluas penempatan polisi aktif di K/L. Saat ini, dari penelusuran media, tercatat 17 perwira tinggi Polri aktif bekerja di K/L. Sejumlah pengamat bahkan mengatakan revisi UU Polri ”lebih berbahaya” ketimbang revisi UU TNI.

Kembalinya perwira aktif TNI dan Polri mengisi jabatan-jabatan sipil di K/L membawa kita pada kondisi seperti sebelum reformasi: dominasi militer di pemerintahan. Ini semua patut diwaspadai dan dikawal ketat. Anggota TNI dan Polri boleh saja menduduki jabatan sipil, tetapi harus meletakkan senjatanya dan tunduk pada tata kelola sipil. Itulah supremasi sipil.

Ketiga, kekhawatiran pada ancaman atas independensi BI dan kontrol pada ekonomi. Rencana revisi UU P2SK (Kompas, 13/3/2025) memang berjalan di atas propaganda ”tak perlu ada yang ditakutkan”. Namun, hingga terbukti sebaliknya, revisi ini amat patut dicurigai karena selalu ada potensi menyentuh kebebasan BI mengambil keputusan moneter. Jika karena revisi ini kebijakan moneter lantas dikendalikan pemerintah, stabilitas ekonomi kita akan makin rentan terhadap tekanan politik.

Cermatilah insiden dihentikannya perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 18 Maret 2025 karena anjlok 5 persen, lalu dibuka lagi dan malah anjlok lagi 2 persen. Tentu banyak faktor terlibat di situ. Namun, kedatangan pimpinan DPR di BEI sebagai reaksi ”negara” tidak dibaca positif oleh pasar. Apalagi Bareskrim lalu ditugaskan mengawasi bursa. Pesan apa yang mau disampaikan selain pemerintah mau mengontrol pasar?

Renungkan data ini: saat Prabowo dilantik pada 20 Oktober 2024, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di level 7.772,60; pada 21 Maret 2025, IHSG ditutup di level 6.258,18.  Dengan demikian, IHSG turun 1.514,42 poin atau sekitar 19,48 persen sejak Prabowo menjabat. Bukankah ini pesan yang amat jelas dari pasar?  

Bisa dibayangkan jika dengan revisi UU P2SK independensi BI jadi korban, plus seluruh indikasi pemerintah mau mengendalikan ekonomi, dalam jangka panjang dampaknya yaitu anjloknya rupiah, inflasi tak terkendali, kepercayaan investor hilang, dan hancurnya ekonomi.

Membiarkan bukan pilihan

Membiarkan semua ini bukanlah pilihan. Tiga perkara di atas hanya penanda utama. Masih banyak lainnya, misalnya rencana UU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) dan revisi UU KUHAP. Semua bisa dilihat dari kacamata yang sama: sejauh mana rencana berbagai revisi dan UU baru ini bisa dipastikan sejalan dengan amanat reformasi?

Pengesahan UU Revisi UU TNI menderita ”penyakit” yang sama dengan pengesahan UU IKN dan UU Omnibus Cipta Kerja: tertutup, tergesa-gesa, dan tidak memperhatikan aspirasi warga. Singkatnya, DPR gagal menjadi wakil rakyat yang semestinya mendahulukan kepentingan publik untuk tahu apa dampak UU yang akan mereka sahkan. Sebaliknya, DPR malah jadi penghalang rakyat untuk terlibat. Insiden penggerudukan Kontras dalam rapat tertutup Komisi I di Fairmont Hotel menunjukkan jantung perkara ini. Namun, bukannya dihargai, Kontras malah dikriminalisasi.

Mestinya DPR membuka mata atas seluruh perkara. Benar, mayoritas DPR kini diisi oleh koalisi pemenang pemilu, bahkan keberadaan PDI Perjuangan tak bisa lagi dianggap oposisi. Namun, DPR tak bisa menafikan fungsi utama sebagai pengontrol dan penyeimbang (check and balances) pemerintah. DPR bukan kepanjangan tangan pemerintah atau paduan suara yang hanya bisa mengiyakan semua kemauan pemerintah.

Di sisi lain, pemerintah harus introspeksi. Tuduhan bahwa pemerintahan ini makin mirip Orde Baru, itu serius. Bukan hanya kriminalisasi aktivis, pembredelan karya seni, atau represi pada masyarakat sipil, tapi ancaman pada kebebasan media juga nyata. Kasus ”teror kepala babi” dan ”bangkai tikus dipenggal” ke Redaksi Tempo (Kompas, 22/3/2025) adalah bukti tak terbantah.

Pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang terbuka, bukan yang menebarkan rasa takut saat program pembangunannya dikritik. Kritik pada MBG, misalnya, kalau dicermati, adalah kritik pada implementasi dan tata kelolanya, bukan substansinya.

Jika Presiden Prabowo serius memenuhi janjinya, seharusnya ia memerintahkan agar seluruh program prioritas dan strategis Astacita diumumkan terbuka ke publik demi keketatan tata kelola: kajian, uji coba, evaluasi atas uji coba, dan perluasannya. Hanya dengan cara ini, pemerintah mendapat kepercayaan publik yang lebih hakiki.

Krisis pemerintahan Prabowo ini adalah krisis teknokrasi dan komunikasi. Secara teknokrasi, keketatan perencanaan dan implementasi program pembangunan tidak, atau belum, terlihat apalagi teruji. Ini menimbulkan keraguan apakah pemerintah mampu menjalankan program-programnya sendiri.

Secara komunikasi, kemampuan pemerintah menanggapi secara simpatik persoalan publik amat lemah. Bayangkan, Kepala Kantor Komunikasi Presiden—meski bercanda—berujar ”dimasak saja” saat menanggapi teror kepala babi ke Tempo yang sejatinya mengancam independensi media. Bukan hanya tak pantas, melainkan jelas menunjukkan rendahnya kapasitas.

Saatnya bersikap

Reformasi 1998 bukan cuma sejarah untuk dikenang, melainkan fondasi masa depan. Jika kita sungguh mau negeri ini maju, jangan biarkan hasil-hasil reformasi ”dibunuh” satu-per-satu. Kita sudah kecolongan dengan pelemahan KPK dan revisi UU TNI. Jangan terjadi lagi.

Tiga usul konkret, pertama, seluruh UU baru yang bertentangan dengan hasil reformasi harus di-judicial review-kan ke MK. Kedua, mendesak DPR membuka seluruh proses legislasi. Draf terbaru seluruh rencana UU dan jadwal pembahasan harus terbuka dan bisa diakses publik untuk memberi masukan. Ketiga, mendesak pemerintah agar terbuka dengan rencana dan pelaksanaan program pembangunan strategis dan prioritas.

Di atas semuanya, penting mengembalikan rasa percaya pada negara yang ternoda. Negeri ini tak boleh mundur. Kita semua—masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi, dan semua elemen bangsa ini—harus berani bersuara lebih keras kepada DPR dan pemerintah: Tuan, demi masa depan negeri ini, jangan biarkan reformasi mati!

Yanuar Nugroho, Dosen STF Driyarkara Jakarta; Aktivis 1998; Deputi Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019.

Sumber: KOmpas/.id, Rabu, 25 Mar 2025 18:00 WIB · Opini


Selasa, 25 Maret 2025

Memutus Kekerasan di Papua (Tajuk Rencana Kompas)

Jangan sampai kita kehabisan waktu dan kesempatan untuk menyelesaikan persoalan Papua.

Kekerasan oleh kelompok kriminal bersenjata terus terjadi di Tanah Papua. Butuh kehendak politik yang kuat untuk memutus rantai kekerasan  ini.

Kekerasan terakhir terjadi di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, yang mengakibatkan seorang guru tewas dan tujuh orang terluka. Selain menyerang warga, dalam peristiwa yang terjadi  Jumat (21/3/2025) itu, kelompok kriminal bersenjata (KKB) juga membakar rumah dan sekolah.

Teror kepada guru dan warga sipil lainnya, seperti tenaga kesehatan, di wilayah Papua sudah beberapa kali dilakukan KKB. Pada Oktober 2023, misalnya, KKB menyerang lima tenaga kesehatan di Puskesmas Distrik Amuma, Yahukimo. 

Kekerasan oleh KKB juga menunjukkan peningkatan. Catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) perwakilan Papua, 71 orang tewas  dalam 85 kasus kekerasan di Tanah Papua selama periode 1 Januari-9 Desember 2024. Dari 71 korban tewas itu, 40 orang adalah warga sipil, 15 aparat keamanan, 15 orang sipil bersenjata, dan 1 warga negara asing (Kompas, 11/12/2024).

Jumlah korban dan kasus kekerasan pada 2024 ini lebih banyak dibandingkan dengan 2023. Pada 2023 terjadi 65 kasus kekerasan dengan  40 orang tewas. Selain korban jiwa, kekerasan di Papua  juga mengganggu pelayanan dasar kepada publik, seperti pendidikan dan kesehatan di daerah itu.   

Kian banyaknya kekerasan di Papua menjadi ironi karena pada 2023 dan 2024 pemerintah intensif melakukan pendekatan kesejahteraan. Sepanjang tahun itu, pendekatan kesejahteraan, antara lain, dilakukan  Presiden (saat itu) Joko Widodo dengan menggalakkan pembangunan infrastruktur dan mengunjungi Papua untuk menyapa warga setempat. Langkah ini melengkapi kebijakan lainnya, seperti otonomi khusus yang dilakukan sejak tahun 2001.

Persoalan di Papua ternyata dapat diselesaikan dengan dialog, bukan dengan kekerasan.

Namun, di tengah ironi ini, KKB membebaskan pilot Susi Air, Philip Mark Mehrtens, yang mereka sandera selama 19 bulan. Warga Selandia Baru itu disandera KKB sejak 7 Februari 2023 dan dibebaskan pada 21 September 2024. Pembebasan Mehrtens tidak lepas dari peran tim mediasi yang dipimpin mantan Penjabat Bupati Nduga Edison Nggwijangge. 

Belajar dari penyanderaan Mehrtens, persoalan di Papua ternyata dapat diselesaikan dengan dialog, bukan dengan kekerasan. Di tengah sejumlah upaya yang selama ini telah dilakukan untuk menyelesaikan persoalan  Papua, jalan dialog perlu lebih diintensifkan di samping pendekatan lainnya.

Banyak kajian telah dilakukan untuk menjalankan dialog dan mencegah kekerasan di Papua. Tiap-tiap pihak juga telah saling mengetahui posisi dan keinginan dalam dialog guna menciptakan perdamaian dan keadilan di Papua.

Kini yang dibutuhkan adalah kehendak politik yang kuat untuk menggelar dialog tersebut. Kekerasan tak pernah menyelesaikan persoalan dan hanya menimbulkan lingkaran dendam. Jangan sampai kita kehabisan waktu  dan kesempatan untuk menyelesaikan persoalan Papua.

Sumber: Kompas.id, 25 Mar 2025 07:00 WIB Kolom: Opini

Pulang Mudik: Selebrasi Agama dan Budaya (Komaruddin Hidayat)

 Acara pulang mudik Lebaran selalu disambut dengan antusias oleh masyarakat layaknya sebuah selebrasi kolosal. Pulang mudik bukan sekadar melepas rindu kampung halaman, melainkan juga dihayati sebagai rangkaian rasa syukur dengan berakhirnya ibadah puasa selama sebulan.

Ada keyakinan bagi mereka yang berpuasa bahwa ampunan Tuhan yang dijanjikan dalam bulan Ramadhan akan terganjal jika antara anak dan orangtua dan antara sesama teman serta keluarga belum saling memaafkan. Makanya acara pulang mudik juga punya makna spiritual yang kental, di samping melepas rindu dan napak tilas dengan kampung halaman. Mereka berkumpul dan berhalalbihalal saling memaafkan terutama dengan keluarga dan tetangga.

Selama bulan Ramadhan umat Islam bagaikan berjalan memasuki lorong waktu yang suasananya serba bernuansa spiritual. Tiba-tiba mereka lebih dekat dengan Tuhan, dekat dengan masjid, dengan kitab suci, rajin sembahyang, rajin mendengarkan ceramah keagamaan, dan semua ucapan serta tindakannya pun serba terkontrol. Yang unik, jadwal tidur dan jadwal makan juga berubah, tetapi semuanya dilakukan dengan suka cita.

Menjelang waktu iftar, restauran di mal dan masjid penuh dengan acara buka bersama. Acara buka bersama ini juga diselenggarakan di kota-kota besar dunia, seperti New York, London, Moskwa, yang berlangsung layaknya sebuah selebrasi dan festival makanan berkelas internasional.

Memperkuat Kohesi Sosial

Sebagai bangsa yang sedemikian plural dari sisi etnis, pulang mudik secara sosiologis sangat instrumental untuk menjaga identitas diri dan akar sosial seseorang. Dengan mudik bersama orangtua, generasi milenial dan gen-Z sebagai produk dari perkawinan silang lintas etnis (cross ethnical marriage) diharapkan lebih familiar dengan tradisi dan akar sosial orangtuanya karena mereka lahir dan tumbuh di kota. Mereka berjumpa dengan keluarga besarnya, menjadi forum untuk saling mengenal dan menumbuhkan empati terhadap realitas kehidupan masyarakat daerah.

Sering dikatakan bahwa DNA bangsa ini adalah pluralitas dan religiositas. Ini bisa kita saksikan selama aktivitas Ramadhan dan acara pulang mudik yang tidak hanya diikuti dan dinikmati oleh umat Islam saja, tetapi juga terbuka bagi pemeluk agama lain untuk ikut serta meramaikan.

Dilihat dari aspek perputaran uang dan ekonomi, acara mudik ikut mendorong pemerataan putaran uang dan meramaikan bidang bisnis jasa, seperti perhotelan, restoran, dan transportasi. Hari libur Lebaran yang cukup panjang juga dinikmati oleh teman-teman non-Muslim.

Penumpang Kapal Motor Awuk milik PT Pelni dari Kumai, Kalimantan Tengah saat turun di Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (20/3/2025). Bagi perantau yang masih memiliki keterikatan dengan kampung halamannya karena keluarga, orangtua, dan kerabat menjadikan mudik sebagai momentum untuk bertemu. PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau Pelni memproyeksikan penumpang periode Angkutan Lebaran 2025 sebanyak 644.102 orang.

Penumpang Kapal Motor Awuk milik PT Pelni dari Kumai, Kalimantan Tengah, saat turun di Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (20/3/2025). PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau Pelni memproyeksikan penumpang periode Angkutan Lebaran 2025 sebanyak 644.102 orang.

Indonesia dengan penduduk yang besar dengan alamnya yang luas serta indah, acara mudik juga merupakan acara wisata budaya religius yang menggairahkan. Bandingkan dengan negara kecil semacam Brunei atau Singapura, pasti tidak punya tradisi mudik yang heboh seperti di Indonesia mengingat tidak sampai dua jam perjalanan mobil sudah bertemu perbatasan negara.

Selesai dari pulang mudik, biasanya dilanjutkan lagi dengan acara halalbihalal yang diselenggarakan di lingkungan kompleks perumahan dan perkantoran dalam suasana yang lebih inklusif. Semakin terasa bahwa rangkaian acara Idul Fitri itu telah memperkuat kohesi sosial dari bangsa yang plural ini. Para politisi pun saling berlomba menjumpai konstituennya. Mereka mesti meminta maaf kepada rakyat, banyak janji politik yang belum atau tidak dilaksanakan.

Sinergi Agama dan Budaya

Agama dan budaya di Indonesia tumbuh secara sinergis. Masing-masing saling memperkaya terhadap yang lain. Bahkan jumlah hari libur nasional paling banyak berkaitan dengan hari besar keagamaan, khususnya Islam, yang diperingati oleh negara di istana ataupun oleh masyarakat. Tradisi dan ekspresi kultural keagamaan yang telah menyatu dengan budaya bangsa Indonesia jauh lebih kaya dibandingkan ekspresi kultural keagamaan yang berkembang di negara-negara Arab.

Hal ini mudah difahami mengingat sebelum Islam masuk dan berkembang di Indonesia, di bumi Nusantara sudah tumbuh maju dan kaya kebudayaannya. Sangat berbeda dari kondisi sosial tanah Arabia ketika Islam muncul di abad ke-6 yang ragam kebudayaannya tidak sekaya Indonesia. Oleh karenanya perjumpaan budaya dan agama di Indonesia sangat warna-warni. Masing-masing daerah memiliki keunikan tersendiri sejalan dengan kebinekaan rakyat Indonesia.

Semakin terasa bahwa rangkaian acara Idul Fitri itu telah memperkuat kohesi sosial dari bangsa yang plural ini.

Kekayaan dan kelenturan budaya Nusantara ini telah melahirkan ekspresi budaya keagamaan yang khas, baik yang terjadi pada agama Hindu, Buddha, Islam, ataupun Kristen yang berbeda dari tanah leluhurnya tempat agama itu dilahirkan. Makanya jika ada kalangan yang mengaku habib keturunan Arab yang memandang Islam Indonesia penuh khurafat yang bercampur tradisi lokal, perlu disadari bahwa tak ada agama yang tumbuh tanpa kendaraan dan baju budaya.

Tanpa kendaraan budaya, sebuah agama sulit berkembang. Kita di Indonesia pun senantiasa bisa membedakan mana unsur Islamisme dan mana unsur Arabisme. Tidak semua yang berbau Arab dan datang dari Arab adalah ajaran Islam. Antara unsur budaya lokal dan agama tidak bisa dipisahkan, tetapi bisa dibedakan.

Kegagalan Membangun Etika Politik

Dari aspek ritual dan ekspresi kultural, Islam di Indonesia berkembang sangat mengesankan. Sampai-sampai hasil survei selalu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia itu dikenal religius. Masyarakatnya memandang agama sebagai faktor penting dalam hidupnya. Jemaah jumrah setiap hari tak pernah sepi. Identitas keagamaan bahkan diabadikan dalam kartu tanda penduduk.

Namun hasil survei itu ternyata berbading lurus dengan hasil survei tingkat korupsi yang terjadi di Indonesia yang juga tinggi. Orang pun secara sinis sering membandingkan dengan negara sekuler yang ekonominya maju, sistim pemerintahannya telah mapan, yang tingkat korupsinya sangat rendah. Secara karikatural bahkan dibandingkan dengan China yang ateis tapi lebih tegas dalam memberantas korupsi. Orang pun bertanya, apa dampak keberagamaan dalam membangun etika publik dan etika bernegara?

Bagaimana memahami gambaran yang paradoksal ini? Ada tiga catatan penting yang akan saya kemukakan di sini. Pertama, ada dua kategori dosa. Yaitu dosa individual (individual sin) dan dosa sosial (social crime). Dulu ketika masyarakat hidupnya masih sangat sederhana, dosa sosial seperti mencuri, merampok, dan melanggar norma sosial, diselesaikan oleh tokoh masyarakat atau diselesaikan melalui mekanisme pengadilan adat.

Dua, dakwah agama selama ini lebih banyak menekankan dimensi ritual dan amar mahruf (mengajak pada kebaikan), tetapi lemah dalam aspek nahi munkar, mencegah kemungkaran yang mendatangkan kerusakan sosial (fasad). Terlebih lagi kemungkaran yang bersifat struktural-sistemik, seakan di luar jangkauan ilmu dan wacana para pendakwah.

Tiga, dengan lahirnya negara bangsa, maka menjadi tugas negara untuk melakukan amar maruf-nahi munkar dalam ruang publik dan kehidupan bernegara.

Jadi, sekalipun para kiai dan pendeta berbusa-busa mengecam korupsi, mereka tidak memiliki otoritas dan kompetensi politik untuk memberantasnya. Tugas itu telah diambil alih oleh negara dan pemerintah. Dengan demikian, tingginya korupsi di Indonesia tidak tepat jika dialamatkan ke lembaga keagamaan dan umat beragama, tetapi mesti dialamatkan pada negara yang gagal memberantas korupsi.

Itulah yang dilakukan oleh negara semacam RRC, Singapura, Finlandia, Korea, Jepang, tanpa melibatkan institusi dan retorika agama, berhasil menekan tingkat korupsi.

Yang terlihat di Indonesia kadang menyedihkan, ceramah agama yang sering disampaikan tanpa disadari telah menghibur para koruptor dan tidak membuat mereka jera karena dengan formula doa-doa dan ritual semua dosa itu akan menjadi putih bersih.

Saya rasa itu tepat untuk dosa individual bagi mereka yang tidak melaksanakan perintah Allah, seperti meningalkan shalat dan puasa, atau melanggar larangannya. Namun, dosa sosial dan struktural, negara mesti tegas menghukum mereka dan merampas hasil korupsinya.

Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Internasional Indonesia.

Sumber: Kompas.id 

Powered By Blogger